Siang ini, Mas Fery pamit berangkat ke kantor dan akan lanjut ke luar kota. Kira-kira tiga hari ia ditugaskan di Yogyakarta, bersama beberapa rekan kerja lainnya. Memang sering begitu, tugas dadakan, kadang Mas Fery juga diperintah menggantikan temannya yang berhalangan. Aku sendiri tidak begitu mempermasalah pekerjaan suami, selagi suamiku enjoy melakukannya aku pasti selalu dukung. Pekerjaan suamiku tidak bisa dirumahkan, dia orang lapangan bukan berdiam saja di kantor yang sibuk di depan komputer atau laptop sepanjang hari.
Sekarang aku sendirian. Baru ditinggal beberapa menit saja rasanya aku sudah rindu. Hingga petang datang, aku menenteng kantung belanjaan berisi sembako, ada beras, s**u kaleng, minyak goreng, gula, kecap, teh, kopi, biskuit, mie instan, ikan kaleng, dan telur. Kami pikir, lumayan untuk membantu mengisi kebutuhan dapur mereka untuk dua-tiga hari kedepan.
“Permisi.” Aku mengetuk pintu rumah Kakek Sugiono.
Terdengar jawaban dari dalam, suara Nenek Laksmi. “Sebentar,” katanya. Kudengar suara kakinya menyeret menuju pintu.
Saat pintu dibuka, Nenek Laksmi tersenyum semringah. “Eh, Mbak Felicia,” ucapnya ramah.
Aku nyengir, sambil menyodorkan paket sembako padanya. “Nek, maaf, ini ada sedikit sembako untuk Nenek. Silakan diterima, Nek,” ucapku penuh kehati-hatian. Yang aku tahu, tidak semua orang suka diberi, orang paling miskin sekalipun. Kadang, orang memberi bukan berarti ia sudah kaya raya, tidak, melainkan kepuasan hati dan bentuk sukur kita pada apa yang kita dapat lebih. Itu saja. Tapi kulihat, Nenek Laksmi sangat senang menerima pemberian kami yang tak seberapa ini.
“Ya, Allah. Terima kasih banyak Mbak Felicia. Terima kasih,” ucapnya berulangkali. Matanya terlihat berkaca-kaca. Tak kupungkiri, aku pun merasa haru. Mungkin, bisa jadi di rumah mereka memang sedang tak punya apa-apa.
“Sama-sama, Nek. Semoga Nenek dan keluarga sehat selalu,” ucapku melantunkan doa,”Saya pamit dulu, Nek.”
“Aamiin, iya, Mbak Feli. Sekali lagi terima kasih.”
Aku pamit kembali ke rumah setelah memberikan paket sembako untuk Nenek Laksmi dan keluarga. Kukabari Mas Fery kalau tugasku sudah selesai. Belum ada balasan, mungkin Mas Fery sedang sibuk, aku makluminya. Tidak seperti dulu saat masih pacaran suka ngambek kalau pesan lama dibalas. Bucin memang!
Malam datang. Aku merasa kesepian tanpa Mas Fery di rumah. Biasanya dia yang rusuh, bikin suasana ramai. Kali ini, aku bisa mendengar suara jangkrik dan kodok lebih jelas di banding semalam.
Kudengar suara motor Sri baru pulang. Aku berharap tidak lagi ada suara ribut-ribut seperti malam kemarin malam. Ngeri dengarnya.
Aku makan malam sendirian, sambil kembali mengingat kejadian aneh yang kualami di rumah ini. Suara minta tolong di lantai atas yang kukira Mama. Kalau bukan suara Mama, lalu siapa? Apakah aku berhalusinasi? Rasa takut tiba-tiba-tiba menyergap, buru-buru kuhabiskan roti panggang yang tinggal sepotong di piring. Melahapnya cepat-cepat.
“Mbak Feli ...,” panggil seseorang dari arah pintu ruang tamu dibarengi dengan suara ketukan. Aku mematung, menyimak dengan baik. Siapa? Pelan-pelan aku melangkah menuju jendela dan menyibak tirai untuk mengintip siapa yang datang.
Kakek Sugiono?
Keningku melipat. Ada rasa takut menyelinap, tapi aku berusaha tenang dan lireks. Semua pasti akan baik-baik saja.
“Ya, ada apa, Kek?” tanyaku setelah membuka pintu. Kuperhatikan wajah Kakek Sugiono terlihat kaku dan kikuk.
“Duh, maaf banget nih, Mbak Feli. Gimana ngomongnya, ya,” ragu Kakek Sugiono melanjutkan.”
“Ada apa, Kek?” desakku, tak ingin berlama-lama.
“Begini, besok si Kakak mau berangkat kerja nggak ada pegangan uang dan bensin, saya juga jualan hari ini nggak laku, Mbak. Saya bingung, nggak ada uang lagi. Jadi, saya mau pinjam uang ke Mbak Feli, limah puluh ribu aja, atau kalau Mbak Feli nggak ada, dua puluh ribu gak apa-apa,” jelas Kakek Sugiono panjang lebar. Sekarang aku paham maksud kedatangannya ingin pinjam uang.
