Semua benar-benar telah berakhir?
Dikta berkata jika tidak akan selalu muncul di dekatku, tak lagi mengusikku. Kenapa rasanya sesak mendengarnya berucap seperti itu?
Aku baru masuk ke dalam rumah ketika mobilnya Dikta sudah menghilang dari pandanganku. Ada rasa sedih, kecewa, marah dan ingin rasanya berteriak. Andai saja dulu tak mengenalnya, tentu tidak akan sakit begini rasanya.
Baru saja merebahkan diri di kasur dengan mata terpejam, ada telepon masuk dari Gilang. Aku langsung mengangkatnya.
"Ya, kenapa, Lang?"
"Lo di mana? Jadi pulang di antar Aya?"
Gilang juga kenal dengan Maudy dan Aya. Kami pernah nongkrong bareng.
"Udah di rumah, baru banget nyampe."
"Syukur lah. Di antar Aya, 'kan?"
"Enggak. Dikta yang antar."
"Kok jadi Dikta yang antar? Tadi ada dia juga emangnya?"
"Iya."
"Terus gimana? Dia masih deketin lo?"
"Sampai tadi sih... masih. Tapi setelah ini, kayaknya nggak bakalan lagi." Aku jadi melow lagi ingat Dikta.
"Lo pasti masih sayang banget dia ya, Mel?"
Nggak usah ditanya! Semua orang yang kenal juga bisa menilai.
"Gue lagi mencoba kenal dekat sama anak temannya papa gue itu, Lang."
"Emm. Gimana perkembangan hubungan kalian?"
"Masih di situ aja, sih. Yaa... jalani dulu aja. Gue dan dia juga nggak deklarasiin sebagai pasangan, cuma kami sama-sama mencoba. Jodoh atau enggak, lihat gimana nanti aja."
"Kalau nggak jodoh sama dia, sama gue aja."
Aku terkekeh kecil. "Lo belum nemu seseorang juga buat dijadiin istri? Nggak bosen jomblo terus?”
"Ada yang gue incar. Entah, gue juga nggak berani berharap lebih."
"Orang mana? Coba lihat fotonya, ada nggak?"
"Rahasia."
"Pelit! Pakai rahasia-rahasiaan segala." Aku mengerucutkan bibirku.
"Nanti kalau udah waktunya, gue bakalan kasih tahu. Dah ah, good night.”
Gilang itu tak pernah punya pacar dari dulu. Beda denganku yang sempat pacaran dengan kakak kelasku ketika SMA walau tak lama. Kata Gilang, dia hanya ingin fokus belajar dan menjadi orang sukses. Karena hidup di panti hingga masa kuliahnya, Gilang bertekad besar mewujudkan impiannya. Dia selalu berprestasi sama sepertiku. Bedanya, aku disekolahkan di sekolah yang mahal dan bagus oleh orang tua angkatku, sedangkan Gilang sekolah di negeri biasa.
Keinginan terbesar Gilang adalah bisa membantu adik-adik kami di panti. Dan saat ini dia bisa mewujudkannya. Meski papaku tetap menjadi donatur di sana, tapi dari Gilang sendiri juga banyak memberi ke sana meski tak lagi tinggal di tempat itu sejak bekerja.
Usai mengakhiri pembicaraan dengan Gilang, aku memejamkan mata. Sesaat kemudian, mataku kembali terbuka. Aku meraih ponselku. Jemari tanganku bergerak pada layar membuka galeri. Aku mengusap sudut mataku yang berair melihat banyaknya foto dan video aku bersama Dikta. Semua masih tersimpan rapih di galeriku. Jemariku menyentuh tanda hapus di sana. Mungkin bisa dimulai dari sini dulu untuk perlahan melupakan tentang aku dan dia?
***
Semalam waktu di jalan pulang, Mas Pras telepon dan mengajakku jalan hari ini. Dia meminta maaf semalam, merasa bersalah karena baru mengabariku pada malam hari. Dia tak memegang ponsel dan seketika melihatnya, daya ponselnya habis.
Aku memakai sapuan make up tipis pada wajahku. Mematut diri di depan kaca, baru turun beberapa saat kemudian saat Mas Pras mengabariku jika sudah akan tiba.
