Sejak ada mesin cuci, pekerjaan mak Lala jadi lebih ringan. Ujang bertugas menjemput cucian dari para pelanggan, lalu mengantarkannya kembali setelah kering dan di setrika. Hal itu membuat semua proses mencuci jadi lebih cepat.
Kehidupannya mulai membaik, setidaknya Ujang dan Mak Lala tidak makan dengan lauk garam lagi.
“Sudah lama emak gak liat Mardi, dia sehat?” tanya Emak, tangannya dengan lincah mengendalikan setrikaan di atas kemeja milik pelanggan. Ujang sendiri membantu memilah baju milik pelanggan memisahkannya dan memasukkan ke dalam plastik.
“Iya, ya, dia juga jarang ke masjid sekarang. Tadi subuhan gak ada Mardi.” Ujang tercenung sejenak. Dia hampir lupa, karena diburu waktu dia bahkan tidak sempat memperhatikan sekelilingnya.
“Cobalah tengok, khawatir sakit atau dalam kesulitan,” suruh Emak. Ujang terdiam sesaat, pekerjaannya masih banyak. Dia melihat tumpukan pakaian yang sudah di packing dengan plastik.
“Tidak apa-apa. Biar Emak yang antar, Emak bosan di rumah terus, sekali-kali emak yang antar cucian sambil nyapa tetangga.” Seperti mengerti risau anak lelakinya Mak Lala akhirnya menawarkan bantuan Bagaimanapun wanita tua itu faham, Ujang masih terlalu muda, dia butuh hiburan sekadar menghilangkan penat.
Ujang mengangguk, lantas menyambar kain sarung jaga-jaga kalau kemagriban bisa langsung mampir ke masjid.
Setelah mengucapkan salam dan mencium tangan Mak Lala, Ujang berjalan ke luar, menyusuri gang selebar satu meter tempat bermain anak-anak. Tidak ada lapangan, anak yang bermain pun bisa di hitung jari. Sisanya berjejer di teras rumah sambil menatap benda pipih di tangan masing-masing.
Rumah yang Ujang datangi lebih kokoh dari rumahnya, hanya saja cat hijau yang melapisi dinding sudah terlihat sangat kotor. Ada noda minyak dengan bentuk cetakan tangan, bahkan ada jejak sepatu tercetak pada dinding setinggi satu meter. Tidak terbayang bagaimana bisa jejak itu ada di sana.
Ceu Lilis, ibunya Mardi menyambut kedatangan Ujang, senyumnya terkembang. Perempuan seumuran Mak Lala itu terlihat sangat senang saat Ujang tiba. Sambil menggendong anak bungsunya Ceu lilis mempersilakan Ujang masuk.
“Untung kamu datang, Jang. Ceuceu sudah lelah sama kelakuan si Mardi. Dari pagi sampai pagi lagi itu hp di pelototi terus. Lupa ke masjid, gak bantu orang tua, pusing Ceuceu,” keluh Ceu Lilis.
Ah, pantas, pikir Ujang.
Rumah yang berantakan adalah hal pertama yang dia lihat. Lelaki muda itu maklum, Ceu Lilis harus menjaga adik-adik Mardi. Mana sempat dia membereskan semuanya.
“Di, lo ngapain?” tanya Ujang. Karena Mardi tak kunjung keluar, akhirnya Ujang nyelonong masuk ke kamar Mardi.
Mardi cekikikan, dia mengabaikan Ujang dan fokus pada gawainya.
“Di,” sapa Ujang masih sabar.
“Eh, lo, Jang. Kapan datang?” tanya Mardi, lelaki itu menoleh sebentar lalu akhirnya fokus kembali pada gawainya.
“Gue balik lagi aja, Di. Percuma datang juga. Gue di kacangin.” Ujang sebal, pantas saja Ceu Lilis mengeluh.
“Ngambekan ih, udah kayak cewek di n****+ ini aja,” ledek Mardi. Dia menyimpan gawai di pangkuan. Lalu meregangkan tubuhnya.
“Cewek siapa? Mana?” Mendengar kata cewek seketika ujang semringah dia melihat sekeliling hanya ada gang kosong. Di ujung gang ada Mak Nenoh, penjual lotek yang sedang ngulek bumbu lotek.
“Ini, gue lagi baca n****+. Ceweknya imut, duh Jang, andai di kampung kita ada cewek model begini,” khayal Mardi. Mata lelaki muda itu terpejam, dia tersenyum membayangkan.
