Ujang tak ubahnya seorang gadis yang selalu melambung kala mendengar gombalan. Bedanya, Ujang melambung saat membaca postingan Asmi. Postingan-postingan Asmi menjadi satu kebutuhan Ujang yang dibenci Mardi. Mardi merasa sudah memberitahu ujang tempo hari di atas motor, sedangkan Ujang berprasangka Mardi sengaja ingin menghancurkan impiannya.
Apa yang Ujang takutkan benar-benar terjadi, persahabatan dua anak manusia itu goyah. Ungkapan bahwa cinta itu buta benar adanya. Sayangnya Ujang tidak menyadari itu. Mardi menyayangkan, lelaki itu berusaha mengatakan kebenaran pada Ujang. Sayangnya belum sempat Mardi mengemukakan alasannya Ujang selalu menangkisnya.
Malam tiba, hati ujang seperti disirami hujan di kala terik saat mendengar lantunan tilawah Mak Lala. Biasanya perempuan itu selalu memiliki jurus ampuh dan nasihat-nasihat yang menenangkan. Semoga Mak Lala memiliki jalan keluar agar Ujang segera memiliki Asmi dengan cara yang benar dan diridai oleh Allah.
Rumah kontrakannya bukan lagi yang dulu, sebuah rumah sederhana dengan bangunan permanen yang lebih layak ditempati. Setidaknya Ujang sudah dapat memberikan kenyamanan untuk Mak Lala, harapannya suatu saat nanti Ujang dapat mempersembahkan sebuah rumah untuk Emak tercinta.
“Ada masalah, Jang? Emak lihat akhir-akhir ini kamu resah,” tegur Mak Lala.
Ujang meletakkan gawainya di atas meja, lalu beringsut mendekati Mak Lala. Rasanya sudah lama lelaki yang sebentar lagi bertambah usia tersebut tidak bermanja-manja pada sang Ibu. Di sandarkannya kepala Ujang pada pundak Mak Lala.
“Mak, kalau ada perempuan suka kode-kode sama Ujang, trus Ujang juga suka, apa yang harus Ujang lakukan selanjutnya?”
Mak Lala berbinar, tidak menyangka penyebab kegundahan lelaki kecilnya bersumber dari perempuan. Bibirnya melengkungkan senyum bahagia, sebentar lagi Mak Lala punya menantu.
“Menurut Ujang bagaimana?” Mak Lala balik bertanya.
Ujang meletakkan tangan Mak Lala di dadanya. Tangan tangguh yang berhasil menjadikannya lelaki tangguh pula.
“Pantas gak Mak, Ujang lamar anak orang?” tanya Ujang bimbang.
“Kalau Ujang merasa mampu ya lamar lah, kalau belum mampu Ujang puasa dan jaga pandangan.” Nasihat meneduhkan selalu meluncur mulus dari bibir Mak Lala. Ujang mendapat pencerahan, memiliki kekuatan dan semangat untuk menjalani hari esok dengan rencana yang sudah dia susun. Masa depannya akan segera cerah, perempuan berlesung pipi akan segera dia pinang.
Orang pertama yang akan Ujang beritahu mengenai rencananya adalah Mardi, sayangnya keesokan harinya Ujang tidak menemukan Mardi di Star Wash. Kiki salah satu motoris mereka berhalangan hadir, sehingga Mardi harus menggantikan tugas Kiki mengantar hasil cucian milik pelanggan.
Budi membantu karyawan belakang dengan setumpuk cucian sementara Ujang menjaga di depan sambil merumuskan banyak hal tentang rencana badan usaha yang sedang dia dirikan. Perizinan sedang diproses, lelaki itu tinggal menunggu hingga rencana berjalan sempurna.
Hari ini jadwalnya Asmi mengantarkan cucian ke Star Wash, dalam satu minggu perempuan yang Ujang taksir itu tiga kali datang. Berkali-kali Ujang melihat ke arah jam dinding, menyaksikan dengan gemas jarum jam yang bergulir sangat lambat.
Hingga pada sore hari tepat setelah azan Ashar berkumandang Asmi tiba bersamaan dengan Mardi. Entah satu kebetulan atau memang sebuah kesengajaan. Mardi tersenyum pada Ujang, sayangnya Ujang tidak membalas, dia menganggap itu merupakan sebuah ejekan.
“Yang Jaket hitam tolong dipisah ya, A. Biasanya kalau nyucinya bareng sama pakaian lain suka ada yang nempel kayak debu,” pinta Asmi. Ujang mengiyakan mengambil uluran tangan Asmi.
“Parfumnya yang biasa?”
“Yang seperti kemarin, kerudung gak usah di setrika. Berapa kilo semuanya, A?” tanya Asmi.
Lagi-lagi ujang grogi. Dia menjawab dengan gugup. Asmi menyadari itu tertawa dengan renyah.
“Si Aa lucu, jangan grogi atuh, A,” ujar Asmi.
Sapaan Asmi membuat tekadnya semakin bulat, Ujang menghirup napas dalam-dalam mengumpulkan segenap kekuatan untuk menyatakan perasaannya pada Asmi. Melihat dari postingannya setiap hari, Ujang yakin jika Asmi juga menyukai dirinya.
“Teh Asmi, kalau misal Ujang main ke rumah teh Asmi, ada yang marah enggak?” Lolos juga pertanyaan itu dari bibir Ujang.
Dari dalam ruangan Mardi mendengar dengan perasaan malu. Sungguh, jatuh cinta membuat Ujang menjadi sedikit bodoh.
“Tergantung tujuannya apa, kalau mau antar jemput cucian, ya gak akan ada yang marah senang malah.”
“Kalau melamar?” tembak Ujang dengan wajahnya yang mulai memerah.
Asmi tertawa, begitu renyah. Serenyah kerupuk udang kesukaan Mak Lala. Sebentar lagi dia akan menjadi menantu kesayangan Mak Lala. Batin Ujang. Sementara itu Mardi mengubur wajahnya dengan sarung yang hendak dia gunakan untuk salat Ashar ketika mendengar permintaan Ujang.
“Teh Asmi kenapa tertawa?”
“Saya ini sudah tua, Jang, Sudah ....”
“Gak apa-apa, Teh, Rasulullah saja memiliki perbedaan usia dengan Khadijah,” potong Ujang, entah dari mana rasa percaya diri yang dia miliki saat ini.
“Masalahnya saya sudah menikah, A. Bisa ngamuk suami saya kalau ada lelaki yang nekad datang ke rumah buat melamar.” Bagai tamparan keras, perkataan Asmi membuat kedua pipi Ujang panas. Mardi yang hendak mendirikan salat setia menguping dari bilik sebelah, dia menahan tawa.
“Astagfirullah, maafkan saya, Teh. Saya kira postingan Tiap hari karena memiliki perasaan yang sama dengan saya. Maaf banget, Teh. Aduh jadi malu.”
“Postingan? Postingan apa?”
“Bujang,” jawab Ujang.
Asmi kembali tertawa, dia merogoh kantong gamisnya mengeluarkan gawai keluaran terbaru berwarna silver. Dia membuka sesuatu dan memperlihatkan foto bocah lelaki berbadan gemuk. Anak itu sedang menyeringai memamerkan giginya yang ompong.
“Namanya Bagaskara Bujang Gunawan, kami biasa memanggilnya Bujang, anak bungsu saya.”
Ujang mematung tak percaya, bahkan setelah Asmi meninggalkan Star Wash lelaki itu tetap dalam posisi tersebut. Perasaannya campur aduk, antara malu, sedih, patah hati dan ingin tertawa. Dia merutuki diri sendiri, andai bus antar kota tidak menyalipnya kemarin mungkin dia akan tahu apa yang Mardi katakan di atas motor.
***
Ujang tidak habis pikir, mengapa berita memalukan itu menyebar begitu cepat. Patah hati masih bisa dia tahan, tetapi rasa malu benar-benar membuatnya enggan keluar rumah. Mardi dan Budi pura-pura tidak tahu, keduanya menjaga perasaan Ujang agar tidak semakin rikuh kala berpapasan dengan mereka.
Hati ujang sedikit pedih saat pulang ke kontrakan kemarin malam. Mak Lala menunggu anak lelakinya, lebih tepatnya menunggu kabar bahagia yang dia nantikan akhir-akhir ini. Ketika anak kesayangannya muncul, buru-buru Mak Lala memberondongnya dengan ribuan pertanyaan. Merepet, persis seperti Ceu Lilis jika memarahi Mardi.
“Gimana, Jang?” tanya Mak Lala, wajahnya yang berbinar membuat hati ujang semakin pedih.
“Lancar, yang nyuci banyak, gak ada komplain. Ujang capek, Mak. Mau tidur dulu.”
“Bentar-bentar, maksud Emak bukan itu. Ujang katanya mau ngajakin perempuan yang disukai buat nikah, udah? Emak penasaran dia mau gak ya sama kamu, harusnya sih mau, Ujang udah cakep pake gaya rambut begini, mirip artis sinetron.”
Ujang mengurut pelipisnya, berusaha menyusun barisan kalimat agar tidak mengecewakan Mak Lala, tidak ditertawakan dan tidak mengorek luka yang belum kering sama sekali. Lelaki itu buru-buru menyambar segelas air putih dan meminumnya hingga tandas.
“Ceritanya besok pagi aja ya, Mak, Ujang lelah,” tolak Ujang. Meski kecewa, Mak Lala mengiyakan. Lalu menggiring anaknya untuk makan sebelum beristirahat. Kebetulan sekali, perut Ujang memang sudah lapar.
Tudung saji berwarna merah Ujang buka. Sayur pare campur teri, tahu cibuntu juga sambel terasi menjadi menu malam itu. Ujang bersyukur, setidaknya dia tidak lagi makan dengan lauk garam.
Suapan pertama rasanya pahit. Suapan kedua juga pahit. Suapan ketiga hingga nasi habis hanya pahit yang ujang rasakan. Sama pahitnya dengan cinta sepihak yang baru saja kandas.