Chapter 8
Sky membuka matanya dan terkejut melihat keberadaan Osean.
“Os—”
Osean mletakan telunjuk di depan bibirnya memberi isyarat pada Sky untuk tidak bersuara. Sky mengangguk mengerti. Gadis itu kemudian bangkit dari tempat duduknya.
“Kau mau duduk di sini?”
Osean mendekat lalu duduk menggantikan Sky. Tak ada kalimat yang terucap dari bibir Osean. Tidak sepatah katapun. Jangankan berterima kasih, menanyakan kabar Sky saja tidak. Ya, apa yang bisa diharapkan dari seorang Osean. Sky sama sekali tak berharap apapun. Osean datang saja sudah syukur. Sky memeriksa jam tangannya. Ia menghela napas pelan. Sudah sangat terlambat untuk pulang. Sudah jam 1 lewat. Sky tak tahu kalau Osean sudah cukup lama sampai. Sky mendaratkan pantatnya di sofa. Pandangannya tertuju lurus pada Osean. Memang tak ada tempat lain yang bisa Sky tuju untuk dipandangi. Beberapa meter di depannya memang Osean. Pria itu tengah menggenggam tangan Ravi, memandangi sang putra yang tengah lelap dalam tidurnya.
Tiba-tiba saja pikiran Sky menerawang jauh. Entah dari mana datangnya pikiran tersebut. Sky teringat pada Ibu si kembar. Ravi dan Savy masih sangat kecil dan pastinya mereka sangat membutuhkan sosok Ibu. Tapi kini keduanya tumbuh tanpa peran Ibu menemani. Sky ingat betul bagaimana histerisnya Ravi tadi, saat ia sadar setelah operasi. Ravi menangis sejadi-jadinya, mencari keberadaan Osean. Giselle saja sampai menyerah karena tak berhasil menenangkan bocah itu. Sky juga tak tahu ia dapatkan keberanian dari mana memeluk Ravi tadi sampai bocah itu benar-benar tenang. Akibatnya ialah dahi Sky menjadi sasaran dari gelas yang dilempar Ravi.
Si kembar sangat butuh sosok Ibu. Sky mulai memahami kenapa Osean begitu keras menyuruh Sky menaklukkan kedua anaknya. Osean ingin Ravi dan Savy memiliki Ibu dan Osean memilih Sky. Hm, apa kata memilih cocok? Mungkin memang di mata Osean—Sky lah yang mudah dimanfaatkan.
Sky menghela napas lagi. Tapi ini tidak benar. Osean ingin Sky menjadi istrinya dan menjadi Ibu untuk anak-anaknya. Tapi Sky menjadi tak punya kehidupannya sendiri. Menikah bukan perkara kecil. Bagaimana bisa Sky menjalaninya tanpa berpikir? Tanpa pilihan? Sky bukan sebuah boneka.
Denyut ngilu di dahinya menarik perhatian Sky. Ia meraba dahinya yang sedikit bengkak. Gadis itu meringis.
“Sky..”
Sky tersentak kaget. Ia mengangkat wajahnya, bertemu pandang dengan Osean.
“A-ada apa?” Sky merespon dengan agak gugup karena pikiran Osean kadang sangat susah ditebak.
“Tidurlah.”
Alis Sky terangkat. Ia terdiam sesaat, terkejut dengan apa yang Osean katakan. Sky memang tak berharap Osean akan berterima kasih. Tapi ini? ini terlalu tak terduga. Apa susahnya berterima kasih, kan? Sky menyerah. Ia benar-benar tak bisa menebak isi kepala Osean. Lupakan keinginan untuk bertanya ke mana saja Osean seharian ini. Dan lupakan juga niat Sky yang ingin memaki Osean. Lebih baik tetap diam dan tak banyak terlibat. Toh ke manapun Osean sehari ini bukan urusan Sky.
