15
Sepanjang acara makan malam bersama keluarga besar Aryeswara dan para menantu dari Edison Aryeswara serta Ayu Rianisti, Trevor berusaha tetap tenang meskipun sebenarnya dia gelisah dan ingin segera pergi dari tempat itu.
Tatapan menyelidik sang mama yang berada di seberang meja, menjadikan Trevor kesulitan menelan makanan. Ditambah lagi denyutan di tempat luka kembali terasa, padahal tadi sempat menghilang seusai mengonsumsi obat.
Benigno yang duduk di sebelah kiri Trevor, sekali-sekali mengecek ke belakang kepala adiknya. Jiwa dokternya terpanggil untuk mengecek kembali hasil pengobatan rekan sejawat di rumah sakit yang didatangi Trevor tadi.
Ethan yang berada di sebelah kanan Trevor, beradu siku dengan Levin. Terutama karena mereka telah melihat dua orang perempuan muda, yang berada di ujung kanan meja bersama Yessy, Bunda dari Levin dan Levanua.
Terren dan Levana sibuk mengobrol sambil sekali-sekali terkekeh. Kedekatan mereka sejak kecil menjadikan keduanya sangat akrab. Terren mengangkat alis ketika Levanya menunjukkan foto seorang pria yang disebut tengah dekat dengannya.
"Yakin, mau sama dia?" tanya Terren.
"Belum tahu, Kak. Kami masih pendekatan aja. Belum ada yang ngungkapin perasaan."
"Aku kenal dia."
"Oh, ya? Di mana?"
"Dia cukup terkenal di antara para pengusaha muda. Don Juan itu. Hati-hati."
Levanya terdiam, kemudian bertutur, "Kakak orang kesekian yang menyebutkan itu."
"Aku tidak mau kamu terjebak. Sebagai satu-satunya sepupu perempuan, bungsu pula, aku dan yang lainnya berharap jodohmu itu orang baik."
Levanya mendengkus pelan. "Susah cari yang baik. Kebanyakan sudah menikah. Stok menipis."
"Ya, begitu juga dengan perempuan baik. Buktinya, kakak-kakak kita masih betah melajang."
Levanya melirik ke kiri. "Kenapa kayaknya Mas Trevor tegang banget, ya?"
"Dipandangi detektif Laksita, gimana nggak tegang?"
Gadis berusia dua puluh lima tahun terkekeh. Dia cepat-cepat menutup mulut dengan tangan ketika sang bunda memandanginya sembari mengangkat alis. "Kupikir semua Ibu kita memang pendeteksi hal-hal yang disembunyikan anak-anaknya," ungkapnya setelah bisa mengendalikan diri.
"Hmm, ya. Contohnya, Bunda bawa dua perempuan itu. Aku yakin, pasti mau diperkenalkan pada Mas Ben dan Mas Trevor."
"Betul. Ada dua lagi yang akan datang. Mungkin mau dikenalin ke Kak Ethan dan Kak Levin."
"Apa mereka semua pegawai di klinik kecantikan Bunda?"
"Kali ini bukan. Bunda nyerah nunjukin kelas standar. Sekarang, beliau minta bantu temannya yang pemilik agensi model. Aku lupa namanya."
"Sepertinya cocok. Kedua Kakak kita di sebelahku udah kasak-kusuk dari tadi."
"Mereka memang tidak bisa lihat barang bagus."
Suara berat Edison menghentikan percakapan kedua anak muda. Mereka mendengarkan sang opa mengumumkan sesuatu, sebelum sama-sama terkesiap dan beradu pandang.
Hal serupa dilakukan Levin dan Ethan. Sedangkan Trevor menunduk sembari memijat pangkal hidung yang kian berdenyut. Benigno tetap diam sambil menggigit bibir bawah dan memandangi laki-laki tua berkumis tebal yang masih terus mengoceh.
"Ada pertanyaan?" tanya Edison, setelah menyelesaikan penuturannya.
"Mohon maaf, Opa. Tapi aku sudah memiliki usaha sendiri bersama teman-teman," ungkap Benigno. "Untuk usaha baru itu, mungkin lebih baik adik-adik yang pegang," sambungnya sambil mengarahkan tangan ke kanan.
"Trevor, gimana?" tanya Edison.
