Asmi Anindita Lestari

1010 Kata
Pegawai yang bertugas menjemput cucian ke rumah pelanggan baru saja meninggalkan Star Wash ketika jam menunjukkan pukul delapan pagi hari. Budi dan Mardi mengajari pegawai baru untuk mengoperasikan mesin cuci serta mesin sikat karpet. Dengan setia Ujang menunggu Mardi dan Budi di depan, menggantikan tugas mereka menerima pelanggan yang hendak mengambil atau menyerahkan cucian kotor. Lengan kurusnya mengetuk-ngetuk meja. Lelaki itu menatap setumpuk dokumen yang akan dibawanya ini menuju Dinas Ketenagakerjaan. Sabarnya sudah habis, pasalnya hari semakin beranjak menuju siang, belum dipotong lamanya perjalanan menuju kantor Dinas. Lelaki itu buru-buru menghampiri Mardi. “Masih lama?” tanya Ujang gelisah. Mardi tersenyum, dia mengenakan celana pendek selutut dengan kaos yang biasa dia pakai jika kebagian tugas mencuci karpet. Sebuah mesin dengan sikat sebesar piring kue yang memutar seperti sedang menari di atas karpet. Tangan Mardi memegang stang yang berfungsi sebagai pengendali sikat tersebut. “Sudah ngerti, ya, Kang? Nanti kalau bingung tanya aja sama Budi di depan,” ujar Mardi pada pagawai baru. Lelaki itu menyambar handuk yang tergantung dekat pintu kamar mandi. Kemudian bergegas membersihkan diri. Budi sendiri sudah siap di depan, bertransaksi dengan para pelanggan. Semakin hari yang menggunakan jasa Star Wash semakin banyak. Kepuasan pelanggan selalu mereka utamakan. Meski begitu, perjalanan bisnis mereka tidak selalu mulus. Beberapa kali memang ada pelanggan yang komplain, tetapi hal tersebut mereka jadikan pelajaran agar menjadi semakin lebih baik ke depannya. “Kenapa sih, mondar-mandir kayak orang kebelet,” tegur Budi. Ujang kemudian duduk, memainkan timbangan digital di depannya. “Mardi itu mandinya sambil bawa motor kali, ya, lama amat kayak anak perawan?” komentar Ujang. Budi terkekeh, tangannya mengisi ulang botol pewangi yang digunakan sebagai sampel. Merapikannya di rak yang tersimpan di meja depan. “Lo bisa aja, Jang! Janjian jam berapa emang?” tanya Budi. “Kali aja dia mandi sekalian nyuci motor. Janjian sih jam sepuluh, tapi kan perjalanan ke sana berapa lama coba?” Ujang berdecak kesal. Kembali lelaki itu berdiri dengan gusar, lalu mondar mandir tak tentu arah. “Baru jam delapan, santai, si Mardi kalo bawa motor sudah kayak Valentino Rossi, cepet nyampenya.” “Ya tapi ngebut begitu gue pan takut, gue masih sayang nyawa, emak gue belom naik haji, gue belum kawin juga.” Ujang semakin resah tak tentu arah. Semakin siang antrean di Dinas akan semakin panjang. “Nah, itu Mardi udah selesai, lama amat sih Di, bikin anak orang resah aja.” Mardi sudah siap, dengan mengenakan kaus berwarna biru langit bertuliskan Star Wash. Seragam kebesaran mereka. “Kuping gue panas.” Mardi menyisir rambutnya. Sejak jatuh cinta, dia selalu tampil lebih rapi dan wangi, bahkan malam kemarin ujang memergoki sahabatnya itu lagi maskeran. Menjadi bahan tertawaan adik-adiknya. Semula, Ujang mengira Mardi naksir Asmi. Ujang sempat patah semangat dan berpikir berlebihan. Rasa suka dirinya terhadap Asmi dikhawatirkan membuat persahabatannya berakhir. Hingga akhirnya Ujang tahu bahwa perempuan yang Mardi taksir adalah mahasiswi. Dia tinggal di Indekos Haji Mamat persis belakang ruko Star Wash. “Lama amat, jangan dibiasakan bikin orang nunggu,” protes Ujang. Lelaki itu mengambil sejumlah dokumen lalu berjalan keluar Ruko. Meninggalkan Mardi yang tengah mengikat tali sepatu. Raut wajah Mardi berubah bingung kala melihat Ujang kembali ke