Mama bertanya tadi pagi mengenai hubunganku dengan Mas Pras. Aku jawab hanya menjalani dulu saja, saling mengenal satu sama lain. Mama pun mengangguk paham, tak mendesak. Papa malah yang khawatir, takut aku merasa tak nyaman.
"Sejauh ini Mas Pras baik sama aku, Pa. Aku pun demikian. Berusaha untuk kenal lebih dekat lagi."
"Apa kamu masih mengingat Dikta?"
Aku menghela napas. Tentunya tak mudah bagiku melupakan sosok lelaki itu begitu saja, aku butuh waktu.
"Biarkan waktu yang akan menjawab, Pa. Sekarang aku sedang fokus sama Mas Pras." Ya... aku memutuskan untuk tak lagi memikirkan Dikta, mencoba untuk melupakannya meski sulit. Biarkan waktu yang menjawab, aku mengikuti alurnya saja. Semoga diberikan jalan terbaik untukku.
Aku dan Mas Pras memutuskan untuk nonton film di bioskop saja hari ini. Kebetulan aku sudah lama tak ke bioskop. Terakhir kali dengan Dikta sebulan sebelum kami berpisah. Aku jadi malah ingat Dikta lagi. Biasanya, kami akan ke bioskop sekali sebulan. Sesibuk apa pun, kami usahakan selalu meluangkan waktu kencan di bioskop.
“Kamu mau nonton film apa?” tanya Mas Pras saat kami tiba di mall.
“Masnya maunya apa?”
“Ngikut kamu aja. Aku apa aja suka.”
“Oke.”
Kami memilih untuk menonton film action akhirnya. Sepanjang film diputar, pandangan kami lurus menatap layar di depan. Tak ada pembicaraan di antara kami. Mas Pras ini tidak pendiam, tidak banyak bicara juga. Begitu penilaianku terhadapnya sejak pertama kali mengenalnya. Baik Mas Pras atau pun aku, kami tak pernah membicarakan tentang mantan kekasih. Mas Pras hanya pernah bilang jika dia terakhir kali pacaran sekitar setahun yang lalu, sudah, begitu saja. Sedangkan aku tak bilang apa pun kapan terakhir aku berpacaran.
Saat film selesai, Mas Pras mengajak makan. Kami menuju salah satu tempat makan, masih di dalam mall juga.
“Wait, Mel, aku angkat telepon sebentar.” Mas Pras bangkit berdiri dan menjauh saat kami baru saja duduk di salah satu tempat makan.
Aku membolak-balik buku menu melihat apa yang hendak kupesan. Mas Pras kembali beberapa saat kemudian dengan wajah panik.
“Kenapa, Mas?”
“Mel, maaf banget, kayaknya aku harus pergi sekarang. Aku harus ke rumah sakit lihat temanku.”
Aku mengangguk sembari tersenyum. “Ya udah, enggak apa-apa. Nggak usah jadi makan? Langsung mau ke rumah sakit aja?”
“Kamu makan aja, tapi aku enggak sempat. Maaf, aku juga nggak bisa anterin kamu pulang karena mau langsung ke rumah sakit.”
Mas Pras mengeluarkan kartu debit dari dalam dompetnya. “Pakai ini aja, terserah kamu mau belanja juga habis ini. Maaf banget, sebagai permintaan maafku ini. Duh, aku jadi nggak enak sama kamu.” Mas Pras mengusap wajahnya, tampak tidak tenang.
Aku menggeleng, menolak kartu debit tersebut. “Enggak perlu, Mas. Ya udah sana, ke rumah sakit. Aku enggak apa-apa, santai aja.”
“Kamu marah, ya?”
“Enggak.”
“Nanti kamu minta jemput sama sopir aja.”
“Gampang soal pulang, emangnya aku anak kecil?” ujarku terkekeh.
Mas Pras pergi dan aku tetap di sini memesan makanan. Tak apa, mungkin temannya itu sedang sakit parah. Aku juga lapar dan sepertinya ingin berkeliling setelahnya memanjakan mata. Siapa tahu nanti tertarik membeli sesuatu.
“Melisha… “
Aku yang sedang melihat layar ponsel di tanganku seketika mendongak ketika mendengar suara manggil namaku.
“Kak Fani? Riri?”
