Otakmu Ke Mana?

1211 Kata
14 Raut wajah bengis masih dipertahankan Marcellino, meskipun dia sudah berhasil membuat Trevor terluka di belakang kepala. Marcellino tetap bergeming kala Terren dan Mathias menghambur untuk menolong Trevor yang luruh ke lantai seusai menghantam lemari. Kaca yang pecah berhamburan ke mana-mana. Mathias mengangkat Trevor ke punggung Terren. Kala putra kedua Peter melewati Marcellino, Terren menatapnya tajam sambil mengumpat. Levin bergerak cepat memvideokan area, sebelum berbalik dan menyusul Terren. Mathias yang masih bertahan, segera menutup pintu agar tidak ada karyawan yang menyaksikan tempat kejadian perkara. Dia tidak mau hal itu menjadi bahan gosip. "Sudah puas?" tanya Mathias sembari memandangi Marcellino yang balas mendeliknya tajam. "Belum!" tegas Marcell. "Ini belum ada sedikit pun dari rasa sakitnya Jewel!" geramnya. "Aku paham kenapa kamu sangat marah. Sebenarnya tadi pagi, aku dan dia bertengkar. Aku baru mendengar semuanya dari Levin. Dan aku turut prihatin." "Tidak perlu berpura-pura mengasihani saudara kami," tukas Arnold yang menjadikan Mathias terkejut. "Bosmu jelas salah. Apa pun yang dilakukannya tidak akan mengembalikan kondisi Jewel seperti semula," lanjutnya. "Karena itu dia meminta Jewel untuk menikahinya," balas Mathias. "Dia serius dengan ucapannya, sekaligus bertanggung jawab atas perbuatannya," tambahnya. "Nggak perlu!" seru Arnold. "Jewel sudah menolak. Demikian pula dengan keluarga kami," paparnya. Mathias terdiam sesaat, kemudian berkata, "Sampaikan saja pada Trevor. Aku tidak mau ikut campur urusan pribadinya." Dia membuka pintu, lalu mengarahkan tangan kanan. "Silakan pergi dari sini. Sebelum Trevor akan melaporkan kalian ke kantor polisi." "Katakan padanya, kami tidak takut!" bentak Rayner. "Kalau dia berani menuntut, maka kami akan melakukan hal yang sama!" geramnya, sebelum melangkah ke luar dengan tergesa-gesa. Marcell dan Charlie menyusul Rayner. Sedangkan Arnold masih diam di tempat. Pria berperawakan sedang mengamati Mathias yang tengah berpindah ke meja kerja sang bos. "Tolong sampaikan padanya, jangan lagi mendatangi Jewel," ujar Arnold. "Sekali saja dia muncul di sekitar adikku, maka kami akan melakukan tindakan tegas," lanjutnya. Mathias tidak menyahut dan hanya memandangi pria berkemeja hitam pas badan yang sedang melenggang keluar. Mathias duduk di kursi sang bos, kemudian menggeleng pelan. Dia mengambil ponsel dan tas kerja Trevor, lalu berdiri dan mengayunkan tungkai menuju ruang kerjanya. Tidak berselang lama Mathias telah mendatangi Andien. Dia meminta sang sekretaris untuk mengunci ruangan Trevor dan tidak membiarkan seorang pun memasuki tempat itu agar tidak merusak apa pun. *** Trevor meringis sambil memegangi kepalanya yang diperban. Dia menolak untuk dirawat di rumah sakit dan memaksa diantarkan pulang ke mansionnya. Pria berparas manis menyandar ke kursi dengan posisi miring. Dia memejamkan mata untuk mengurangi denyutan. Levin yang mengemudikan mobilnya sendiri, sekali-sekali mengecek kondisi Kakak sepupunya di belakang. Pria yang lebih muda prihatin dengan nasib Trevor. Namun, dia juga tidak menyalahkan kemarahan Marcellino yang menyebabkan Trevor terluka. Terren dan Mathias yang berada di mobil kedua, sama sekali tidak mengucapkan kata-kata. Mereka larut dalam pikiran masing-masing, setelah tadi sempat berdebat, sesaat kala Mathias tiba di rumah sakit. Pada awalnya Terren hendak melaporkan peristiwa itu ke kantor polisi. Namun, Mathias mencegahnya dan menyampaikan pesan dari Arnold serta Rayner. Levin menyetujui usul Mathias untuk tidak meneruskan kasus itu, karena nantinya akan makin ricuh. Bukan hanya Trevor yang akan pusing menghadapi tuntutan balasan keluarga Jewel, tetapi semua keluarga Aryeswara juga akan terkena dampaknya. Bahkan, bisa saja hal itu akan berakibat tidak baik pada perusahaan. "Mas Ben nelepon," tutur Terren ketika mengecek nama pemanggil di ponselnya. "Angkat aja," sahut Mathias sembari meneruskan mengemudi. Terren ragu-ragu sesaat, sebelum menekan tanda hijau dan menyalakan fitur pengeras suara. Namun, belum sempat dia menyapa, Kakak sepupu tertua telah menanyakan sesuatu dengan nada tinggi. "Di mana si b******k itu?" tanya Benigno yang berhasil mengejutkan Terren. "Ehm, di mobil Kak Levin," jawab