Coba tanyakan pada Ujang, bagaimana rasanya jatuh cinta. Sudah jelas dia tidak akan tahu rasanya. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk mencari uang. Setelah Bapak meninggal, jangankan terpikir untuk mendekati para gadis, yang ada dalam benak hanya terpikir untuk melunasi utang Bapak yang tumpukannya lebih banyak dari tumpukan cucian Ceu Lilis.
Pernah suatu ketika, Neni adik perempuan Mardi terang-terangan naksir Ujang. Hingga kasihan sekali nasib Neni karena cintanya ditolak sebelum perempuan yang usianya terpaut tiga tahun dari Ujang itu menyatakan cintanya.
Bagi Ujang, punya pacar artinya pengeluaran. Gak lucu macarin anak gadis orang, tetapi tidak diberi jajan. Minimalnya Ujang harus membelikan sang pacar es teh manis saat kencan juga semangkok mie ayam Mang Adeng seharga tujuh ribu rupiah. Kadang Ujang beli lima ribu saja, itu pun uangnya hasil nabung selama seminggu. Pokoknya pacaran sama dengan pemborosan.
Berbeda dengan Mardi, dia tukang obral gombalan. Tidak terhitung gadis-gadis di desanya yang dipacari, gak perlu modal banyak. Kasih saja bunga hasil petik di kebun tetangga dan secarik kertas dengan puisi buatannya. Mereka sudah klepek-klepek.
Karena Ujang tidak pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, saat ini dia tidak dapat mengartikan perasaannya sendiri.
Ketika sedang mengcatat keuangan Star Wash, masuklah seorang perempuan berkerudung abu-abu tanpa masker. Saat perempuan itu tersenyum terdapat sumur di kedua pipinya. Ujang terpaku beberapa detik, hingga sosok bermata bening itu bertanya pada Ujang.
“A, saya mau ambil bed cover, sudah selesai?” Suaranya seperti nyanyian dari surga. Lembut mengalun membuat perut ujang meletup-letup persis seperti letupan popcorn saat dimasak.
“Ada notanya, Teh?” Ujang tergagap saat perempuan didepannya mengiyakan seraya menyerahkan secarik kertas. Jemarinya sangat indah, terawat sempurna dengan kuku pendek. Ujang selalu menilai seseorang dari kukunya, jika bersih artinya dia tidak jorok.
“Atas nama Asmi, sebentar saya cek dulu ya, Teh.” Sebenarnya tidak perlu lama-lama mengecek daftar cucian yang selesai di kerjakan. Manajemen yang Ujang buat sungguh sangat rapi, tidak perlu mencari lama-lama karena semua sudah tersusun tinggal ambil sesuai nomor yang tertera pada nota. Hanya saja Ujang sengaja, dia pura-pura mencari agar Asmi berlama-lama di sana.
“A Mardi kemana? Tumben tidak kelihatan?” tanya Asmi. Ujang kesal, kenapa harus Mardi yang dia tanyakan.
“Lagi gantiin Budi antar cucian ke Tarogong, yang ini bukan, Teh?” tanya Ujang.
“Betul, udah lunas ya, tinggal ngambil aja,” kata Asmi. Ujang mengangguk, seraya melirik wajah rupawan Asmi. “Terima kasih, A.”
Terlalu sebentar, Ujang mendesah kecewa saat Asmi pergi meninggalkan laundry. Ujang melirik tumpukan voucer di keranjang kecil. Lalu dia menyambarnya dan buru-buru berlari mengejar Asmi.
“Teh,” panggil Ujang.
“Loh ada yang salah?” tanya Asmi. Dari dekat menguar aroma parfum wanginya menggelitik penciuman Ujang hingga jantungnya bertalu seperti tabuhan beduk saat malam takbiran.
“Voucernya lupa,” ungkap Ujang. Untuk memikat minat pelanggan, Star Wash membagikan voucer sepuluh kali cuci gratis satu kali cuci. Dengan syarat gratisannya jangan mencuci karpet.
“Kan waktu bayar sama A Mardi sudah dikasih, emang dikasih lagi, ya?”
“Oh sudah? Hmmm gak apa-apa, Teh. Ini spesial dari Ujang.” Ujang serahkan voucer tersebut.
“Astagfirullah, ini yang namanya Ujang?”
“Loh, Teteh kenal saya?” tanya Ujang girang.
“Siapa yang tidak kenal sama Ujang, sudah lama saya ingin bertemu sama pemilik Star Wash yang katanya masih muda. Ternyata beneran masih muda. Terima kasih, ya Jang. Apalagi saya dapat voucer gratisan dobel begini. Nanti saya kasih testimoni lagi di facebook.” Asmi kemudian pamit meninggalkan Ujang dengan perasaanya yang tidak dapat dia lukiskan.
Ujang masih mematung di depan ruko saat Mardi tiba. Buru-buru dia membantu Mardi menurunkan sejumlah cucian dari dalam keranjang yang di modifikasi dengan motor. Sejumlah karpet, selimut serta beberapa plastik pakaian dia angkut ke ruang cuci. Ujang tidak fokus, beberapa kali tersandung, bahkan dia tidak sengaja menyenggol minuman milik Mardi. Es jeruk yang baru saja diseduh sahabatnya itu tumpah.