Ada kakaknya Dikta yaitu Kak Fani bersama dengan anaknya, Riri. Aku berdiri menyalaminya dan Riri.
“Sendirian aja?” tanya perempuan itu.
“Iya, Kak.”
“Boleh duduk di sini? Riri minta makan dulu sebelum pulang.”
“Boleh, Kak… boleh.”
“Kamu udah pesan makan?”
“Udah. Ini lagi nunggu.”
Aku mengobrol dengan Kak Fani seperti biasanya saja. Penasaran hendak bertanya tentang Dikta, namun aku mengurungkan niatku. Dia telah melepaskan dan tak menahanku pergi, untuk apa lagi aku berharap padanya?
“Mel, walau kamu udah putus sama Dikta, tapi tetap keep in contact sama kita, ya? Aku dan mama maksudnya. Jangan sampai putus silaturrahmi juga di antara kita.”
Aku tersenyum. “Iya, Kak.”
“Kapan-kapan kalau mau ke rumah, enggak apa-apa, datang aja. Pintu rumah kami selalu terbuka untuk kamu.”
“Terima kasih, Kak. Nanti kapan-kapan aku ke rumah,” ucapku setengah tak yakin. Tak mungkin aku ke rumah jika ada Dikta di sana.
Setelah makan, Kak Fani malah ikut aku berbelanja akhirnya. Aku membelikan Riri pakaian dan juga sepatu. Kak Fani menolak awalnya, namun aku memaksa. Benar katanya, putus hubungan dengan Dikta bukan berarti aku memutus komunikasi dengan kakaknya juga.
“Aku dijemput sama Dikta sebentar lagi. Kalau kamu, bawa mobil?”
Aku menggeleng. “Nanti mau naik taksi aja, Kak.”
“Bareng kita aja, Mel. Kan searah rumah kita.”
“Enggak usah, Kak. Terima kasih atas tawarannya.”
Riri, keponakannya Dikta yang berusia 5 tahun itu kemudian merengek meminta dibelikan ice cream.
“Yuk sama Onty.”
Aku mengajak bocah itu membeli ice cream yang di dekat lobi, sementara Kak Fani ke arah depan lobi melihat mobilnya Dikta. Katanya, mobil adiknya itu sudah dekat. Tak lama menunggu ice cream, aku mengantar Riri hingga ke depan lobi. Terlihat mobilnya Dikta sudah berada di sana.
“Ikut pulang bareng sama kita aja, Onty. Please… “ Riri memasang wajah memelas, mengajakku untuk ikut bersama di dalam mobil omnya yang merupakan mantak kekasihku itu.
“Onty masih ada yang harus dibeli di dalam.”
“Tapi tadi Onty bilang mau pulang juga.”
Aku melirik Dikta sekilas ke arah mobil, lelaki itu tampak menunduk dengan ponsel di tangannya.
“Please… kita kan jarang-jarang ketemu. Aku masih pengen sama Onty.”
Aku menipiskan bibirku. “Kapan-kapan Onty main ke rumah kamu deh!”
“Maunya sekarang!” Riri malah menangis.
Tak tega, akhirnya aku ikut dengan mobilnya Dikta. Riri duduk bersamaku di belakang dan tertidur di pahaku ketika baru sekitar 10 menitan mobilnya Dikta meninggalkan area mall.
Karena jarak ke rumah Dikta lebih dekat dengan mall, mereka di antar lebih dulu.
“Tunggu sebentar,” ujar Dikta tanpa melihat ke arahku. Riri masih tertidur dan digendong Dikta memasuki rumah. Dikta memasuki mobil lagi tak lama kemudian. “Nggak mau pindah ke depan, Mel? Emm… nggak ada maksud apa-apa, cuma nggak mau dianggap sopir sama majikan aja.”
“Oke.” Aku pun pindah duduk ke depan.
Sepanjang perjalanan, kami saling diam. Tak terasa tiba di rumahku.
“Thanks, Dik.”
“Sama-sama.”
Aku membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil. Setelahnya, Dikta langsung melajukan mobilnya tanpa berkata apa pun. Kenapa terasa asing sekali? Aku terkekeh miris, bukannya ini yang aku inginkan? Aku yang protes tak terima saat dirinya masih begitu perhatian kepadaku.