Derit pintu terdengar bersamaan dengan ucapan salam. Ujang harus sedikit membungkuk karena tubuhnya lebih tinggi dari ukuran pintu. Ketika hendak daftar polisi Ujang kurang tinggi, maka bisa dibayangkan betapa rendahnya pintu rumah kontrakannya itu.
Mak Lala, menjawab salam. Buru-buru ibu bermata teduh itu menyambut lelaki kesayangannya.
"Kenapa sudah pulang, Jang?" tanya Mak Lala. Dia mengelap tangannya yang basah. Kemudian Ujang menciumnya takzim.
"Lagi pengen pulang cepat aja, Mak," jawab Ujang, Bohong. Melihat gurat-gurat wajah Emak, Ujang merasa teriris perih.
"Belum lapar, kan? Emak belum sempat masak nasi." Mak Lala berjalan menuju dapur, mengambil gelas yang jumlahnya tidak banyak lalu mengisinya dengan air yang disimpan dalam kendi. Mak Lala selalu menyimpan air itu dalam kendi, rasanya sangat segar ketika diminum saat terik.
"Belum, Mak. Santai aja, Ujang mau rebahan dulu. Cape jalan jauh."
Segelas air putih yang Mak Lala ulurkan tandas dalam sekejap. Rasanya seperti air hujan yang membasahi tanah kering. Ujang berterima kasih, lalu mengempaskan punggungnya di sofa.
Jangan bayangkan sofa empuk dengan kulit sintetis yang lembut. Ini hanyalah sofa butut yang usianya melebihi usia pernikahan Mak Lala. Kayu bagian dalamnya sudah terlihat busanya sudah setipis lembaran kain penutupnya.
Ujang mengangkat kepala, dia beranjak menuju dapur dan melihat punggung sang ibu yang sedang mengucek pakaian. Duh ... rasanya begitu ngilu. Ingin sekali ujang berteriak menyalahkan takdir. Namun, tidak boleh, Tuhan nanti tambah murka.
"Mak, cucian banyak?" tanya Ujang.
"Lumayan, Jang." Mak Lala sesekali menyeka keringat yang melintasi pelipisnya.
Ujang sedih. Namun, dia lupa bagaimana caranya mengeluarkan air mata. Terakhir menangis, waktu Bapak masuk liang Lahat. Ujang bahkan tidak bisa berdiri dengan tegak kala jenazah Bapak sudah tertutup oleh tanah merah. Dia ambruk menangis hingga air matanya habis.
Perlahan Ujang mendekat, dia peluk Mak Lala dari belakang. Hingga perempuan itu memekik protes, "Ujang!"
"Ujang bantuin, ya, Mak."
"Tumben. Emak jadi curiga. Kamu ada dosa apa sama emak?" desak Mak Lala.
"Banyak, Mak. Sini ujang bantuin, emak istirahat aja." Ujang meraih gulungan pakaian yang penuh dengan gelembung detergen.
Mak Lala mengalah dia menyerahkan cucian tersebut pada Ujang. Lalu dia pergi mengambil periuk, mengisinya dengan sekaleng beras. Kaleng terakhir.
"Jang, makannya pake lauk garam lagi gak apa-apa? Atau mau pakai kerupuk, emak beli dulu ya."
"Gak usah, Mak. Garam juga nikmat, kok." Ujang menjawab dengan pedih.
Ujang melanjutkan pekerjaannya hingga selesai. Ternyata mencuci pakaian lebih melelahkan dari pada bekerja jadi OB di pabrik kabel. Pinggangnya cenut-cenut seperti kena penyakit asam urat. Selama ini Emak kerja keras begini Ujang jadi merasa amat berdosa.
"Mak," sapa Ujang. Dia menatap Mak Lala dengan gusar, menelan ludah dan menarik napas panjang. Mau tidak mau memang Ujang harus bicara. Cepat atau lambat Mak Lala juga bakal tahu kalau pabrik kabel itu sudah bangkrut.
Mak Lala yang baru saja selesai salat Ashar, menjawab panggilan Ujang.
"Ujang mulai besok sudah tidak kerja lagi," ungkap Ujang.
Mak Lala tersenyum, perempuan itu tidak menjawab. Entah karena kaget, bingung atau sedih. Ujang jadi tambah merasa bersalah.
Ujang laki-laki, dia seharusnya jadi pengganti Bapak, melindungi dan menjaga emak. Memberi nafkah buat emak. Ini malah terbalik. Emak yang mencari nafkah buat Ujang.
"Kok Emak diam aja?" tanya Ujang, terheran-heran.
