03
Mentari pagi menyapa hari dengan memancarkan kehangatan sinarnya. Angin bertiup sepoi-sepoi menggoyangkan dedaunan kecil pada dahan pohon, yang tumbuh di sekitar gedung apartemen tempat di mana Trevor menetap.
Jewel meringis ketika terjaga dan merasakan tubuhnya sakit, terutama di daerah bawah perut. Perempuan berparas cantik memindai sekitar dan terkejut ketika menyadari bahwa dirinya tidak berada di kamarnya sendiri. Jewel berusaha untuk bangkit dengan bertumpu pada kedua siku. Dia memperhatikan sekeliling yang tampak asing sembari bertanya-tanya dalam hati, di manakah dia berada saat ini.
Pintu di sudut kanan terbuka dan sesosok pria jalan memasuki ruangan sambil membawa meja kecil. Lelaki berkaus putih berhenti tepat di samping kanan tempat tidur dan menatap Jewel yang balas memandanginya dengan mata membeliak.
"Pagi, Sayang. Ayo, kita sarapan," sapa Trevor dengan ramah.
Jewel yang masih belum bisa menguasai diri, hanya terdiam kala Trevor meletakkan meja kecil di tangannya ke tengah tempat tidur. Pria bercelana pendek hitam memutari ranjang dan duduk di sebelah kiri. Dia meraih cangkir dan menyeruput kopi dengan santai sambil sekali-sekali melirik pada Jewel yang masih kebingungan.
"Mau makan sendiri, atau saya suapin?" tanya Trevor sembari meletakkan cangkir ke tempat semula.
Jewel spontan menggeleng. "Aku ... sekarang berada di mana dan kenapa bisa di sini?" tanyanya.
Trevor menatap sepasang mata beriris cokelat muda yang saat itu memperhatikannya dengan lekat. "Ini mansion saya, dan sekarang kamu berada di kamarku. Kenapa bisa di sini? Itu karena kita telah menghabiskan malam bersama," tukasnya.
Jewel mematung. Batinnya bergemuruh dan pikiran mendadak buntu. Perempuan berhidung bangir sebenarnya sudah curiga sejak tadi, tetapi dia masih ingin mendapatkan kepastian. Namun, setelah mendengarkan penjelasan Trevor membuat dadanya sesak.
"Ayo, makan dulu. Kamu pasti membutuhkan asupan makanan setelah ...." Trevor tidak melanjutkan ucapannya dan hanya mengulaskan senyuman tipis yang terkesan misterius.
Pria berambut tebal melanjutkan makan dengan santai. Seakan-akan tidak mengindahkan tatapan mata Jewel yang mulai berkabut. Kala perempuan itu menangis, barulah Trevor menengadah dan menghentikan aktivitas.
Trevor sudah sering menghabiskan malam dengan banyak perempuan yang sengaja melemparkan diri mereka untuk menjadi tempat penyaluran nafsunya. Namun, sosok Jewel sangat berbeda. Perempuan yang melilitkan selimut ke badannya, tampak benar-benar sedih karena telah kehilangan kehormatannya.
Jewel menutupi wajah dengan kedua tangan. Bahunya berguncang seiring dengan banjirnya air mata yang mengalir deras hingga membasahi selimut. Hati perempuan tersebut patah. Harga dirinya hancur berkeping-keping karena tidak sanggup melindungi kehormatan.
Pria berahang kokoh menyesap kopinya sampai habis. Kemudian menggeser tubuh hingga berhadapan dengan Jewel. Dia meraih tangan perempuan yang menutupi mukanya dan seketika terenyuh. Wajah Jewel yang basah dengan ujung hidung yang memerah tampak sangat menyedihkan. Perempuan berambut panjang memandangi Trevor dengan sorot mata sayu yang membuat pria bermata tidak terlalu besar merasa sangat bersalah.
"Jangan menangis," tutur Trevor sambil mengusap lelehan air dengan ujung jari.
"Gimana aku nggak nangis, Mas? Mas udah mengambil apa yang sudah kujaga sejak lama dan akan kuserahkan pada suamiku," sahut Jewel dengan suara bergetar.
"Anggap saja kamu sudah melakukannya."
"Apa?"
"Menyerahkannya pada suami."
"Tapi Mas bukan suamiku!" Suara Jewel mulai meninggi. Dia benar-benar kesal karena Trevor sepertinya sangat santai menghadapi hal rumit seperti itu.
"Saya akan menikahimu!" tegas Trevor. Pria berbadan tinggi merasa yakin dengan keputusannya untuk menikahi Jewel. Terutama karena memang sudah menyukai perempuan tersebut sejak beberapa waktu lalu.
Jewel sontak menggeleng. "Nggak! Aku nggak mau nikah sama Mas!" serunya.
"Mau atau nggak, kamu bakal tetap nikah sama saya!"