Pria beralis tebal menengadah. Kemudian menggeleng. "Saya lagi menangani proyek baru dengan teman-teman di tim gabungan. Sama dengan Mas Ben."
"Aku juga nggak bisa, Opa. Bisnis kita di Singapura dan Malaysia sudah menyita waktu. Nggak sanggup tambah area," tukas Ethan.
Levin berdiam diri sesaat. Dia tahu tidak mungkin mengecewakan pria tua yang sudah sangat baik pada semua cucunya. "Aku bisa, Opa. Tapi harus dikerjakan bersama Terren dan Levanya," cakapnya yang langsung diinjak kakinya oleh lelaki berambut ikal di sebelah kanan.
"Bagus!" Edison tampak semringah. "Silakan kalian rembukkan. Opa tunggu di kantor, Senin siang," lanjutnya.
"Aku agak telat sedikit, nggak apa-apa, Opa?" tanya Terren sembari menahan keinginan untuk mencekik sepupunya yang tengah cengengesan di samping kiri.
"Kenapa telat?" tanya Peter yang sejak tadi hanya mendengarkan. Dia tidak suka bila putranya tidak bisa tepat waktu.
"Aku ada meeting dengan BPAGK, Vong Grup, Pramudya dan Hastomo Grup," terang Terren.
"Vong Grup? Bukankah itu dari Taiwan?" tanya Gregory, anak bungsu Edison.
"Ya, Yah. Anak ownernya sudah pindah ke sini," imbuh Benigno.
"Yang mana?"
"Putri pertama, Delany."
Gregory manggut-manggut. "Saya kenal Qianfan. Dia pengusaha jujur."
"BPAGK, Mami baru dengar," sela Ursula, Ibu dari Benigno dan Ethan.
"Itu perusahaan gabungan teman-temanku, Mi," papar Benigno. "Mereka berlima bentuk itu. Sedangkan aku dan keenam orang lainnya membentuk SHEHHBY," lanjutnya.
"Kenapa kita dulu tidak terpikirkan untuk membuat perusahaan gabungan, ya?" tanya Rafael, Papi dari Benigno dan Ethan.
"Dulu kita terlalu sibuk mengembangkan perusahaan masing-masing. Ada juga rasa tidak mau tersaingi," cetus Peter. "Tapi setelah saya telaah, ternyata membentuk gabungan itu juga menguntungkan. Karena terikat kontrak lama yang bernama pertemanan," bebernya.
"Betul, Pa," balas Ethan. "Waktu Mas Ben ngajak gabung di tim keempat, aku asal ikut aja. Tapi setelah nyemplung, ternyata seru. Kami bisa bertukar ide ataupun saling membantu," pungkasnya.
"Itu tidak terbatas dalam satu tim saja. Anggota tim lainnya juga akan membantu, terutama untuk hal positif." Benigno melirik Trevor, kemudian melanjutkan ucapannya. "Tapi, bila ada anggota yang terlibat kejahatan, kami tidak akan mendukung. Mungkin akan dikeluarkan dari PG dan diblack-list dari daftar rekanan."
Trevor menunduk. Dia tahu siapa yang dimaksud Benigno. Pria berpunggung lebar menarik napas dalam-dalam dan melepaskannya perlahan. Dia berpikir untuk mundur dari PG, dan Terren yang akan menggantikan posisinya di tim empat.
Trevor tidak mau dikeluarkan dengan tidak hormat, bila nantinya rekan-rekannya mengetahui perilakunya yang buruk. Pria berkulit kuning langsat mengambil gelas dari meja dan meneguk airnya dengan cepat. Dia nyaris tersedak ketika Laksita menanyakan siapa calonnya.
"Mama sudah menunggu Mas datang dan menjelaskan. Tapi Mas tidak muncul!" sungut perempuan yang masih tetap cantik meskipun usianya sudah lima puluh enam tahun.
Trevor meletakkan gelas yang sudah kosong ke tempat semula. Kemudian menyahut, "Tidak jadi, Ma."
"Kenapa?"
"Orangnya menolak saya."
Laksita memandangi suaminya yang terlihat terkejut. "Perempuan mana yang berani menolak Mas?"
"Nggak perlu saya jelaskan siapa. Pokoknya tidak jadi," terang Trevor.