"Emak harus bagaimana, Jang?" Mak Lala balik bertanya.
"Teriak, kaget, melotot, gimana gitu, Mak. Bereaksi," protes ujang.
Mak Lala malah tertawa. Lalu memberikan ujang sepiring nasi, dengan lauk tempe goreng.
Ujang tak sempat bertanya dari mana emaknya dapat tempe goreng. Dia lelah dan terlalu lapar. Hingga saat nasi terhidang dia langsung memakannya setelah mengucapkan basmallah.
***
Malam sehabis Isya terasa sangat dingin. Ujang yang baru saja selesai salat di masjid menutup rapat tubuhnya menggunakan sarung.
Mardi berjalan di sebelahnya, dia tidak kalah lesu dengan Ujang. “Jang, besok ke Mapolres, yuk, perbaharui SKCK terus ke dinas tenaga kerja perpanjang kartu pencari kerja.”
Ujang tidak bersemangat. Dia menggeleng memberikan penolakan. Sudah banyak rencana di kepala Ujang.
Mulai dari awal mencari pekerjaan hanyalah buang-buang waktu, buang-buang uang, serta memupuk harapan kosong. Kebanyakan pabrik hanya membutuhkan karyawati, bukan karyawan. Bisa apa Ujang dengan Ijazah SMA nya?
“Lo gak boleh putus asa, Jang,” nasihat Mardi. Lelaki itu prihatin karena sahabatnya putus ada hingga gak mau cari kerja lagi.
“Gue gak putus asa, gue punya ide cemerlang. Lo liat aja entar apa yang akan gue lakukan pake uang terima kasih ini,” tekadnya.
“Lo dapat uang dari mana?” Mardi kaget, dilihatnya lekat-lekat wajah sahabatnya. Sahabat yang menemaninya sejak umur mereka masih sangat muda.
“Dari pabrik, emang lo gak ngecek saldo ATM?”
Alih-alih menjawab, Mardi berlari meninggalkan Ujang. Lelaki yang usianya sama dengan Ujang itu buru-buru menyeberang jalan. Menuju ATM terdekat.
Dengan setia Ujang menunggu Mardi, dari kejauhan lelaki ceking berambut keriting itu berjalan gontai. Terlihat sangat lesu. Pikiran Ujang langsung ke mana-mana.
Mungkinkah Mardi gak dapat uang dari pabrik?
“Balik, Jang,” ajak Mardi.
“Gak dapat?” tanya Ujang merasa kasihan.
Mardi menggeleng lemah.
“Astagfirullah, padahal semua dapat, loh.” Ujang kaget.
Deru sepeda motor yang melintas terdengar begitu mengerikan. Ujang dan Mardi sampai menutup telinga karenanya.
Angin yang berembus dan helaan napas Mardi terdengar begitu payah di telinga Ujang. Lelaki itu tidak tahu bagaimana caranya menghibur sahabat yang tengah kecewa.
“Sabar ya, Di.”
“Gak apa-apa, Jang. Nanti balik lagi aja, gue cuma lupa gak bawa kartu ATM.”
Ujang mengelus d**a, sabar dengan kelakuan sahabatnya yang selalu nyeleneh.
Ujang sampai di rumah kontrakannya, satu-satunya rumah dengan lampu bohlam dengan cahaya kuning. Bangunannya semi permanen, setengah terbuat dari bata setengahnya lagi bilik bambu. Orang sana bilang rumah model duduk jendela.
Lamat-lamat terdengar suara Mak Lela bertilawah. Suaranya menenangkan Ujang.
Ujang buru-buru membuka pintu dan menghampiri sang Ibu. Menunggu hingga wanita yang selalu berjuang untuk kehidupannya selesai mengaji.
"Mak," sapa Ujang.
"Kenapa lagi?"
"Ujang dapat uang terima kasih dari pabrik. Tiga bulan gaji." Dia menyodorkan lembaran merah lumayan banyak.
"Simpan saja buat bekal Ujang." Mak Lala menyerahkan kembali uangnya. Wanita itu membatin dan bersyukur punya anak yang saleh seperti Ujang. Mak Lala sadar, sejak Ujang bekerja, dia bahkan tidak pernah membeli barang-barang pribadi. Sarung saja sudah lusuh hampir semua peninggalan Bapaknya atau hadiah lebaran dari warung sembako.
Ujang cepat-cepat menggeleng, lalu memegang tangan Mak Lala.
"Besok ke Pengkolan, Mak. Beli mesin cuci buat modal usaha kita," ungkap Ujang.
Mak Lala terharu, dia peluk anak lelakinya. Keduanya mengucap syukur diiringi linangan air mata.