"Aku nggak cinta sama kamu, Mas. Aku cintanya sama Mas Marcell!"
"Terserah! Tapi asal kamu tau aja, kalau perusahaan tunanganmu itu bergantung pada perusahaan saya. Tinggal menjentikkan jari, maka semua bantuan finansial ke perusahaannya akan terputus. Akibatnya ... kamu pikir sendiri!"
Trevor mendengkus dan membalikkan tubuh. Dia berdiri dan jalan keluar, tak lupa untuk menutup pintu dengan keras hingga membuat Jewel tersentak dan kembali menangis. Perempuan berambut panjang terisak-isak selama beberapa menit selanjutnya.
Kala merasa lelah, Jewel memutuskan untuk segera keluar dari tempat menjijikkan. Rasa kecewa karena menjadi korban hasrat lelaki tersebut membuatnya dendam pada Trevor.
Jewel berdiri dan sempat tertegun kala melihat noda merah di sprei putih yang memastikan kesuciannya telah terenggut paksa. Sekuat tenaga dia menahan tangis dan memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Sambil mengabaikan rasa sakit di bagian intim, Jewel mengenakan pakaiannya. Lalu dia menyambar tas tangan yang ada di meja rias.
Alih-alih membersihkan diri, perempuan berbibir penuh hanya merapikan rambut dan bergegas ke luar. Jalan secepat yang dia bisa hingga tiba di ruangan besar yang sepi. Trevor tidak terlihat di mana-mana dan Jewel tidak merisaukan hal itu. Dia justru merasa lega karena tidak harus bertemu kembali dengan orang yang telah mengambil kesuciannya.
Akan tetapi, sesampainya di depan pintu ternyata benda itu terkunci. Jewel mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari kuncinya, tetapi tidak ditemukan di mana-mana. Jewel mulai panik hingga kesulitan berpikir mencari cara agar bisa keluar. Dia memutar badan dan hendak jalan ke dapur. Namun, pria berparas tampan keluar dari bagian itu dan memandanginya sambil menaikkan alis.
"Buka pintunya!" titah Jewel.
"Nope," sahut Trevor dengan santai.
"Kubilang buka!"
"Hmm?"
"Buruan! Kalau nggak, aku akan teriak!"
"Lakukan saja. Tidak ada yang akan mendengarnya, karena ruangan ini kedap suara."
"Bohong!"
"Coba saja kalau tidak percaya."
Tanpa berpikir panjang Jewel berteriak sambil memukuli dan menendang pintu. Dia makin panik karena tidak ada bunyi pergerakan dari luar yang menandakan ada yang mendengar suaranya. Selama beberapa saat berikutnya Jewel masih memekik. Sementara Trevor hanya memandangi sembari menyandarkan tubuh ke dinding dan melipat tangan di depan d**a.
Jewel yang kelelahan akhirnya berhenti berteriak. Dia menyandarkan badan ke pintu sambil mengusap wajah dengan tangan. Rasa sakit di hatinya menjadikan Jewel emosi. Dia berbalik dan jalan cepat menyambangi pria berkaus putih.
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Trevor. Dia mengeraskan rahang sembari memegangi area wajah yang terasa panas. Kala tangan Jewel kembali terangkat, Trevor dengan sigap mencekal pergelangannya, kemudian memutar lengan perempuan yang seketika memekik kesakitan.
"Jangan memancing saya bersikap kasar!" desis Trevor, tepat di dekat telinga kanan Jewel. "Kamu akan tinggal di sini, bersama saya!" tegasnya.
"Nggak mau," cicit Jewel.
"Tidak ada alasan untuk menolak, karena saya telah memilikimu seutuhnya!"
Trevor membalikkan badan perempuan berwajah mungil dan menariknya menuju kamar kedua yang bersebelahan dengan kamar utama. Trevor membuka pintunya, lalu menarik Jewel ke dekat lemari besar dua pintu.
"Di sini sudah ada baju dan berbagai perlengkapan kosmetik, bermerk sama dengan yang kamu gunakan," ungkap Trevor sambil membuka kedua pintu lemari.
Jewel mengerjap-ngerjapkan mata, kemudian bertanya, "Bagaimana Mas bisa tahu kosmetik apa saja yang kupakai?"
Trevor tidak menyahut, melainkan mengangkat alis sambil menyunggingkan senyuman miring. Dia mengabaikan gerutuan Jewel dalam bahasa Sunda yang cepat. Trevor menggeleng pelan, lalu mengambil salah satu baju dari gantungan dan memberikannya pada Jewel yang menatapnya tajam.
"Jangan memaki, Sayang. Saya memang belum fasih berbicara bahasamu, tetapi saya paham kamu ngomong apa," ungkap Trevor sebelum mencolek dagu Jewel, kemudian melenggang keluar kamar.