Cuaca kota Garut sore hari sangatlah cerah. Anak-anak menikmati keindahan langit yang bersiap mengantarkan senja pada gulita dengan bermain layangan. Ujang dan Mardi duduk di pematang sawah, dari bibir Ujang terbit seulas senyum kala melihat bocah berusia kisaran 8 hingga 10 tahun mengejar layangan putus.
Ujang lupa kapan terakhir kali bermain layangan. Yang dia ingat Bapak masih ada, beliau lah yang menemani dirinya bermain sampai puas. Ketika pulang ke rumah menjelang magrib Emak akan menyambut keduanya dengan kudapan lezat.
“Jang, Ceu Lilis ngambek. Masa gue gak dikasih makan,” keluh Mardi. Dia mencabuti rumput dan melemparkannya ke sawah yang berair.
“Teu sopan.” (Gak sopan)
“Nyokap gue emang gak sopan, masa anak secakep ini gak dikasih makan.” Mardi menyisir rambut keritingnya dengan jari.
“Lo yang gak sopan, nyokap sendiri dipanggil Ceu Lilis, gue aduin tau rasa lo,” ancam Ujang. Ditoyornya kepala Mardi, lelaki itu hanya nyengir.
“Lo sebenernya ada di tim siapa sih? Tim nyokap gue ya?”
Teriakan anak-anak meningkahi perbincangan Ujang dan Mardi. Angin yang berembus membelai kulit Ujang. Dia tidak bisa sesantai Mardi kala mendapati ibunya marah. Ujang bingung, sudah tiga hari Emak merajuk, tiga hari itu pula Emak tidak bersedia menerima bantuan Ujang. Termasuk menggunakan mesin cuci.
“Mak Lala juga lagi ngambek, Di,” ungkap Ujang. Matanya menerawang jauh, pedih rasanya ketika pulang ke rumah tidak mendapat sambutan hangat seperti biasanya.
Mardi buru-buru melirik ujang, di sudut bibirnya terdapat bunga rerumputan yang dia selipkan dengan sengaja.
“Kok bisa, Mak Lala ibu paling baik sedunia. Kadang aku berdoa agar nyokap gue tuh bisa jadi baik kayak Mak Lala. Jangan merepet terus mirip petasan tujuh belasan.” Mardi terus mengoceh, hidup sesungguhnya memang seperti itu. Kata pepatah, rumput tetangga selalu lebih hijau, Ujang ingin Mak Lala cerewet seperti Ceu Lilis kala marah, begitu pun sebaliknya.
Matahari sore hampir pamitan mengintip malu-malu dari sela-sela pegunungan, kelihatannya gunung yang tinggi menjulang seperti hendak menelan matahari dari kejauhan. Anak-anak hampir selesai bermain, sebagian dari mereka pulang satu per satu. Sisanya masih berusaha menurunkan layangan yang masih gagah mengangkasa.
“Mak Lala juga manusia, Di. Wajar kalau marah, Cuma gue bingung aja, apa yang membuat Emak diemin gue berhari-hari. Kalau boleh memilih, Gue mau Emak marah aja kayak Ceu Lilis. Jangan diem, kan gue bingung.” Ujang dan Mardi masih tidak peka.
“Tukar tempat kalau begitu, denger nyokap gue marah, gue gak konsen nulis.” Tidak seperti itu konsepnya, bagi Ujang tidak ada Ibu sebaik Mak Lala. Bukan perkara tukar tempat lalu masalah selesai, Ujang hanya ingin tahu apa kesalahannya. Itu saja.
Ujang beranjak, lalu membersihkan debu yang menempel pada celananya. Dua pria menjelang dewasa itu kini berjalan beriringan. Pematang sawah yang kering mereka pijak dengan hati-hati.
“Lo serius mau jadi penulis?” tanya Ujang.
“Tulisan gue banyak yang suka, belum ada sebulan followers udah mau seribu aja. Tiap gue update bab baru, banjir vote sama komentar. Kalau misal ada penerbit yang minang n****+ gue, trus best seller gue mau ganti cat rumah, biar gak buluk seperti lo kata.”
Ujang tersenyum. Diam-diam dia mengaminkan cita-cita sahabat karibnya tersebut. Setiap orang selalu memiliki cita-cita luhur begitu pula dengan dirinya.
“Gue mantengin hp juga istilahnya lagi usaha, kadang Ceu Lilis kalo ngambek pake ngancam mau jual hp gue segala,” lanjut Mardi. Sahabat Ujang yang selalu ceria dan slengean itu kini tampak murung.
