Chapter 7
Sky beralih posisi lagi untuk ke sekian kalinya. Entah sudah berapa kali Sky merubah posisinya. Ia terlihat tak nyaman. Hal itu jelas bukan karena luka pada kakinya karena insiden tadi siang. Sky menghela napas berat, telentang menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya menerawang menembus langit-langit kamar. Ingatan kejadian tadi siang masih melekat di kepala Sky. Ia ingat betul bagaimana Osean dan Nancy berciuman dengan sangat panas. Osean terlihat jelas begitu menyayangi kekasihnya itu. Lalu untuk apa Osean masih mempersulit dirinya? Apakah karena Nancy mungkin tak menyukai anak-anak? Sedangkan Osean begitu mencintai Nancy. Jadi Osean butuh orang lain untuk menjaga anak-anaknya? Kenapa tak menyewa baby sitter saja lebih banyak? Bila perlu Ravi dan Savy punya sepuluh baby sitter.
Sky menghela napas lagi. Ia masih belum mengerti dengan motif Osean menyiksanya. Apakah pria itu psikopat? Ya, sudah jelas Osean psikopat.
“Dasar Osean s****n. Kau marah karena aku mengganggu momen romantis mu dan kekasih tercintamu itu kan? Tapi kau tak perlu membentakku. Dasar menyebalkan.” Sky memeluk gulingnya. Ia memandangi foto di atas meja nakas. Foto ia bersama dengan kakek dan neneknya. Sky merindukan keduanya. Jika saja kedua orang tuanya bisa seperti kakek dan neneknya yang bersama sampai maut memisahkan. Sayangnya romansa seperti itu tak berlaku bagi Ibunya yang suka berkelana.
Sky termenung lagi. Tiba-tiba ia membayangkan jika dirinya benar-benar menikah dengan Osean. Ia akan menjadi Nyonya Sané. Apakah akan ada yang berubah dari hidupnya? Harusnya banyak yang berubah kan? Atau justru tak akan ada yang berbeda? Yang berbeda hanyalah ia menjadi pembantu gratis, menjaga Ravi dan Savy. Mungkin juga ia akan menjadi orang yang akan menyiapkan pakaian dan segala keperluan Osean. Ia akan mengurusi makan si kembar dan juga Osean. Kemudian..
“Astaga..” Sky mengeluh. Jika dipikirkan ternyata banyak juga. Jika benar ia dan Osean menikah suatu saat nanti, maka hidupnya akan berubah.
“Apa Osean akan tetap membiarkan aku bekerja? Bagaimana kalau dia melarangku bekerja? Astaga, aku tak sanggup jika harus dikurung di rumah tanpa melakukan apapun. Sadarlah Sky! Apanya yang tanpa melakukan apapun? Kau akan menjadi babu Osean. Kau akan mengurusi Osean sebelum tidur sampai bangun tidur. Kau akan menjadi babu yang sangat menyedihkan. Tidak digaji dan kemungkinan juga tidak akan dianggap. Tunggu, apa aku akan sering menyaksikan Osean bermesraan dengan Nancy? Apa aku akan melihat mereka berciuman setiap hari? Atau mungkin..” tiba-tiba Sky mual membayangkan pergulatan Osean dan Nancy di atas ranjang.
Sky bangkit kemudian segera meneguk habis isi gelasnya. “Astaga, Ya Tuhan, mereka tidak akan melakukannya di atas kasurku, kan?” Sky bergidik. Tapi kalaupun Osean ingin melakukan dia atas kasurnya, Sky bisa apa?
Sky menghela napas lagi, untuk yang ke sekian kali. Sudah tak terhitung berapa kali gadis itu menghela napas. Selama ini Sky memang sangat sibuk dengan karirnya. Bukan berarti ia tak pernah menjalin hubungan asrama dengan pria. Sky pernah, tapi sudah sangat lama. Ada banyak hal yang membuat Sky merasa kehidupan percintaan bukanlah hal yang terlalu penting untuk dipikirkan. Ada yang lebih penting daripada cinta-cintaan. Dan Sky jelas memfokuskan diri pada pendidikan dan juga karirnya. Sebenarnya jika bicara ingin hidup enak yang instan, Sky pernah ditawari oleh seorang pengusaha kaya raya tanah air keturunan Singapore untuk menjadi wanita simpanannya. Sky ditawari kemewahan yang tidak main-main. Seumur hidup bekerja pun Sky tak akan dapatkan kemewahan seperti itu. Tapi tanpa ragu Sky menolak tawaran itu. Dia masih waras dan sudah jelas ingin hidup tenang. Tawaran itu memang menggiurkan. Tapi risikonya juga tidak main-main.
Tapi apa kini hidup Sky bisa dikatakan tenang? Tidak juga! Semua karena Osean.
“Apa Osean akan membunuhku kalau aku menjalin hubungan dengan pria lain?” tiba-tiba saja pikiran itu terlintas di dalam kepala Sky.
…
“Sky..”
“Apa?”
“Kenapa kau diam saja. Aku bertanya.”
Sky memutar bola mata. Ia tengah focus dengan pekerjaan dan Mia terus saja mengganggu. Sky sedang mencoba untuk menjalani kehidupan yang normal. Ia rindu bertempur dengan pekerjaannya.
“Aku tidak dengar.”
“Astaga. Aku bilang, apa kau mau aku kenalkan dengan temanku? Dia baik, sudah punya pekerjaan yang bagus dan yang pasti tampan. Dia minta dikenalkan dengan seorang gadis. Dia cukup tertarik dengan gadis blasteran.”
Sky tak terlalu mendengarkan.
“Sky.. astaga..”
“Untuk kau saja, aku tidak tertarik.”
“Dia itu temanku.”
“Lalu kenapa?”
Mia menghela napasnya.
“Aku tidak berkencan dengan temanku, Sky. Apa kau lupa?”
“Ahh oh iya. Yasudah.”
“Jadi bagaimana? Ayolah Sky. Dia itu salah satu teman baikku. Hm, bisa dikatakan teman baik. Aku tidak mengenalkan orang sembarangan padamu. Dia bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar. Dia sangat berkompeten dan aku yakin karirnya akan sangat cemerlang.”
Sky akhirnya menghentikan pekerjaannya. Ia menoleh memandangi Mia.
“Mia Sayang, dengarkan aku. Terima kasih karena kau sudah sangat perhatian padaku. Aku tau kalau kau sangat baik dan hanya ingin aku bahagia. Tapi aku katakana padamu, saat ini aku sangat bahagia. Amat sangat bahagia. Aku cukup dengan kehidupanku dan aku sedang tidak membutuhkan seorang pria di dalam hidupku.”
“Ayolah Sky. Kau sudah terlalu lama sendiri. Aku saja tidak tahu kapan kau punya kekasih. Apa kau bahkan pernah punya kekasih.”
Sky menghela napasnya. Osean saja sudah membuatnya sangat pusing. Jika punya kekasih maka Sky akan gila kurang dari 24 jam.
“Mia, dengarkan aku. Saat ini aku benar-benar baik-baik saja. aku tidak butuh dikenalkan pada siapapun. Kau lihat, pekerjaanku sangat banyak. Ada beberapa hal juga yang kadang tidak diprediksi. Kau lihat kan aku sering tidak masuk akhir-akhir ini. aku tidak punya banyak waktu untuk berkencan, jadi berkenalan dengan seorang pria sekarang hanya akan berakhir dengan sia-sia. Dia teman baikmu dan aku tidak ingin mengecewekan dia dan kau, oke.”
“Apa kau sungguh-sungguh? Jadi kau benar-benar tidak ingin mencoba?”
Sky menggeleng mantap. Cukup Osean saja. Sebelum Sky bisa lepas dari Osean, Sky tak akan menjalin hubungan dengan pria lain. Osean itu gila. Jangan sampai nanti ada nyawa yang hilang hanya karena dirinya. Bukan tak mungkin Osean menghabisi seseorang kan? Ya, itu bisa saja terjadi.
Drtt.. drttt.. Sky menoleh pada benda pipih yang bergetar di atas meja. Benda pintar itu dalam kondisi terbalik. Awalnya Sky berniat mengabaikan saja. Toh ia tak melihat siapa yang menelfon. Walau Sky sudah tahu meski tanpa memeriksa. Sky akan pura-pura tak melihat saja. Osean bukan Tuhan yang bisa bertindak sesukanya. Tapi getar pada benda pipih itu terjadi berulang-ulang seolah si penelepon tak menyerah.
“Kenapa tak diangkat, Sky?”
“Mi-aa astaga..” Sky terlambat. Mia lebih dulu mengambil benda pipih itu. Sky segera merebutnya.
“Giselle? Siapa?”
Sky tak menjawab pertanyaan Mia. Ia segera menjawab panggilan itu. Tak biasanya Giselle menelfon di jam kerja Sky seperti ini. Tadi Sky pikir Osean yang menelfonnya. Padahal Sky sudah senang karena bisa mengabaikan telfon pria itu.
“Halo Giselle, ada apa?”
Bola mata Sky melebar. “Astaga! Kau di mana? Apa sudah menghubungi—” Sky tak jadi bicara. Ia bangkit dari kursinya kemudian pergi begitu saja meninggalkan Mia yang kebingungan.
“Dia bicara dengan siapa sampai sepanik itu?”
Sky sudah berada di tempat yang sepi. Ia memastikan dulu kalau tak ada siapapun di sana. 60% populasi wanita di negara ini pasti mengenal Osean. Dan bisa dipastikan kalau hampir 98% wanita di perusahaan ini juga tahu siapa Osean.
“Kau sudah menghubungi Tuan Osean? Apa? Tidak bisa dihubungi?” Sky mendengkus kesal. Osean selalu tak bisa dihubungi di saat genting.
“Baiklah aku usahakan cepat ke sana. Aku harus minta izin dulu. Hm, baiklah.”
Sky menghembuskan napas. Ia gelisah sebenarnya, tapi Sky mencoba mengendalikan dirinya agar tetap tenang.
“Osean s****n. Ke mana dia? Apa dia benar-benar menyayangi anak-anaknya? Bagaimana bisa dia menghilang seperti ini padahal Ravi dan Savy itu perlu dipantau 24 jam. Pasti dia sedang asyik bemesraan dengan Nancy. Dasar Osean sialan.” Sky segera kembali ke ruangannya. Ia memberanikan diri menemui sang Bos, meminta izin untuk ke rumah sakit. Sejujurnya Sky tak yakin kalau sang bos akan memberi izin. Sky sudah terlalu banyak mengambil cuti. Kadang dia bahkan hilang begitu saja, ya semua karena Osean tentu saja.
“Kau pikir ini perusahaan kakekmu?!” maki sang Bos, seperti yang sudah bisa ditebak.
“Kalau ini perusahaan kakekku, sudah pasti aku menduduki kursi Bos,” batin Sky.
“Sepertinya kau mulai besar kepala ya Kiana!”
“Tidak, Bos. Maaf.” Sky hanya bisa menunduk. Ya, Sky tahu ia tak tahu diri. Hm.
Sementara itu di rumah sakit. Giselle memandangi jam tangannya dengan gelisah. Berkali-kali ia memeriksa ponselnya. Berkali-kali juga ia mencoba menghubungi Osean tapi tak berhasil.
“Osean, kau di mana?” Giselle menghela napas berat. Tak berapa lama.
“Giselle, bagaimana Ravi? Apa dia baik-baik saja?” Sky datang dengan napas ngos-ngosan. Ia berusaha mengatur napas kemudian merapikan rambutnya. Sky benar-benar berlari dari taksi memasuki rumah sakit. Hampir saja ia menabrak pasien di Lorong tadi.
“Astaga Sky, aku pikir kau tidak akan datang. Ravi masih di dalam. Dokter sedang berusaha mencari tambahan darah untuknya.”
“Ravi kekurangan darah?”
“Hm, cukup banyak.”
Sky menutup mulutnya, shock. “Astaga. Apa yang terjadi sebenarnya? Tidak, nanti saja cerita. Kau sudah bisa menghubungi Tuan Osean?”
Giselle menggeleng.
“Savy di mana?”
“Sudah dibawa pulang oleh baby sitter. Tidak mungkin dia di sini. Dia pasti akan sangat terpukul dengan keadaan Ravi.”
“Aghhh. Tunggu, golongan darah Ravi apa?”
Belum sempat Giselle menjawab, pintu ruangan terbuka.
“Dokter, bagaimana keponakan saya?”
“Apa sudah ada keluarga yang bisa mendonorkan darahnya? Darah yang tersedia masih kurang. Pasokan darah sedang diusahakan dari rumah sakit lain tapi akan memakan waktu karena jaraknya cukup jauh.”
“Aku tidak cocok,” ujar Giselle pada Sky.
“Golongan darahnya apa?”
“B.”
“Aku B,” jawab Sky cepat. “Saya saja dokter.”
“Maaf anda—”
“Tantenya.”
“Oh baiklah. Sus, tolong diperiksa. Jika tidak ada masalah, lakukan transfuse.”
“Silakan..”
Sky kemudian mengikuti sang perawat. Untungnya Sky dalam kondisi yang cukup fit. Meski tadi malam ia agak susah tidur, tapi Sky dalam kondisi yang baik-baik saja. Selama darahnya diambil, Sky hanya berdoa agar Ravi baik-baik saja. Walau bocah laki-laki itu selalu menyulitkannya, tapi Sky tak tega jika anak tampan itu kenapa-kenapa. Selesai darahnya diambil, Sky kembali ke tempat Giselle.
“Kenapa cepat sekali kau kembali? Harusnya istirahat dulu di sana.”
“Aku baik-baik saja. Bagaimana kalau darahku tidak cukup untuk Ravi? Kita harus bagaimana Giselle?”
Giselle menatap Sky dengan tenang. “Aku sudah menghubungi orang-orang Osean. Sebentar lagi bantuan akan datang.”
