04
Jewel masih marah dan ingin sekali memukuli pria yang tengah merapikan kebun mini di balkon. Perempuan berambut panjang menekuk wajah hingga terkesan masam, terutama karena ponselnya disita dan masih terkurung di tempat mewah, tetapi pemiliknya berhati kejam.
Bunyi perutnya menyebabkan Jewel meringis. Dia melirik benda bulat di dinding, kemudian mendengkus karena ternyata hari sudah siang dan dia masih belum makan apa pun sejak pagi. Jewel tadi tidak mau mencicipi omelette buatan lelaki berkumis tipis, karena masih kesal sekaligus sakit hati. Perempuan berbibir penuh menyesal telah menolak sarapan karena sekarang perutnya sakit.
Trevor yang sudah selesai merapikan tanaman kesukaan, berdiri dan membuka sarung tangan karet. Dia meletakkan benda itu ke rak sisi kiri balkon, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling seraya tersenyum lebar, merasa puas menyaksikan kebun kecilnya tertata rapi.
Sekian menit berlalu, pria bertubuh tinggi melenggang melintasi ruang santai di mana Jewel tengah meringkuk di sofa hitam. Lelaki berkaus putih mengabaikan sosok perempuan yang tengah menatapnya tajam.
Trevor terus melangkah menuju dapur dan membuka lemari es dua pintu. Dia berjongkok untuk mengecek bahan-bahan masakan, kemudian memutuskan membuat sesuatu yang gampang dan cepat jadi karena perutnya sudah lapar.
Jewel terus mengamati gerakan lincah pria berambut tebal yang tengah meramu masakan. Aroma harum menguar dan menerpa indra penciuman perempuan berbaju merah. Perutnya kian memberontak dan menyebabkan Jewel meringis. Dia akhirnya memaksakan diri bangkit dan jalan menuju dapur untuk mengecek apa yang tengah dimasak sang koki.
"Apa itu?" tanya Jewel saat tidak berhasil menebak apa yang sedang diaduk-aduk Trevor di wajan.
"Daging cincang," jawab pria berhidung mancung tanpa menoleh.
"Masih lama?"
"Sedikit lagi." Trevor melirik perempuan yang tengah serius memandangi wajan. "Kamu lapar?" tanyanya.
"Ehm, ya." Jewel terpaksa mengakuinya karena sudah kelaparan.
"Mau buah atau biskuit? Minimal ganjal dulu perutnya."
Perempuan bermata tidak terlalu besar mengangguk. Dia berpindah ke meja penyajian dan mengecek beberapa toples berisi biskuit dan kacang berbagai jenis. Jewel mengambil satu toples kaca dan membuka tutupnya. Dia menyuapkan kudapan ke mulut dan mengunyah dengan cepat.
Jewel merutuki diri karena tadi tidak mengambil sendiri berbagai kudapan, padahal sudah tersaji di meja persegi panjang berukuran sedang. Jewel berjanji tidak akan mengabaikan perutnya lagi, walaupun itu artinya harus memakan apa pun yang diberikan penculiknya.
Perempuan berwajah mungil mengamati Trevor yang tengah menuangkan daging cincang ke wadah makanan kaca yang telah diisi sesuatu yang ditebak Jewel sebagai tahu putih. Dia terus memperhatikan saat koki memasukkan wadah kaca ke pemanggang dan mengatur waktunya dengan tangkas.
"Mas suka masak?" tanya Jewel memecah kesunyian.
"Ya, darah koki mengalir dari Mama saya," jawab Trevor sembari berbalik dan duduk di kursi seberang meja.
"Apa selalu masak sendiri?"
"Enggak. Hanya saat libur kayak gini aja. Hari kerja saya akan beli makanan." Trevor menatap paras ayu di hadapannya, kemudian bertanya, "Apa kamu suka masak juga?"
Jewel menggeleng. "Nggak bisa dan nggak mau belajar juga."
"Kenapa? Ini sangat menyenangkan."
"Itu menurut Mas, bagiku merepotkan. Lebih praktis beli, tinggal santap."
Trevor mengulaskan senyuman. "Tidak masalah. Saya mencari istri, bukan koki."
Raut wajah Jewel berubah kecut. "Sudah kubilang nggak mau nikah sama Mas!" ketusnya.
"Dan saya juga sudah bilang, kamu adalah milik saya."
"Mas jangan memaksa!"
"Saya hanya ingin menyadarkanmu. Coba kamu pikir, apa dia akan menerimamu yang sudah tidak perawan?"
Jewel memelototi pria yang balas menatapnya lekat-lekat. "Aku yakin dia mencintaiku apa adanya. Jadi dia pasti tetap menerimaku meski sudah ternoda!"
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?"
"Karena kami saling mencintai."
Trevor tersenyum miring seolah-olah sedang meledek perempuan yang masih membeliakkan mata. "Begitu?" desaknya.