“Gue juga habis baca n****+ Online jadi ada pencerahan, Di. Jadi tahu apa tujuan hidup gue. Apa yang harus dilakukan agar cita-cita gue tercapai.”
Mereka tiba di perkampungan, anak-anak masih berlarian, bedanya mereka kini menyampirkan kain sarung di pundaknya berlomba untuk segera sampai Madrasah mengaji bersama Ustaz Dedi.
“Emang cita-cita lo apaan, Jang?” tanya Mardi penasaran.
Ujang tersenyum dengan mantap dia menjawab, “Jadi CEO.”
“Bangke!” umpat Mardi, lelaki ceking berbaju merah itu meninggalkan Ujang. Sepertinya sahabatnya jadi gila, mana bisa orang kampung macam mereka berdua jadi CEO seperti di n****+ yang mereka baca. Ujang beneran gila, pikir Mardi.
Ujang mengucapkan salam, tetapi tidak ada jawaban. Dia seret langkahnya untuk menyusuri rumah yang luasnya tidak seberapa. Emak tidak ada di rumah. Putra tunggal Mak Lala itu mengambil sarung, lalu bergegas menuju masjid untuk mendirikan salat Magrib.
Kumandang azan sudah terdengar, dia mempercepat langkahnya. Di ujung jalan terlihat Mak Lala menenteng keranjang cucian. Ujang menyambutnya dengan riang. Berharap Mak Lala sudah dilembutkan hatinya seperti doa yang selalu dia panjatkan dalam salatnya akhir-akhir ini.
“Baru pulang, Mak?” tanya Ujang.
Mak Lala hanya mengangguk. Ujang menunduk pasrah lalu pamit dan berjalan lesu menuju masjid.
“Jang,” sapa Mak Lala. Sudah tiga hari, tidak baik mendiamkan anaknya lama-lama.
“Iya, Mak,” jawab Ujang. Akhirnya, Mak Lala menyapanya juga. Perasaan ujang tiba-tiba bahagia.
“Habis salat jangan kemana-mana. Emak mau bicara.” Ujang mengangguk patuh, langkahnya tiba-tiba menjadi ringan.
“Assalamualaikum,” sapa Ujang sesampainya di rumah.
Singkong goreng terhidang di meja, ada dua teh hangat menyertainya.
“Duduk, Jang,” perintah Mak Lala.
Ujang patuh. Dia duduk lalu mengambil sepotong singkong goreng yang mekar. Rasanya gurih, garing di luar dan lembut di dalam.
“Sudah tahu kenapa Emak marah?” Mak Lala mengawali percakapan.
Ujang menggeleng lemah, Mak Lala menatapnya penuh kasih. Mak Lala menatap mata Ujang, mata yang sama dengan milik almarhum suaminya.
“Ujang lalai, Ujang lupa sama kewajiban. Mainan hp boleh, Jang, ingat salatnya laki-laki itu di masjid. Emak liat pas mau salat tahajud, kamu masih mainan hp. Pantas saja subuhnya kesiangan. Kurang tidur kamu bisa sakit, kalau Ujang sakit kan emak juga yang repot.”
“Ujang kan mainan hp bukan sekadar main-main, Mak. Ujang lagi atur strategi,” bantah Ujang.
“Gak usah membantah. Atur strategi boleh saja, jangan lupa kewajiban. Ujang harus seperti Rasulullah, beliau mengatur strategi perang tapi tidak pernah melalaikan tugas dan kewajiban. Emak gak ngerti kamu atur strategi apa, yang Pasti Emak akan selalu mendukung ujang selama itu berada di jalan kebaikan. Ingat pesan emak,” imbuh Mak Lala. Ujang mengiyakan, dia merenungi kesalahan yang baru saja dia sadari.
“Trus kenapa emak gak mau pakai mesin cucinya?”
“Karena ada mesin cuci kamu gak mau bantuin emak,” ungkap Mak Lala.
“Maafin ujang, Mak. Ujang janji mau membagi dan mengatur waktu. Tapi Emak juga janji sama Ujang, pakai kembali mesinnya.”
Mak Lala mengangguk. Lalu mereka makan singkong bersama, kehangatan kembali ujang rasakan. Singkong yang gurih serta renyah juga segelas teh hangat yang terasa sangat nikmat. Ditambah dengan segenggam cinta yang Mak Lala berikan untuk anak kesayangannya.
Melihat emaknya yang semakin tua, tekad ujang semakin membulat. Dia harus bisa menjadi CEO seperti pria dalam n****+. Karena dalam n****+ yang dia baca, hanya CEO yang bisa menggaet perempuan dengan mudah. Cita-cita lain ujang selain menjadi CEO adalah memberikan menantu cantik untuk Mak Lala.