"Kalau begitu, kamu dan yang lainnya pasti mau kenalan dengan gadis-gadis ini," celetuk Yessy.
Trevor dan keempat saudaranya saling melirik. Mereka sudah menduga jika Yessy pasti akan mencoba kembali menjadi biro jodoh. Ursula mendelik pada kedua putranya yang serentak mengangguk. Sedangkan Laksita masih penasaran dengan apa yang terjadi pada putra pertamanya yang terlihat lesu.
Sesi perkenalan berlangsung kaku. Ayu membetulkan letak kacamata tebalnya untuk memastikan wajah kedua perempuan yang disebut Yessy sebagai para model. Perempuan tua berusia delapan puluh dua tahun mengakui jika gadis-gadis itu terlihat menawan. Namun, dia lebih menyukai perempuan sederhana untuk menjadi pendamping cucu-cucunya.
***
Trevor terbangun di tengah malam karena perutnya mual. Dia segera bangkit dan jalan terhuyung-huyung ke toilet. Semua isi perut dikeluarkan dan membuatnya lemas. Setelah membersihkan semuanya, Trevor kembali ke kamar. Tatapan yang berkunang-kunang menjadikannya berhenti sambil memegangi dinding.
Trevor berteriak semampunya memanggil Terren yang tidur di kamar sebelah. Tidak berselang lama sang adik muncul dan membantu Trevor kembali ke kasur. Wajah pucat kakaknya menyebabkan Terren khawatir. Ditambah lagi pria yang lebih tua mengaduh sambil memegangi kepalanya.
Terren bergegas bangkit untuk menyalakan lampu, kemudian dia membangunkan seseorang yang tidur di sofa bed. Pria bertubuh tinggi mengerjap-ngerjapkan mata saat mendengar penjelasan lelaki muda tentang kondisi Trevor. Lalu dia bangkit dan jalan menuju kamar utama.
"Obatnya udah diminum?" tanya Benigno sembari mengecek bagian belakang kepala Adik sepupunya.
"Saya tidak kuat. Obatnya menghantam lambung," terang Trevor sambil menahan sakit.
"Mana? Kulihat dulu."
"Di laci paling atas."
Benigno menarik laci di lemari samping kanan kasur. Dia mengambil tas obat dan mengecek isinya. "Kita harus ganti obatnya. Tunggu, aku cek di mobil."
"Aku aja yang ambil. Mas tunggu di sini," timpal Terren.
"Kuncinya di buffet. Tas hitam di kotak belakang kursi sopir," jelas Benigno.
Sekian menit berlalu, Terren telah kembali sambil membawa benda yang dimaksud. Dia tertegun menyaksikan Benigno mengemasi alat medis dan obat cair, kemudian menyuntikkannya pada Trevor yang masih meringis kesakitan.
"Dia disuntik apa?" tanya Terren.
"Pereda nyeri. Tenang aja, ini dosis kecil. Minimal nggak sakit lagi," papar sang dokter.
"Mas kenapa nggak nerusin jadi dokter gigi aja? Sayang itu klinik malah diserahkan ke orang lain."
Benigno terdiam, kemudian berkata, "Terlalu banyak kenangan aku dan dia di sana. Aku nggak sanggup lama-lama di ruang praktek. Kebayang terus."
"Mas belum merelakannya berarti."
"Gimana bisa ikhlas, kalau dia mati di pangkuanku?" Benigno memandangi Terren sesaat, sebelum mengalihkan pandangan pada Trevor yang balas menatapnya dengan sendu. "Karena itu, aku tidak suka kalau kamu mempermainkan perempuan, Tre. Sakit hatinya mereka akan sulit diobati," jelasnya.
"Cukup aku yang harus menenangkan orang yang trauma karena jadi korban. Jangan ada lagi orang lain yang bernasib sama denganku. Rasa sesak dan penyesalan karena tidak bisa menyelamatkannya, itu nggak akan pernah hilang sampai kapan pun," pungkas Benigno.
Pria yang lebih tua berdiri, lalu bertutur, "Setelah lukamu sembuh, datangi dia dan meminta maaf dengan tulus. Jangan memaksanya menikahimu, karena itu akan makin membuatnya membencimu."