dalam. Ujang tersenyum salah tingkah, mengusir Budi dan duduk manis di kursi yang semula diduduki Budi. “Kenapa, Jang?” tanya Budi. Dia menggaruk kepalanya kebingungan melihat tingkah ujang yang aneh. “Coba itu kang Dadang diliatin dulu, dia pegang mesin sikat karpet baru kali ini, kan?” Budi dan Mardi semakin bingung. “Katanya buru-buru.” Mardi protes, jelas saja lelaki itu kesal setengah mati dengan tingkah Ujang yang tiba-tiba jadi aneh. Ujang meletakan telunjuknya di atas bibir. Sontak Mardi dan Budi mengunci mulut, mereka menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Asmi datang membawa satu kantong cucian. Budi melihat Ujang yang tersenyum menyambut Asmi. Karena grogi, beberapa kali lelaki itu menjatuhkan pulpen. “Parfumnya ganti ya, A. Jangan yang kemarin, aromanya terlalu menyengat.” Suara Asmi lembut membuat Ujang terhanyut. Perutnya seperti keram, letupan kembang api terdengar bergemuruh di rongga d**a pria itu. “Mangga dipilih.” Budi menyodorkan satu set botol yang baru dia isi dengan pewangi. Ujang tetap bergeming, seperti seseorang yang kebingungan. “Jang, hayuk, keburu siang,” ajak Mardi. “Astagfirullah,” Ujang mengusap wajahnya, dia merasa malu dengan kelakuannya sendiri. “Mau pada kemana ini, teh?” tanya Asmi Ramah. Ujang tidak mampu menjawab, dia tersipu dan pamit setelah Mardi menjawab pertanyaan Asmi. Inikah jatuh cinta? Mengapa Mardi selalu nyaman dengan perasaan seperti ini, sedangkan Ujang baru pertama kali mengalami merasa sangat tersiksa. Motor yang mereka tumpangi sudah melesat di jalan aspal yang dipadati kendaraan bermotor. Sebagai seorang berpengalaman Mardi yakin Ujang memiliki perasaan istimewa pada Asmi. Postingan Asmi tidak pernah luput dari like dan komentar Ujang. “Jang,” teriak Mardi. Angin berembus kencang, menyamarkan teriakan Mardi. “Iya,” jawab Ujang. Suaranya tidak kalah kencang. “Gue lihat, tingkah lo aneh banget kalau ketemu dengan Teh Asmi. Lo juga Rajin ngelike sama komen postingan dia, Lo suka ya sama dia?” cerca Mardi. Sayangnya suara kendaraan motor juga masker yang Mardi gunakan membuat Ujang tidak begitu mendengar apa yang sahabatnya tanyakan. “Lo ngomong apa?” tanya Ujang. Dibukanya sedikit helm yang dia pakai berharap suara Mardi bisa terdengar dengan jelas. “Lo suka ya sama Teh Asmi?” selidik Mardi. Mendengar pertanyaan Mardi, Ujang mengulum senyum. Di bilang suka memang iya. Asmi adalah perempuan pertama sepanjang hidup Ujang yang mampu membuat lelaki itu terjaga semalaman. Senyum Asmi juga selalu terbayang, ditambah postingan Asmi yang selalu mengangumi Bujang. Membuat Ujang semakin melambung dan yakin bisa dengan mudah mendapatkan balasan dari perempuan itu. Semudah dia merintis Star Wash. “Iya.” Ujang menjawab dengan lantang. Bunga-bunga cinta mendadak bermekaran, bertaburan di sekitaran Ujang, lelaki itu tersenyum membayangkan wajah manis Asmi, tetapi bayang-bayang keindahan itu seketika sirna kala Mardi kembali berteriak. “Gak boleh,” cegah Mardi. Ujang merenggut sebal, Mardi kan sudah punya kecengan, mahasiswa calon guru yang sering pakai jasa Star Wash. Masa dia mau mengambil Asmi juga. Mana Mardi setelannya selalu lebih keren dari Ujang, bisa-bisa dia kalah saing. “Kenapa? Lo naksir juga?” ejek Ujang. Dag dig dug lelaki itu menantikan jawaban sahabatnya, jangan sampai Mardi suka juga sama Asmi. Jangan.... “Dia kan ....” Ujang tidak mendengar lanjutannya. Suara Mardi dikalahkan oleh klakson Bus antar kota yang menyalip motor mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN