“Udahlah, Jang, gak usah dipikirin,” saran Mardi, suaranya yang cempreng membawa Ujang kembali ke dunia nyata. Lamunannya berakhir.
“Lo harus move on, masih banyak cewek yang pastinya mau sama lo. Percaya, deh.”
Ujang cemberut, “Lo kenapa gak cegah gue kemarin. Gue tahu lo nguping.”
“Mana ada,” elak Mardi. “Lagi pula kalau pun gue nguping, lo tahu dari mana?”
Tepat di bawah jam dinding ada sebuah cermin yang terpasang. Ujang menunjuk cermin tersebut. Mardi tersenyum kala melihat dengan jelas pantulan dari dalam musola di cermin. Ketahuan ngintip.
“Gue udah berkali-kali bilang sama, lo. Selalu aja dipotong, waktu di motor juga gue bilang, Teh Asmi itu istrinya Pak Gunawan.”
“Gak kedengeran.” Ujang berbisik. Seorang pelanggan memotong percakapan Ujang dan Mardi, dia mengambil hasil cucian yang sudah dikemas dengan rapi.
“Terima kasih,” ucap Ujang.
Tidak berselang lama, ada dua anak perempuan berlarian masuk ke Star Wash. Keduanya memakai kaos lengan panjang dan jilbab warna senada.
“Assalamualaikum,” ucap gadis-gadis. Napasnya terputus-putus, Ujang menduga dua anak tadi memang berlari dari rumahnya.
“Waalaikumsalam. Ada yang bisa kami bantu, Dek?” tanya Mardi
“Mau nyuci selimut, semalam adek ngompol, sebentar nunggu Mami.” Salah satu anak berlari keluar. Berteriak memanggil ibunya. Sesaat kemudian perempuan berkerudung biru dongker datang membawa satu kantong selimut di tangan kiri, tangan kanannya menuntun bocah yang kemarin dia lihat di gawai Asmi. Ya, yang datang memang Asmi dengan tiga pasukannya.
Dia sepertinya sengaja, batin Ujang.
“Lo yang urus, ya.” Ujang berbisik, lalu bersila di bawah meja, pura-pura sibuk.
Setelah mengiyakan permintaan Ujang, Mardi dengan telaten melayani Asmi. Bocah lelaki yang dipanggil dengan sebutan Bujang memainkan botol-botol sampel parfum. Sedangkan kedua kakaknya duduk berdempetan di kursi sambil menekan-nekan tombol pada timbangan digital.
“Teteh, Kakak, gak boleh ngoprek,” tegur Asmi. Mardi tersenyum sambil membuat nota, selimut besar dan kecil tidak dihitung per kilo, melainkan dihitung satuan. Setelah menerima nota juga voucer cuci gratis Asmi pamit. Tidak sedikit pun dia menanyakan Ujang. Aneh, hati Ujang merasa seperti tercubit karenanya.
“Sudah bangun, gak pantes Bos Star Wash lesehan dengan nelangsa begitu.” Mardi mengulurkan tangannya, Ujang sambut dengan lemas.
“Teh Asmi umur berapa, sih? Kok anaknya sudah besar,” tanya Ujang.
Mardi mengangkat bahu, dia merasa tidak memiliki kepentingan untuk mengetahui usia Asmi.
“Mana gue tahu. Sudahlah, Jang. Kita raih mimpi lagi, janji deh gue gak akan pamer kemesraan sama Puput biar lo gak merasa jadi jones yang tragis.”
“Ah, lo. Sudah bawa ke belakang itu cucian, biar dikerjakan sama Budi dan timnya.”
Mardi membawa selimut Asmi juga cucian milik pelanggan lainnya ke kelakang. Sedangkan Ujang mulai membuka laptop, mencatat semua pengeluaran dan pemasukan Star Wash hari itu.
Ujang mengarahkan pandangannya ke luar Star Wash, si seberang jalan ada sebuah gerobak bakso tahu. Sambil menunggu laptop tuanya menyala, lelaki itu beranjak dari tempat duduknya. Memanggil Mang Haris, sang penjual bakso tahu langganan Ujang.
Seporsi hidangan dengan saus kacang yang lezat Ujang bawa menuju Star Wash. Dengan hati-hati lelaki itu menyebrang, lalu duduk dan mulai menyantap sajian itu seorang diri.
Suapan pertama rasanya pahit, Mang Haris rupanya memasukkan pare ke dalam piring pesanannya. Suapan kedua tetap pahit, tetapi rasanya bisa disamarkan dengan harumnya aroma kacang. Lalu ujang memilih siomay, mengambilnya dengan garpu dan mulai menyantapnya. Rasanya masih saja pahit. Bukan karena pare, melainkan karena Asmi berboncengan dengan Pak Gunawan, tangannya melingkar di pinggang lelaki berbadan kekar itu.
“Sadar, Jang. Teh Asmi istri orang,” tegur Mardi sambil mencomot bakso tahu milik Ujang.
***
Ada yang berkata, salah satu hal yang ampuh untuk mengobati patah hati adalah jatuh cinta. Namun, tidak untuk Ujang. Bagi lelaki itu jatuh cinta menurunkan produktivitas dan semangat. Maunya mengusap layar gawai dengan penuh kasih sayang. Inginnya melamun membayangkan betapa manisnya lesung pipi yang dimiliki Asmi. Ujang kapok. Dia berusaha move on dengan cara mengubur diri dengan kesibukan.
Hari itu, Ujang harus kembali melengkapi berkas ke Dinas Ketenagakerjaan. Dia selalu tampil sederhana, tubuhnya yang mulai berisi dibalut jins dan kaus polos. Ujang membawa ransel, didalamnya terdapat map dengan berkas yang dia butuhkan untuk persyaratan perizinan usaha yang dia dirikan. Ruko dua lantai yang terletak persis di seberang Star Wash sudah dia sewa untuk kantor barunya.
Ujang turun dari sepeda motor matic yang dia kendarai sendiri. Tidak ada Mardi, hari ini tugasnya full mengurus manajemen Star Wash bersama Budi. Ujang berada di antara orang-orang yang berkepentingan di tempat itu. Wajah mereka terlihat kusut, penuh kecemasan dan ketidaksabaran. Sebuah kipas besar yang meliuk kiri kanan tidak cukup mendinginkan mereka. Sehingga map, lipatan koran, buku tulis bahkan topi beralih fungsi menjadi kipas dadakan.
Dari dalam Ujang melihat Pak Gunawan, lelaki yang minggu lalu membantu Ujang menurus proses perizinan badan usaha. Ujang lesu karena apa yang dia kerjakan tetap ada sangkut pautnya dengan Asmi. Seperti sekarang ini, ternyata dia berurusan dengan suami Asmi di Dinas Ketenagakerjaan.
“Jang, sudah lama?” tanya Pak Gunawan.
Ujang terperanjat melihat Pak Gunawan tiba-tiba mendekat. Dia tidak berani mengangkat muka, sungguh dia malu karena berani menggoda Asmi. Bagaimana jika Asmi mengadu pada suaminya? Beberapa saat, Ujang melihat reaksi Pak Gunawan. Tidak ada yang aneh, semoga Asmi tidak bercerita kejadian tempo hari.
“Ujang tidak perlu antre lagi, masuk saja ke ruangan itu serahkan berkasnya pada Bu Laksmi,” ujar Pak Gunawan diikuti senyum yang ramah. “
“Begitu saja?” tanya Ujang.
“Kecuali kamu mau bantuin saya kerja di sini,” canda Pak Gunawan.
“Bisa aja, kalau begitu saya pamit, ya, Pak. Terima kasih,” tutur Ujang. Dia meninggalkan orang-orang yang sedang mengantre tidak sabaran. Menyelesaikan urusannya dengan segera.
Tergesa Ujang meninggalkan tempat itu, setelah memberikan selembar uang pecahan dua ribuan kepada petugas parkir. Tujuan selanjutnya adalah toko di mana dia biasa membeli kebutuhan Star Wash.
Sepanjang perjalanan di atas sepeda motor ingatannya terlempar saat pertama kali dia bertemu dengan Asmi. Ujang sempat berpikir Tuhan tidak adil karena menciptakan senyuman indah Asmi yang begitu mendebarkan d**a, tetapi senyum itu tidak dapat dia miliki seorang diri.
Ujang juga mengingat betapa melambungnya angan diri ketika membaca sanjungan demi sanjungan yang Asmi tulis di beranda facebooknya. Sanjungan yang ternyata ditujukan bukan untuknya. Dia menyayangkan, kenapa rasa itu tidak tumbuh untuk Neni saja, sehingga Ujang bisa jadi iparnya Mardi. Atau dengan Musalmah anaknya Abdul Muis.
Lelaki itu menepikan kendaraannya persis di pelataran parkir masjid Agung, lalu berjalan menaiki undakan menuju serambi mesjid. Sepatu hitam yang melindungi kakinya dia buka. Dingin seketika menyentuh telapak kaki ketika berjalan di atas lantai marmer.
Sebagian jamaah masjid duduk di teras menunggu azan zuhur berkumandang. Beberapa di antaranya membawa serta anak-anak mereka yang masih balita. Mak Lala berkata bahwa teman sebaya Ujang di kampung sudah ada yang memiliki anak. mungkinkah itu sebuah kode?
Lima menit menuju waktu zuhur bergegas Ujang menuju tempat wudu. Sapuan air mengantarkan kesejukan di tengah teriknya matahari di kota Garut. Lelaki itu bertekad, akan berusaha melupakan Asmi. Dia berserah kepada Allah di rumah-Nya.
***
“Kok sore, Jang, antre?” tanya Mardi.
Ujang memang pulang menjelang petang. Untungnya Laundry belum tutup, Mardi memiliki janji dengan beberapa pelanggan yang akan mengambil cucian.
“Tadi gue ketiduran,” jawab Ujang. Dia menggaruk pelipisnya karena rikuh.
“Kok bisa tidur di Disnaker?”
“Masjid Agung,” sanggah Ujang.
“Wah enak bener,” tegur Mardi. Ujang terkekeh lalu dia menyimpan barang belanjaan dalam keranjang berwarna merah.
Mardi ikut tertawa. Lelaki itu berinisiatif memberikan segelas es jeruk kemasan kepada Ujang.
“Dalam rangka apa?” tanya Ujang heran.
“Minum aja, lo pasti kehausan.”
“Enggak, gue curiga,” tolak Ujang. Dia duduk di kursi yang biasa, pandangannya bertubrukan dengan jam dinding hadiah sabun cair. Dia teringat jam segini adalah jadwalnya Asmi mengambil cucian. Dia ingin beranjak meninggalkan tempat itu, tetapi terlalu lelah. Hadapi saja, dan menerima bahwa dia istri orang, batin Ujang.
Gelas berisi es jeruk mendarat di hadapannya, Ujang semakin curiga. Bukan pada racun atau obat tidur. Melainkan pada udang dibalik kebaikan Mardi yang tiba-tiba. Padahal lelaki yang bercita-cita jadi penulis best seller itu adalah seorang yang pelit.
“Bilang aja mau apa? Kata Upin Ipin kita gak boleh menerima rasuah.”
“Ini bukan rasuah, ini es jeruk.”
“Tapi ada sesuatu di balik es Jeruk itu, Mardi. Gue kenal lo bukan setahun dua tahun.”
“Cakep, gue mau pinjem motor malam minggu besok. Puput ngajak nonton, masa iya naik angkot.”
“Mana janji lo, katanya gak akan pamer kemesraan. Lo mah gak jaga perasaan banget. Gue ini lagi patah hati.” Ujang menyentuh dadanya berlebihan, berakting seolah-olah dia tak berdaya karena sebuah tembakan.
“Salah sendiri, suka sama bini orang. Tuh di belakang banyak mahasiswa, temen sekamar Puput juga masih jomlo. Lo mau? Entar gue kenalin sama dia.”
“Gak mau.”
“Gak mau karena lo maunya sama Teh Asmi?”
“Iya, gue tunggu jandanya dia, puas lo."
“Astagfirullah.” Dua suara terdengar kaget, suara pertama Mardi, suara kedua Asmi yang baru saja tiba hendak mengambil cucian.
Ujang membeku, andai dia punya kemampuan berpindah tempat dalam sekali kedip.