Ujang meraih gawai Mardi, barisan kalimat tersusun rapi. “Ini n****+?”
“Bukan, itu hp. Tapi itu aplikasi baca n****+ Online. Jang gue tahu sekarang, gue mau jadi penulis, sini mana hp lo,” pinta Mardi.
Ujang beringsut mundur, “Buat apa?”
“Follow akun gue.” Mardi masih betah menadahkan tangan.
“Follow di mana?” Ujang semakin bingung.
“Ya makanya sini hp nya,” paksa Mardi.
Ujang mengalah, Android butut yang penuh dengan tempelan lakban berpindah tangan.
“Elah, ini hp apa bangke?” sindir Mardi.
“Jangan menghina, bentar lagi gue sukses. Gue beli iPhone sebelas.” Ujang kesal. Walau bagaimana pun Android itu dia beli ketika mendapatkan gaji pertama sebagai OB.
“Satu aja cukup, ngapain beli sebelas?” tanya Mardi semakin membuat Ujang kesal.
“Terserah lo, terus itu hp gue mau lo apakan?”
Mardi mengotak-katik gawai Ujang, menginstal aplikasi baca dengan icon berwarna ungu. Ujang pasrah, memperhatikan Mardi yang duduk di tumpukan selimut lusuh.
***
“Jang, bantu Emak sebentar,” teriak Mak Lala dari arah dapur.
“Bentar, Mak. Nanggung,” jawab Ujang. Dia duduk di sofa matanya fokus pada gawai. Baca n****+ Online. Mardi sudah berhasil tebar racun kini hari-hari Ujang diisi dengan membaca n****+ online.
“Jang, ngapain, sih?” Mak Lala yang selalu lemah lembut bertanya penasaran.
“Mamenit Mak. Nanggung satu bab lagi.” Ujang kembali berteriak.
Mak Lala melihat Ujang. Dia menghela napas kesal, sejak pulang dari rumah Mardi dua hari yang lalu Ujang jadi tidak bisa lepas dari gawainya. Mak Lala mengira Mardi pasti sudah memberikan lem di hp Ujang sehingga lengket dengan jarinya. Benar, sih, Lemnya itu adalah n****+ online yang sedang Ujang baca.
Bangun tidur ngecek hp, bahkan ke kamar mandi pun Ujang bawa hp.
“Jang!” Untuk yang terakhir kali Mak Lala memanggil Ujang. Kali ini lebih tegas. Harusnya Ujang sadar kala nada bicara Mak Lala meninggi.
Lima menit yang dijanjikan Ujang sudah berlalu. Mak Lala akhirnya mengerjakan semua sendiri, sehabis mencuci perempuan itu membawa keranjang dan mengantarkan cucian milik tetangganya seorang diri.
Ujang bangun pukul lima pagi. Azan subuh sudah berkumandang beberapa menit yang lalu. Dia kesiangan tidak bisa ikut salat di masjid. Pantas saja, pasalnya dia membaca n****+ tentang CEO hingga pukul tiga dini hari.
Ujang mencari Mak Lala, ternyata perempuan itu sudah mulai mencuci pakaian.
“Mesinnya rusak?” tanya Ujang.
Mak Lala tidak menjawab, dia terus mengucek pakaian. Tidak pakai mesin.
Ujang menghampiri mesin, mencoba mengoperasikan benda tersebut. Masih menyala, tidak ada yang rusak seperti yang dia kira.
“Ini masih nyala, Mak.”
Mak Lala bergeming. Dia enggan bicara sama Ujang. Lelaki itu buru-buru ambil wudu, sudah terlambat salat subuh.
Usai salat, Ujang tidak menemukan Mak Lala di rumah. Keranjang yang biasa dia gunakan untuk menjemput cucian tidak ada. Pasti Mak Lala jalan sendiri mengambil pakaian kotor dari rumah tetangga.
Ujang berdiri kebingungan. Sebenarnya Mak Lala kenapa? Masa iya ngambekan kayak cewek tokoh n****+ yang sedang dia baca.
Gara-gara n****+ Online Ujang tidak peka. Dia tidak menyadari Mak Lala ngambek gara-gara ujang lalai menjalankan tugasnya. Ujang juga tidak sadar Mak Lala ngambek karena Ujang sudah melewatkan dua kali salat subuh di masjid.