Terren. "Kalian kenapa nggak cerita dari kemaren?" "Mas Trevor yang melarang, Mas Ben." "Jangan dituruti. Itu udah sesat!" Terdengar suara benda dipukul dari kejauhan dan menyebabkan Terren menjengit. "Kalau aku nggak datang ke kantor, bisa-bisa aku nggak tahu soal ini!" desisnya. "Mas di kantor kami?" "Ya." "Ngapain?" "Kita, kan, mau rapat, Kunyuk!" Terren menepuk dahinya. Sementara Mathias mengulum senyum. Keduanya saling melirik, sebelum sama-sama mendengkus pelan. Mereka lupa akan pertemuan hari itu yang akan membahas proyek resor baru. "Kalian mau ke mana sekarang?" tanya Benigno. "Tempatnya Mas Trevor," sahut Terren. "Oke, aku segera ke sana." Terren hendak menyanggah, tetapi telepon telanjur diputus sang kakak. Pria berusia dua puluh delapan tahun memijat bagian tengah dahi yang mendadak berdenyut. Terren bisa membayangkan Trevor akan dimarahi oleh Benigno yang memang paling serius di antara semua cucu laki-laki Edison Aryeswara. Puluhan menit berikutnya, Benigno benar-benar memarahi Adik sepupunya yang hanya bisa terdiam. Trevor sama sekali tidak menyanggah omelan sang kakak, karena dia memang jelas salah. Setelah memuntahkan semua omelan, Benigno jalan mondar-mandir sepanjang ruangan selama beberapa saat. Dia akhirnya duduk berdampingan dengan Levin. Sedangkan Trevor duduk bersebelahan dengan Terren. Mathias telah kembali ke kantor untuk mengambil alih tugas-tugas bosnya yang akan kembali cuti selama beberapa hari ke depan. Trevor baru akan kembali bekerja setelah lukanya sembuh. "Sekarang, apa yang mau kamu lakukan?" tanya Benigno sambil memandangi sepupunya dengan tajam. "Belum tahu, Mas. Saya nggak bisa mikir," jelas Trevor. "Jangan kelamaan ditunda. Kamu yang cari masalah hingga terluka seperti itu." Benigno menggeleng kuat. "Kalau aku jadi dia, mungkin kamu bakal kuhabisi!" geramnya. Trevor tidak menyahut. Selain karena kepalanya pusing, ucapan Benigno memang benar. "Saya sudah mengaku salah pada Jewel dan memintanya untuk menikah. Tapi tadi kakaknya bilang, kalau Jewel menolak." "Pasti nolaklah. Dia benci sama kamu." "Saya memang salah. Tapi saya serius untuk menikahinya." "Apa kamu sudah minta maaf?" Trevor tertegun, kemudian menjawab, "Saya lupa, sudah atau belum." "t***l!" umpat Benigno yang menyebabkan Levin dan Terren serentak menjengit. "Harusnya dari sebelum melamar, kamu minta maaf dulu ke dia. Otakmu ke mana? Dipinjamkan ke tukang bakso?" sentaknya. "Kamu sudah dewasa, Tre. Harusnya paham, tidak bisa sembarangan berbuat begitu pada perempuan mana pun," ungkap Benigno. "Aku dari dulu udah sering bilang, menikahlah kalau kamu nggak sanggup menahan hasrat. Tapi kamu masih saja senang berpetualang dari satu wanita ke wanita lain!" cibirnya. "Hasilnya begini, kan? Dan bukan hanya kamu aja yang repot, tapi semua anggota keluarga kita!" Benigno meninju sandaran kursi. "Aku bakal kena semprot semua orang tua serta tetua. Semuanya gara-gara kamu!" hardiknya. "Ini nggak ada hubungannya dengan Mas. Mereka nggak mungkin marah ke Mas." "Mana ada begitu. Apa kamu ingat? Waktu Ethan ketangkap di pesta nggak benar, aku juga ikut disidang. Terus, waktu kamu demen balapan dulu, aku juga kena omelan. Levin berantem sama anak pengusaha luar negeri, aku lagi yang harus ngurusin!" "Ehm, ya. Maaf, Mas. Tapi itu di luar kuasa saya. Sama sekali tidak tahu jika Mas bakal kena semprot juga." "Basi!" Benigno mendelik tajam pada Terren yang seketika ingin menciutkan diri. "Awas aja kalau kamu juga bikin masalah. Habis aku dimarahin, kamu akan kuhajar!" ancamnya yang tidak berani dibalas sang adik. Benigno menyugar rambutnya sebelum menariknya sedikit. "Apa orang tuamu sudah tahu?" tanyanya. "Belum, dan saya harap Mas nggak menyebutkan soal ini pada mereka," pinta Trevor. "Lalu, gimana caranya kita menutupi lukamu itu? Nanti malam kita harus menghadiri acara makan malam bersama keluarga besar." Trevor terdiam, kemudian dia menengadah. "Ehm, belum tahu. Apa Mas punya ide?" "No. Otakku nge-hang." "Apa saya nggak usah datang aja?" "Kami yang akan dicecar keluarga!" "Bilang aja, saya lagi ada urusan lain." "Kamu telepon Papa dan ngomong begitu. Berani?" Trevor kembali terdiam. Dia memelototi kedua adiknya yang tengah terkekeh. "Kalian ikut mikirin, dong! Bukan ketawa!" protesnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN