Mak Lala hari ini cuti. Cuti dalam artian sebenarnya, Ujang mengerjakan semua urusan cucian dari mulai menjemput, mencuci, menjemur hingga mengantarkan semua pakaian tetangga dalam keadaan licin dan wangi. Dengan satu syarat, semua penghasilan mencuci masuk saku Ujang.
Awalnya Mak Lala tidak setuju dengan permintaan Ujang. Hasil mencuci satu hari bisa mereka pakai untuk membeli beras dan lauk, menyisihkan untuk listrik dan bayar utang. Ini malah diminta. Tentu Mak Lala keberatan. Lalu Ujang menjelaskan inilah strategi perang agar Ujang dapat meraih cita-citanya.
“Anggap aja Ujang pinjam sama Emak, Ujang catat karena bayar utang itu hukumnya wajib.” Ujang meyakinkan Mak Lala.
Sepulang salat subuh di masjid, Ujang mulai berkeliling dari rumah ke rumah. Ini adalah hal yang paling menyenangkan, selain menghirup udara segar kota Garut, Ujang juga bersilaturahim dengan teman-temannya. Menyaksikan sendiri betapa bangga sang teman memakai kemeja atau seragam pabrik dan pamitan kepada orang tua. Mereka menyapa Ujang, sebagian ada yang bertanya mengapa Ujang tidak bekerja. Padahal, apa yang sedang dia kerjakan adalah bagian dari pekerjaannya.
Paling menyakitkan ketika bertemu teman yang pura-pura tidak mengenalnya. Sengaja membuang muka saat berpapasan dengan Ujang. Mungkin mereka malu, beberapa di antaranya pernah ketahuan sedang membicarakan ujang di belakang.
“Si Mardi sama si Ujang habis di PHK, hati-hati nanti mereka bakal deketin kita buat nitip lamaran.” Begitu katanya. Kebetulan mereka yang tengah bergosip lewat samping gerobak Mang Adeng, penjual mie ayam legendaris di kampungnya. Ujang dan Mardi yang tengah menyantap mie ayam pangsit hanya bisa saling tatap.
Usai menjemput cucian kotor, Ujang mulai mengoperasikan mesin cuci. Tidak lupa menyetrika pakaian yang harus di antarkan siang ini juga. Tekadnya begitu keras,
Tiga hari berlalu, Mak Lala protes karena dia terlalu lama duduk sambil menyaksikan sinetron di saluran ikan terbang. Katanya pinggang malah sakit karena tidak banyak gerak.
“Udah, Emak bantu, uangnya gak apa-apa buat kamu aja.” Hati seorang Ibu selalu seluas itu. Ujang terharu dengan perlakuan Mak Lala.
“Kalo gitu artinya bukan uang hasil jerih payah Ujang, Mak,” protes Ujang ketika melihat Mak Lala menyetrika setumpuk pakaian.
“Gak ada uang Ujang, gak ada uang Emak. Yang ada uang kita. Ujang itu bagian dari Emak, begitu pun Emak. Emak bagian dari Ujang.”
“Euleuh, si Emak romantis.” Ujang cekikikan, Mak Lala geleng-geleng kepala melihat tingkah bujangnya.
Malam hari setelah menyelesaikan pekerjaan, Ujang mengunjungi rumah Mardi. Tujuan satu-satunya adalah pakai wifi gratisan. Tepat depan rumah Mardi adalah Minimarket yang menggratiskan wifi untuk beberapa rumah di sekitarnya, termasuk rumah Mardi.
“Assalamualaikum,” sapa Ujang. Dia duduk di teras rumah Mardi, mulai berselancar menjalankan aksinya.
“Waalaikumsalam,” jawab Ceu Lilis. “Masuk, Jang.”
“Di sini aja, Ceu. Numpang buka internet sebentar.”
“Pasti mau donlot n****+ baru, ya?” tebak Mardi yang datang membawa segelas minuman rasa jeruk, lalu menyesapnya perlahan-lahan. Ujang dongkol, dia kira minuman mas mas dalam gelas itu untuk dirinya.
“Enak aja, kebetulan lo ada di sini. Duduk, Di,” perintah Ujang.
“Harusnya tuan rumah yang bilang begitu,” protes Mardi.
“Harusnya tamu yang minum es jeruk itu,” sindir Ujang. Mardi mengulum senyum lalu memberikan gelas tersebut. Isinya tinggal setengah, lumayan.
Ujang memulai pencarian. Artikel pertama berjudul “9 Cara Memulai Usaha Laundry dari Nol.” Menurut artikel tersebut Ujang harus memahami seluk beluk dunia Laundry, menyediakan peralatan termasuk timbangan, satu-satunya benda yang tidak terpikir oleh Ujang. Karena selama ini dirinya tidak memakai timbangan untuk menentukan harga jasa cuci.
Modal, lokasi, mengamati kompetitor, dan berbagai persiapan yang ternyata tidak semudah yang dia bayangkan. Beralih ke artikel lain yang berjudul, “9 Peralatan Wajib untuk memulai Usaha laundry." Detergen, pewangi dan pelembut pakaian. Menurut artikel yang dia baca ketiga benda tersebut paling penting selain mesin cuci.
Serius sekali Bujang Munggaran mencatat semua kebutuhannya, disaksikan Mardi yang jujur saja kebingungan karena Ujang terlalu asik dan sama sekali tidak menanggapi celotehan dirinya.
“Di, lo butuh kerjaan gak?” tanya Ujang.
“Gue nulis aja, dah, Jang.”
“Gini, Di. Lo nulis kan perlu kuota buat riset,” iming-iming Ujang.
“Lo lupa, kan pakai wifi. Lo aja ngejugrug di sini karena nebeng Wifi, kan?”
“O iya, lupa. Maksud Gue, sambil nunggu n****+ lo ada yang pinang, lo bisa kerja bareng gue. Lo istimewa karena jadi karyawan pertama gue,” rayu Ujang.
“Gue nulis gimana, Jang?” Mardi mengerutkan, kening.
“Nulis tetep jalan kalo malam atau pas pulang kerja. Kerja sama gue kan gak siang malam. Sama aja kayak di pabrik. Bedanya di gue masuk jam enam pulang jam dua, gimana?” Ujang memberikan penawaran membuat sahabat di depannya tercenung karenanya.
“Bener, Jang, ajakin dia kerja,” sambar Ceu Lilis yang ternyata dari tadi menguping obrolan Ujang dan Mardi. Ujang minta maaf karena lancang mengajak Mardi kerja dengannya. Ceu Lilis malah senang.
“Gue coba, deh. Berapa gajinya?”
Ujang menelan ludah, dia sangat berharap Mardi mau membantunya meski upah yang ditawarkan tidak sebanyak upah di pabrik.
“Gue belum tahu,” timpal Ujang.
“CEO macam apa, lo, Jang,” ledek Mardi. Dia tertawa terbahak-bahak hingga menyenggol gelas minuman yang sudah kosong. Buru-buru Mardi membereskan pecahan gelasnya, Ujang membantu. Khawatir Ceu Lilis muncul dan marah-marah.
Melihat kesungguhan Ujang, Mardi akhirnya mau membantu. Perjalanan mereka akan dimulai esok hari. Malam ini keduanya bergelut dengan kertas dan pensil, menyusun strategi demi kelangsungan perusahaan yang akan mereka rintis.
Mardi sudah muncul di rumah Ujang keesokan harinya. Dia memakai kemeja polos berwarna abu-abu dengan bawahan celana denim lusuh dan sandal kulit milik bapaknya. Beberapa saat kemudian Ujang muncul, dia terlihat lebih santai dengan oblong dan celana denim yang sudah tipis. Setelah pamitan pada Mak Lala mereka pergi ke kota. Dekat masjid agung Garut ada penjual detergen, pewangi serta pelembut pakaian kiloan khusus Laundry.
Lalu mampir ke percetakan untuk membuat banner, serta selebaran yang akan digunakan untuk promosi. Star Wash adalah nama yang Ujang pakai. Berharap usaha cuci baju miliknya kelak menjadi tempat yang cemerlang seperti bintang.
Menyusuri sepanjang Jalan Ahmad Yani lalu bebelok ke jalan Pramuka, dua sahabat yang membawa masing-masing satu jerigen pewangi serta beberapa kantong detergen itu pulang dengan semangat membara. Mereka yakin suatu hari nanti, tidak perlu berjalan melawan terik matahari seperti saat ini. Ada mobil berikut sopirnya yang siap mengantar keduanya kemana pun mereka mau.