“Hm, ya..” Sky kemudian memejamkan matanya. Sementara itu pandangan Osean masih tertuju pada Sky. Mungkin Osean terkejut dengan respon pasrah Sky. Biasanya gadis itu akan perang urat dengannya. Tapi kali ini Sky menurut begitu saja. Tanpa perlawanan?
Dan sampai Sky benar-benar tidur, suara Osean sama sekali tak terdengar lagi.
…
Sky menggeliat. Kelopak matanya bergerak, kemudian matanya perlahan terbuka. Sky mengernyit sembari menguap. Sky lalu menyadari keberadaan selimut yang melingkupi tubuhnya. Seingatnya tadi malam itu tidur dalam posisi duduk tanpa selimut. Bagaimana bisa selimut itu tiba-tiba muncul? Sky memutar pandangan ke arah sumber suara. Di sana ada Osean yang tengah memandanginya dan juga Ravi yang tengah mengunyah makanan sembari memandanginya.
“Good morning Aunty,” sapa Ravi.
Sky segera bangkit, merapikan rambutnya. Ia berdehem pelan.
“Morning,” Sky membalas sembari tersenyum tipis. Sky memeriksa jam tangannya, ingin memastikan waktu. Ia melotot melihat jam menunjuk di angka 7 lewat. Jika tidak segera pergi Sky bisa terlambat ke kantor. Ini pun sepertinya Sky akan ke kantor dengan pakaian yang sama. Tak ada waktu lagi untuknya kembali ke apartemen lebih dulu. Ia harus langsung ke kantor. Ia akan mengirim pesan pada Mia untuk membawakannya baju karena ukuran mereka sama.
“Kau mau ke mana?” tanya Osean yang tengah menyuapi Ravi makan.
“Kantor. Aku hampir terlambat. Kau sudah di sini. Kalau begitu aku pergi dulu.”
“Kau ke kantor seperti itu? Dengan pakaian kemarin?”
“Ya. Tidak masalah.”
“Setidaknya mandi.”
Sky merapikan sedikit tampilannya di depan kaca. Ia akan merapikan lagi makeup nya di mobil nanti.
“Tidak ada waktu. Kalau begitu aku pergi dulu. Ravi, Aunty—”
“Sky.”
“Astaga Osean, ada apa lagi? Aku benar-benar sedang terburu-buru sekarang.”
“Duduk.”
Sky menatap Osean kesal.
“Izin sa—”
“Tidak. Aku tidak akan izin hari ini. Aku sudah terlalu sering izin.”
Osean bersiap mengeluarkan ponselnya. Sky dengan cepat menghampiri dan dengan berani menahan tangan Osean. Sky tak tahu kenapa ia bisa seberani ini. Satu kibasan tangan Osean saja bisa membuat Sky melayang. Kenapa Sky berani mencegah Osean melakukan apa yang ingin dilakukannya bahkan memegangi tangannya seperti sekarang. Osean menatap tangan Sky yang tengah menahan tangannya dengan tatapan yang agak menakutkan.
“Aku mohon,” ucap Sky akhirnya. Ia kemudian bicara dengan suara pelan. “Ravi sedang sakit dan aku tak ingin membuat keributan dengan berdebat. Aku hanya ingin masuk bekerja, itu saja. Kau yang dibutuhkan Ravi dan kau sudah di sini.”
Jantung Sky berdebar cukup kencang menunggu respon Osean. Pria itu perlahan mengangkat wajahnya, memandang Sky yang berada dalam jarak sangat dekat sekali dengannya. Satu sentakan saja akan membuat Sky jatuh ke pangkuan Osean. Tapi untungnya hal itu tak terjadi. Osean tak akan mempertontonkan hal seperti itu pada anaknya, meski kadang Osean itu gila dan di luar nalar.
Osean hembuskan napas pelan kemudian tanpa diduga melepaskan tangan Sky. “Kau boleh pergi setelah ganti baju.”
Sky memejamkan matanya sesaat. “Masalah aku tidak bisa—”
Pintu terbuka. Sky sontak menoleh. Dua orang wanita masuk membawakan paper bag. Keduanya menunduk pada Osean, memberi hormat. Setelahnya mereka pamit undur diri. Kening Sky mengerut.
“Ada pakaian di sana. Ganti baju mu baru kau pergi.”
Otak Sky bergerak sangat lambat pagi ini.
“Sky,” panggil Osean membuyarkan keterpakuan Sky. Karena tak ingin ribut dan tahu membantah Osean hanya akan menghabiskan waktu, Sky mengalah dan langsung mengganti bajunya tanpa berkata lagi. Prinsip bersama Osean adalah diam, terima, lalu kerjakan. Jangan pernah bertanya karena Osean benci orang yang membantahnya tak peduli ia benar atau salah. Kejam? Itulah Osean.
“Sudah?” tanya Sky seolah memastikan kalau kini ia sudah boleh pergi. Osean hanya mengangkat dagunya sekilas kemudian kembali focus pada Ravi. Sky menghembuskan napas lega.
“Ravi, Aunty pergi dulu. Cepat sembuh. Bye.”
“Aunty..”
Sky menghentikan langkah. Ia menoleh lagi pada Ravi yang tengah menatapnya dengan keadaan tangan Osean menggantung di udara memegangi sendok, dalam posisi bersiap untuk menyuapi Ravi. Memang hanya si kembar yang bisa membuat Osean menunggu.
“See you, bukan bye.”
Kata-kata Ravi berhasil membuat Sky termagu. Sesaat kemudian ia tersadar dan tersenyum kikuk. “Ah iya, see you. Maaf, Aunty lupa. Ravi jangan nakal ya. See you.” Sky lambaikan tangan sembari tersenyum manis. Ia kemudian benar-benar berlalu setelah Ravi membalas salamnya.
Sky telah pergi.
“Daddy..”
“Iya, Sayang..”
“Kenapa Aunty selalu datang lalu pergi?”
Osean tak langsung menjawab pertanyaan itu. Butuh dua menit untuknya berpikir. Meski entah apa yang sebenarnya ia pikirkan.
“Karena Aunty harus bekerja. Ravi dengan sendiri kan tadi Aunty bilang dia harus bekerja.”
“Kenapa Aunty bekerja, Daddy? Daddy bilang Aunty Sky akan mengurus Ravi dan Savy. Akan mengurus Daddy. Kenapa Aunty Sky meninggalkan kita sekarang?”
Osean terkejut dengan pertanyaan putranya itu. Ia tak menyangka kalau Ravi akan bertanya sedetail itu.
“Ravi..” Osea mengusap lembut pipi sang putra. “Ravi ingat kan kalau Daddy bilang Aunty Sky sedang belajar?”
Ravi mengangguk.
“Nah, karena masih belajar, jadi Aunty Sky belum sepenuhnya mengurus Daddy, Ravi, dan juga Savy. Itu seperti melakukan sesuatu tapi tidak sepenuhnya.”
Ravi mengerutkan kening, tampak berpikir.
“Itu sama seperti Ravi dan Savy di sekolah. Sekarang Ravi dan Savy baru mulai belajar, homeworkRavi dan Savy masih sedikit. Nanti di saat Ravi dan Savy semakin banyak belajar, maka homework Ravi dan Savy juga akan bertambah banyak. Iya kan?”
Ravi mengangguk. Sepertinya ia mengerti.
“Nah, Aunty Sky juga seperti itu.”
“Berarti sekarang homework Aunty Sky masih sedikit?” tanya bocah tampan itu.
Osean ingin tertawa tapi akhirnya ia mengangguk. “Ya, begitulah kira-kira. Intinya sekarang Aunty Sky baru mulai belajar, jadi dia tidak harus selalu bersama kita. Nanti, setelah Aunty Sky banyak belajar, maka dia akan lebih sering bersama kita.”