“Apa Tuan Osean masih belum bisa dihubungi?”
“Anak buahnya bilang kalau Osean benar-benar sedang tidak bisa diganggu.”
Kening Sky mengerut. Sepenting apa acara Osean sampai urusan anaknya pun bisa dikesampingkan? Masalahnya saat ini Ravi sedang kritis.
“Sky, apa kau sudah makan?”
“Nanti saja. Semoga Ravi baik-baik saja.”
Giselle tersenyum. “Kalau aku bukan bagian dari keluarga Osean, aku pasti akan mengira kalau kau Ibunya Ravi.”
Sky melotot. “Kenapa berpikir begitu?”
“Kau terlihat sangat khawatir. Kau bahkan mau mendonorkan darahmu tanpa pikir panjang.”
Sky menelan ludah, tersenyum kikuk. “Aku hanya membantu, bukan berarti aku terlihat seperti Ibunya Ravi.”
Giselle tak membantah lagi, ia hanya tersenyum saja.
“Giselle, boleh aku bertanya?”
“Tentu.”
“Apa istri Osean tidak punya keluarga? Maksudku, hm, selama ini aku tidak melihat ada orang lain di sekitar Osean selain keluarga dia sendiri.”
“Punya.”
“Lalu kenapa tidak menghubungi mereka?”
Giselle menghela napas. “Sebenarnya hubungan Osean dan keluarga mendiang istrinya tidak terlalu baik. Setelah istrinya meninggal, hak asuh anak sepenuhnya milik Osean.”
“Sepenuhnya?” tanya Sky. Ia perlu memperjelas maksud dari kata sepenuhnya ini. Sebab jika itu berhubungan dengan Osean, maka makna dari setiap kata pasti tidaklah sederhana.
“Ya, sepenuhnya. Aku tidak bisa jelaskan secara detail. Tapi intinya keluarga mendiang istri Osean tidak boleh ikut campur kehidupan Ravi dan Savy atau menemui Ravi dan Savy.”
“Bahkan menemui saja tidak boleh?”
“Hm. Itulah kenapa kau tidak pernah melihat ada keluarga dari mendiang istri Osean.”
Sky manggut-manggut. Memang Osean ini sangat problematic sekali. Apa dia bahkan punya satu orang saja yang tidak bermasalah dengannya? Sepertinya Osean membenci semua orang di dunia ini.
“Keluarga Tuan Muda Sané.”
Giselle dan Sky langsung bangkit, menghampiri dokter. Keduanya bersyukur saat dokter menjelaskan kalau Ravi sudah melewati masa kritis. Dalam setengah jam ia akan dipindahkan ke ruang rawat.
“Terima kasih dokter,” ucap Giselle. Sky dan Giselle saling pandang kemudian sama-sama tersenyum.
“Syukurlah,” ucap keduanya. Sky benar-benar lega.
…
“Di mana ponselku?”
“Ini, Bos.”
Mata Osean menyipit. Ia melihat jam tangannya. Hampir jam 10 malam. Ia menyalakan benda pipih itu. Ada puluhan pesan dari Giselle. Satu pesan terbuka dan Osean langsung murka.
“ANAKKU DALAM KONDISI BAHAYA DAN TIDAK SATUPUN DARI KALIAN MEMBERITAHUKU?!”
Seisi ruangan langsung gemetar ketakutan.
“Maaf, Bos. Tapi tadi—”
“Apa ada urusan yang lebih penting dari keselamatan anakku?!” amuk Osean. “Kalau sampai sesuatu terjadi pada Ravi, kalian yang akan membayarnya!” Osean berlalu diikuti oleh asisten dan anak buahnya. Supir melaju mobil menuju rumah sakit. Osean harus menggunakan kekuasaannya untuk dapat melewati jalanan yang ramai dengan tanpa halangan. Ia akhirnya sampai di rumah sakit.
“Kamar nomor berapa?”
Giselle menjawab di seberang. “Kau berhutang pada Sky,” ucap Giselle kemudian membuat langkah Osean sempat terhenti. “Kau jenguklah Ravi dulu, nanti akan aku jelaskan.” Sambungan terputus. Osean mempercepat langkahnya. Ia sampai di ruang VVIP tempat Ravi dirawat. Dengan hati-hati Osean membuka pintu. Kamar dalam kondisi yang tidak terlalu terang. Ada Ravi di kasur, tampak tengah lelap dengan kepala yang dibalut perban. Di samping tempat tidur, ada Sky yang tengah tidur dengan posisi duduk, tampak tak terlalu nyaman.
Osean menatap lurus. Entah apa yang sedang Osean pikirkan saat ini.
“Ravi jangan menangis lagi. Ada Aunty di sini,” racau Sky di dalam tidurnya.
***