“Lo gak fokus, Jang. Kayak bukan Ujang. Kalau ngantuk istirahat aja dulu, biar di sini gue yang handle.” Mardi pengertian.
“Gak apa-apa. Di lo suka baca testimoni para pelanggan di f*******:?” tanya Ujang.
“Iya lah, kan lo yang nyuruh, trus gue bales satu-satu bilang terima kasih. Kenapa emang? Ada komplen?”
Ujang menggeleng, Asmi bilang tadi dia akan kirim testimoni di f*******:. Ujang segera membuka aplikasi yang jarang dia buka, mencari tahu.
“Ada apa sih, Jang?” desak Mardi. Ujang tidak mau memberitahu, dia malu.
“Gak apa-apa, gue mau liat aja testi pelanggan kayak gimana. Sudah sore Di, mau tutup?”
“Nunggu bentaran, Jang. Nunggu teh Asmi, dia kok belum datang, ya?”
Ujang terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Mardi. Mungkinkah dia keduluan sama Mardi? Ujang kenal betul dengan Mardi, sejak zaman sekolah lelaki yang menurut Ujang tidak setampan dirinya itu sering sekali menaklukkan hati perempuan.
Kali ini Ujang tidak mau pasrah, tetapi dia takut. Perasaan yang dimilikinya saat ini bisa merusak persahabatannya dengan Mardi.
“Ujang harus bagaimana, Mak,” batin Ujang.
“Eh tapi bedcovernya udah gak ada, tadi ada yang ngambil, Jang?” tanya Mardi.
“Ha?”
“Itu bedcover ungu yang di bawah udah ada yang ambil?”
Ujang tergagap dia menjawab pertanyaan Mardi dengan perasaan kecewa. Mardi sampai hafal warna bedcover milik Asmi. Sudahlah, Ujang kalah. Semoga saja kelak ada perempuan lain yang tidak kalah manis dari Asmi.
Ujang terlonjak kaget saat Budi tiba-tiba duduk di sampingnya. Mardi mengekor dari belakang, seharian ini Mardi banyak bersenandung, mengoperasikan mesin cuci sambil nyanyi dangdut. Ujang sedikit sebal, Mardi itu seperti sedang menabur garam di atas luka. Ujang mengerti jika sahabatnya sedang jatuh cinta, tetapi kalau bisa jangan seperti mengejek Ujang.
“Jadi ngumpul dulu sebelum pulang?” tanya Mardi, “Kalau jadi buruan, gue ada janji.”
“Mardi kayaknya lagi kasmaran. Sering-sering aja jatuh cinta, pekerjaan cepat selesai. Nyikat karpet kayak gak ada beban,” seloroh Budi.
“Jadi, sebentar gue beresin ini dulu,” jawab Ujang. Tangannya dengan lincah menari di atas keyboard, mencatat pemasukan dan pengeluaran Star Wash hari ini. Seharusnya pekerjaan ini selesai dari satu jam yang lalu. Sayangnya lelaki itu malah melamun membayangkan paras Asmi yang begitu bening.
Berkali-kali Ujang beristighfar, berwudu berharap bayangan wajah Asmi sirna dalam kepalanya. Dia ingin fokus, tanpa merusak kelangsungan Star Wash juga persahabatannya dengan Mardi. Sayangnya ketika bayang-bayang Asmi sudah mulai pergi menjauh. Perempuan berlesung pipi itu malah datang ke Star Wash. Membawa setumpuk cucian juga senyuman yang mampu menyengat hati Ujang. Seperti ada aliran listrik, Ujang terkejut.
“Tumben belum selesai, biasanya lo gercep,” tegur Mardi.
“Tadi gue salah masukin data, jadi ngulang dari awal.”
“Ujang hari ini banyak melamun, sebaliknya Mardi seperti kesurupan, kalian sebenarnya kenapa?” tanya Budi. Tangannya masih asik menggunting kertas berisi copyan voucer cuci gratis menjadi lembaran voucer.
“Gak kenapa-napa.” Ujang dan Mardi menyahut bersamaan.
Mardi berjalan ke depan lalu menutup rolling dor hingga tersisa sedikit celah cukup untuk mereka lewat. Ujang menutup laptopnya dan mereka bertiga mulai berembuk.
“Anak-anak motoris belum pada datang?” tanya Mardi.
“Kiki sama Rian sudah. Dia pulang barusan, sisa Indra. Kata Rian langganan Indra daerah Banyuresmi, jadi memang sedikit terlambat.” Ujang menjelaskan, Budi dan Mardi mengangguk faham.
Sebelum memulai, ujang membawa selembar kertas HVS lalu spidol. Lelaki itu mengemukakan pendapatnya tentang kelangsungan Star Wash kedepannya. Tiga lelaki dewasa yang sedang merajut mimpi itu beradu pendapat. Menyusun mimpi mereka dalam susunan kalimat di atas kertas putih.
“Bagaimana jika pakai aplikasi, Jang?” usul Budi.
“Seperti jasa cleaning servis di aplikasi yang itu?” Mardi bertanya.
Budi mengiyakan, tetapi usulnya masih menjadi bahan pertimbangan Ujang.
“Kedepannya mungkin bisa seperti itu, tapi kita butuh banyak orang yang kita rekrut jika pakai sistem aplikasi. Coba Di, lo ada saran gak?”
“Gue sih setuju sama Budi, pakai aplikasi. Kan nanti orang-orang daftar sama kita, persis seperti aplikasi ojek online kan? Kita hanya manajemen aja, tanpa merekrut banyak orang, gimana ya susah jelasinnya.”
Ujang cukup mengerti apa yang Mardi inginkan.
“Begini, kalau pakai aplikasi target kita berarti rumah tangga atau naik sedikit dari itu. Sedangkan kita tahu sendiri emak-emak orang Garut itu rajin-rajin, mereka pasti beberesih sendiri. Kalau pun nyuruh orang mereka biasanya pakai jasa ART yang biasa pulang sore. Kita nutup rejeki orang kalo gitu caranya. Nah, justru gue nyasar perusahaan besar.”
Mardi dan Budi menyimak dengan patuh. Ujang kembali menjelaskan apa yang ada dalam pikirannya. Lelaki itu cukup profesional, ketika sedang serius berbicara soal pekerjaan dia melupakan urusan hatinya yang sedang tidak sehat karena nasib cintanya.
“Emang di Garut ada perusahaan besar?” tanya Budi, Mardi manggut-manggut mendengar pertanyaan Budi.
“Banyak, kita juga bisa sasar kantor-kantor milik pemerintah atau sekolahan.”
“Tapi gue belum ngerti arah pembicaraan lo kemana?” Mardi mulai gelisah, berkali-kali dia melirik jam hadiah sabun cair yang digantung di dinding.
“Gini, kita bikin yayasan jasa cleaning servis. Rekrut orang yang butuh pekerjaan untuk di pekerjakan di perusahaan sebagai Cleaning servis di bawah yayasan kita, bagaimana? Pokoknya Star Wash kita jadikan perusahaan kebersihan terbesar di kota ini. Baik itu urusan cuci baju, bersihin gedung bahkan kedepannya tempat pencucian motor dan mobil. Kita urus satu-satu.”
Mardi yang tadinya gelisah karena mungkin sudah terlambat bertemu sang pujaan hati kini mulai bersemangat, begitu juga dengan Budi. Mereka bertiga mulai menemukan jalan yang akan mengantar mereka pada jalan sukses. Tinggal bagaimana keseriusan dan kerja keras untuk segera meraihnya.
“Nanti kita atur lagi siapa yang pegang laundry ini, biar sisanya fokus bangun yang lain. Bisa Budi atau Lo,” tunjuk Ujang pada Mardi. “Karena Laundry sudah berjalan.”
“Berarti kita harus rekrut orang lagi, Jang? Anak-anak motoris juga harusnya ditambah, biar luas jangkauan kita,” usul Budi.
“Itu semua sudah gue kerjakan, CV sudah masuk sekarang gue hubungi pelamar yang memenuhi kriteria dan besok sepertinya mulai interview.”
“Keren, gue berasa kerja di perusahaan beneran,” ujar Budi dengan mata berbinar. Telapak tangan Mardi mendarat di lengan Budi karena gemas.
“Sakit, Mardi!”
“Ya emang lo pikir kita kerja di perusahaan bohongan?”
“Kadang kalo ada yang nanya gue kerja di mana, orang-orang bilangnya, oh buruh cuci di laundry Ujang? Gitu katanya!”
Ujang tersenyum, lalu dia berkata, “Jangan gengsi, gak akan pernah maju kalo kita gengsi. Lo tahu sendiri kan gue awalnya jadi buruh cuci gosok. Kita maju bersama, tampar mulut orang-orang yang nyinyir pada kita dengan hasil kerja yang bisa dibanggakan.”
Mardi dan Budi mengangguk penuh semangat. Lalu mereka bubar karena hari semakin sore. Kecuali Ujang, dia kembali menyalakan laptop mulai mencatat hasil dari rapat dadakan mereka. Kembali menyusun strategi perang.
Sendiri sepertinya adalah hal yang terlarang untuk orang yang sedang patah hati seperti Ujang. Bayangan Asmi kembali menghantui pikirannya. Dia ingat, berjanji untuk melihat postingan testimoni di f*******:. Lalu berselancarlah lelaki itu di halaman Star Wash yang Mardi buat pertama kali Laundry mereka buka.
Ratusan testimoni membuat Ujang bersemangat, yang paling membahagiakan adalah testimoni dari Asmi. Ujang membalas postingan Asmi. Lalu mengintip f*******: Asmi.
Satu postingan Asmi membuat Ujang terbang hingga ke atas Awan. Dia berulang kali membaca postingan tersebut dengan perasaan bahagia. Tidak tahan jarinya untuk menekan suka pada postingan yang berbunyi, “Hari ini Bujang secerah matahari. Teruslah seperti itu, dan hangatkan hari-hariku.”