"Ya."
"Kalau begitu, telepon dia sekarang dan ceritakan apa yang telah terjadi. Mari kita lihat reaksinya." Trevor mengambil ponselnya dari saku celana jin hitam dan menggulirkan jemari untuk membuka kunci layar. Dia mencari nomor kontak Marcellino dan menekannya. Kemudian dia mengulurkan benda itu pada Jewel yang spontan menyambar untuk mematikan panggilan.
"Jangan sekarang. Aku akan menjelaskannya saat dia pulang nanti," tukas Jewel. Dia menekan tanda merah pada layar dan baru menekan beberapa angka nomor telepon Febiola ketika ponsel direbut pemiliknya. "Aku harus menghubungi Febi. Dia pasti mencariku saat ini," terangnya.
"Kenapa harus begitu?"
"Kami ada kerjaan hari ini."
"Biarkan dia kerja sendiri."
"Nggak bisa. Ini tanggung jawab kami berdua." Jewel memajukan tubuh hingga menempel pada meja. "Seenggaknya biarkan aku memberi kabar padanya, Mas. Atau Mas mau dia panik dan melaporkan kehilanganku pada polisi?" tanyanya sekaligus mengancam secara tidak langsung.
"Dia tidak akan melakukan itu. Saya sudah menyuruh seseorang mengabarkan pada pihak security apartemenmu. Bila ada yang mencarimu, maka akan dikatakan kalau kamu sedang berlibur bersama calon suami," ungkap Trevor yang menyebabkan Jewel kembali meradang hingga menggebrak meja dengan kuat.
"Mas benar-benar menyebalkan! Aku benci!" bentak Jewel sebelum bangkit berdiri dan menjauh sambil meneriakkan kata-kata makian dalam bahasa Sunda yang menjadikan Trevor menggeleng pelan.
Denting alat pemanggang yang menandakan masakan sudah matang, mengalihkan perhatian lelaki berkaus putih. Trevor berdiri dan mendatangi oven. Dia mengenakan sarung tangan khusus sebelum mengeluarkan wadah makanan kaca yang mengepulkan uap panas.
Belasan menit berlalu, Trevor sedang menikmati hidangan sambil menonton televisi. Jewel keluar dari kamar kedua dan memandanginya sesaat, kemudian perempuan berambut panjang mengayunkan tungkai menuju meja penyajian.
Trevor mengulum senyum ketika menyaksikan perempuan perajuk yang sedang makan dengan lahap di meja pantry. Dia berdiri dan berpindah ke kursi sebelah kiri Jewel, kemudian meneruskan bersantap hingga piringnya licin.
"Masih lapar?" tanya Trevor saat menyaksikan Jewel melamun sambil memandangi wadah kaca yang kosong.
"Ehm, ya," sahut perempuan berleher jenjang. "Ini enak banget, aku suka," sambungnya.
"Makasih pujiannya. Nanti malam saya buatin lagi."
"Aku nggak akan ada di sini sampai malam."
"Kamu tidak akan ke mana-mana."
"Aku pengen pulang."
"Nanti."
"Kapan?"
"Setelah kita menikah."
"Sudah kukatakan ...."
"Dan saya akan tetap memaksa."
Trevor berdiri untuk mengangkat piring bekasnya makan dan jalan menuju bak cuci. Dia membersihkan peralatan makan dengan gesit, kemudian mengayunkan tungkai kembali ke sofa dan meneruskan menonton berita luar negeri.
Jewel menggerutu sesaat, sebelum bangkit dan jalan ke bak cuci. Dia mencuci bersih semua peralatan makan, lalu melanjutkan kegiatan dengan mengelap kompor dan meja hingga mengilat.
Detik berganti menjadi menit. Putaran jam melaju hingga waktu bergeser dengan cepat. Matahari cerah menghiasi langit Kota Jakarta. Jewel berdiri di pembatas balkon dan melongok ke bawah. Dia bergidik ngeri saat membayangkan terjatuh ke aspal. Pastilah tubuhnya tidak akan berbentuk lagi.
Jewel memindai sekitar, lalu menggerutu karena tidak menemukan satu pun balkon lain. Padahal sebelumnya dia berharap ada tetangga di kanan atau kiri, hingga dirinya bisa meminta bantuan hingga berhasil kabur. Jewel membatin bila dirinya tengah berada di mansion eksklusif yang mungkin hanya ada beberapa unit di lantai yang sama.
Kenyataan itu menampar Jewel karena harus mengakui bila dirinya terperangkap dan tidak bisa keluar, tanpa persetujuan pemilik tempat. Perempuan yang telah berganti pakaian dengan setelan kaus biru, memejamkan mata sembari berdoa dalam hati, agar ada seseorang yang mengkhawatirkan dirinya yang tiba-tiba menghilang.