Ravi terdiam.
“Apa Ravi tidak suka?”
Bocah itu memandangi Osean. “Daddy, kenapa Aunty Sky harus banyak belajar?” Ravi menjeda. “Apa Aunty Sky tidak bisa bersama kita tanpa belajar?”
Osean kembali terdiam. Tapi kali ini tidak terlalu lama. “Hmm, karena Ravi dan Savy adalah jagoan Daddy. Jadi Aunty Sky harus banyak belajar.”
“Bagaimana kalau Aunty Sky bosan belajar Daddy? Bagaimana kalau Aunty Sky tidak mau lagi belajar? Apa Aunty Sky tidak akan datang lagi?”
“Kenapa Ravi berpikir seperti itu?”
Ravi menggeleng. “Kadang Ravi dan Savy suka bosan belajar. Ravi pikir Aunty Sky juga akan bosan belajar.”
Osean mengusap lagi pipi Ravi. “Aunty Sky tidak akan bosan. Aunty Sky sangat rajin belajar.” Osean tersenyum hangat. “Apa Ravi suka pada Aunty Sky?”
Bocah itu tampak berpikir sesaat. Ia terlihat serius seolah memang sedang memikirkan sesuatu yang penting.
“Awalnya Ravi merasa Aunty Sky itu sangat menyebalkan. Tapi akhir-akhir ini dia cukup menyenangkan. Setidaknya dia tak terlalu menyebalkan seperti dulu.”
Osean tertawa pelan. “Oh ya?”
Ravi mengangguk. Kemudian obrolan tentang Sky terhenti saat Dokter datang memeriksa kondisi Ravi. Karena cidera pada kepalanya cukup serius jadi Ravi harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Osean tak yakin berapa lama Ravi akan betah di rumah sakit. Jika nanti Ravi sudah tak betah, maka Osean akan memindahkan tim medis ke rumahnya. Ravi akan dirawat di rumah saja.
“Pintar,” ucap dokter memuji Ravi yang tak menangis saat disuntik. Osean tak melepaskan pandangan dari sang putra.
“Kenapa kau berpikir mereka tidak membutuhkanmu, Sky?” Osean bergumam sangat pelan.
…
Sky menoleh saat Mia menepuk bahunya. Keduanya berjalan menuju kafetaria kantor. Di kafetaria mereka bertemu dengan teman-teman dari divisi lainnya yang memang sudah saling kenal. Makan siang berlangsung cukup damai sampai salah seorang pria dari divisi lain menanyakan tentang status Sky. Seketika meja makan itu menjadi heboh. Orang-orang sibuk menggoda si pria yang dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Sky. Sementara Sky terlihat sangat biasa alias lempeng. Ekspresinya pun tampak datar tanpa ekspresi. Pria itu cukup tampan. Mungkin itu yang membuatnya berani dengan secara gamblang mendekati Sky. Tapi ia tak tahu kalau ketampanan tidak akan menggoyahkan seorang Sky. Tidak semudah itu.
“Aku single,” jawab Sky kemudian yang langsung mendapat reaksi heboh dari orang-orang di meja. Mia saja sampai menepuk lengan Sky berkali-kali karena gemas. Mia agaknya lupa karakter teman baiknya itu.
“Apakah ini akan jadi couple pertama tahun ini di kantor kita?”
“Wow ini perlu dirayakan..”
Sky tetap focus pada makanannya.
“Wah Sky, aku baru sadar satu hal,” celetuk salah satu gadis dari divisi lain secara tiba-tiba.
Sky menoleh.
“Ini one set dari salah satu brand yang sangat aku inginkan. Ini salah satu item terpanas dari brand itu tahun ini. Bagaimana kau bisa mendapatkannya? Aku dengar sangat susah mendapatkannya. Stoknya sangat terbatas.”