Aku berpikir sebentar. Apa benar apa yang diceritakan Kakek Sugiono? Baiklah, aku menaruh kepercayaan padanya, untung saja aku masih punya uang cash.
“Sebentar ya, Kek,” kataku kemudian, masuk ke kamar mengambil uang simpanan. Sementara Kakek Sugiono menunggu di teras rumah.
“Kek, ini uangnya.” Aku sudah kembali dan menyodorkan uang sebesar lima puluh ribu kepada Kakek Sugiono.
“Duh, maaf banget saya jadi merepotkan Mbak Feli,” ujarnya sembari mengambil uang di tangan saya, “terima kasih banyak, ya, Mbak,” lanjutnya lagi dengan senyum semringah.
Aku hanya menganggukkan kepala dan melempar senyum.
***
Sepeninggal Kakek, aku jadi bertanya-tanya, apa mungkin anaknya meminta uang pada Kakek setiap kali berangkat kerja? Pertanyaan itu akhirnya terjawab saat pagi hari aku dan Nenek Laksmi berjemur bersama.
Nenek Laksmi menceritakan kesulitan perekonomiannya sehari-hari. Sri, anak gadisnya memanglah bekerja, tapi gaji perbulannya habis untuk membayar sewa rumah, sisanya habis untuk kebutuhan dapur dan kebutuhannya sendiri. Sedangkan jualan Kakek Sugiono sering tidak laku, sementara ia harus membayar listrik, membeli gas, dan lain-lain. Sri sendiri kadang meminta jatah uang sebanyak dua puluh ribu perhari sebagai pegangan saat kerja.
“Ini saja kami belum bayar sewa rumah semenjak pandemi, dengar-dengar ia akan dipindahkan ke luar kota, sebagaian karyawan lainnya d-PHK. Kalau benar dipindahkan, anak saya bilang dia lebih memilih resign.”
Aku terkejut mendengarnya. Sungguh, pandemi ini melumpuhkan segalanya. “Kenapa harus resign, Nek?” tanyaku penasaran, bukankah lebih baik ikuti perintah atasan daripada memilih jadi pengangguran.
“Dipindahkan berarti anak saya harus keluar uang cukup banyak untuk di awal, Mbak. Sewa kos, uang transfortasi, uang makan dan lain-lain, sedangkan dari pihak kantor nggak nggak menyediakan semuanya, bahkan uang pindah. Berat, Mbak. Lagian katanya kasihan lihat saya nggak ada yang urus,” papar Nenek Laksmi.
Aku mengerti bagaimana sulitnya kehidupan mereka. Sesak rasanya mendengar rintihan rakyat kecil. Mengharap bantuan dari pemerintah, rasanya tak ada gunanya. Buktinya, masih banyak rakyat mengeluhkan bantuan belum juga datang, mirisnya, kulihat di pemberitaan di televisi, banyak oknum mengambil kesempatan menghimpun bansos dan dibagikan tidak tepat sasaran.
Kehela napas panjang.
“Sabar ya, Nek. Semoga pandemi ini segera berlalu, dan kehidupan kita kembali normal. Kalau Nenek ada perlu, pintu saya terbuka lebar, jangan sungkan meminta tolong, selagi saya bisa saya akan bantu.”
Kulihat ada guratan haru di wajah tua itu. Nenek Laksmi mengucap terima kasih atas kepedulian yang kutunjukkan padanya. Bagiku, tetangga adalah keluarga terdekat. Saat kita kesulitan, orang nomor satu yang membantu kita adalah tetangga.
Pagi ini kami berbincang banyak sambil berjemur, tubuhku mulai keluar keringat. Selain membicarakan pekerjaan Sri, putri semata wayangnya, Nenek juga menceritakan kenapa Sri sampai sekarang belum menikah. ‘Serat jodoh’ katanya dengan nada sedih.
“Dulu, Sri ada yang melamar, laki-laki satu kampung. Tapi saya dan suami menolak lamaran laki-laki tersebut, sebab kami belum menginginkan Sri menikah terlalu cepat,” cerita si Nenek. Matanya menerawang mengingat masa lalu.
“Sekarang, saya menyesal. Saya pikir, Sri belum menikah karena dulu saya menolak lamaran laki-laki itu. Ada yang bilang, memang tidak boleh menolak niat baik laki-laki ingin menikahi anak gadis kita sementara mereka sama-sama suka.”
Aku mendengarkan cerita Nenek dengan baik, menyimak kisah yang sekarang menjadikannya sebuah penyesalan panjang. Aku tak tahu harus bicara apa, tapi hatiku mengatakan bukan itu penyebab Sri belum menikah, ada hal lain yang membuatnya belum bisa memutuskan kenapa ia masih ingin hidup sendiri.
“Semoga nanti Sri mendapat jodoh yang terbaik, ya, Nek. Jangan Khawatir, jodoh setiap pasangan sudah ada masing-masing, hanya saja Sri belum menemukannya.” Hanya itu yang kuucapkan.
Obrolan kami harus berakhir, matahari sudah meninggi. Dari apa yang telah kami perbincangkan, aku banyak belajar bahwa hidup memang kadang tak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Rezeki, jodoh, bahkan kematian.