Kini perhatian semua orang tertuju pada pakaian yang Sky kenakan. Mia pun menyadari kalau style Sky agak berbeda hari ini. Biasanya ia terlihat agak seksi, tapi kali ini ia terlihat anggun. Anehnya itu terlihat cocok dengannya seolah Sky memang terlahir dengan aura tersebut.
“Mungkin kau salah,” ucap Sky asal. Sebenarnya Sky tak terlalu peduli dan tak terlalu memikirkannya tadi. Ia memakainya karena tak ingin berdebat dengan Osean. Tapi karena ini baju dari Osean, jadi sudah pasti yang temannya itu katakan adalah benar. Bagaimana Sky bisa mendapatkannya? Apa yang tidak bisa didapatkan Osean, iya kan?
Inilah alasan kenapa Sky malas mengenakan barang dari Osean. Meski tak sering tapi barang-barang yang Osean berikan sudah pasti harganya tidaklah biasa. Terlalu menarik perhatian dan Sky benci saat orang-orang bertanya tentang dirinya. Tak peduli pada perkataan dan penilaian orang padanya bukan berarti Sky bisa cuek saat dibicarakan. Itu tetap mengganggu.
“Tidak mungkin. Aku sangat mengenali one set ini karena aku sangat menginginkannya. Aku sudah menabung sangat lama tapi tidak mendapatkannya karena barang yang terbatas dan sudah menjadi incaran banyak orang. Aku sangat yakin ini one set yang asli.”
Sky hembuskan napas pelan kemudian meneguk minumnya.
“Wah, jika Seci sudah bicara, maka itu artinya harga bajunya tidaklah murah,” celetuk pegawai lainnya. Seci memang terkenal pengguna barang-barang branded. “Berapa harganya Sky? Pasti sangat mahal..”
“Sangat,” sahut Seci. Ia kemudian mengangkat dua jarinya.
Kening Mia mengerut. “200 ribu?”
“2 digit,” timpal Seci.
“APA?!” semua orang kompak bereaksi.
“Iya, 2 digit. Bukan angka 3 ke bawah,” ujar Seci lagi. penjelasan Seci benar-benar membuat keadaan jadi makin kacau. Mia saja sampai menatap Sky meminta penjelasan. Tapi Sky tak punya apa-apa untuk dijelaskan. Tak mungkin kan dia mengatakan kalau Osean Micello Sané yang membelikannya. Bisa gempar satu kantor. Atas dasar apa seorang Sky dibelikan pakaian mahal oleh Osean?!
“Ini bukan bajuku, tapi baju Mia,” celetuk Sky asal. Sontak saja semua perhatian tertuju pada Mia. Sky bangkit kemudian membayar. Setelahnya ia pergi. Mia yang ditodong pertanyaan pun bergegas kabur mengejar Sky. Ia akan menghajar Sky karena sudah melibatkannya.
“Dia memakai baju seharga 2 digit. Hm, sebaiknya kau pikir-pikir dulu jika ingin mendekatinya..” seorang pria menepuk baju pria yang tadi berusaha mendekati Sky. Seci jadi tak enak karena sudah mengacaukan keadaan.
“Seci,” panggil seorang wanita. “Apa benar pakaian yang Sky kenakan tadi harganya semahal itu?”
Seci mengangguk tanpa ragu. “Aku sangat yakin. Aku sudah memegangnya tiga kali dan aku tidak mungkin salah. Aku sangat menginginkannya sehingga hafal pada tekstur dan juga bentuknya.”
“Wah, aku tidak tahu kalau Sky ternyata sekaya itu.”
“Bukankah dia blasteran? Mungkin dia memang sebenarnya anak orang kaya, kan?”
“Ya, mungkin saja.”
Satu persatu kemudian ikut meninggalkan kafetaria. Sky sepertinya menjadi topik hanya satu hari ini.
***