Bertemu Kembali

1655 Kata
Dikta Mel, maaf ganggu Aku dngr km mau ambil kasus yg lg viral itu Kamu yakin? Buktinya cukup kuat klo artis itu salah Jgn pertaruhkan reputasi km yg udh susah2 km bngun Aku membaca pesan beruntung yang dikirim Dikta. Setelah malam itu, dia memang tak pernah lagi mengirimiku pesan atau menelepon. Dia benar-benar menepati apa yang diucapkannya. Aku segera mengetikkan balasan pesan untuk lelaki itu. Bukan urusan km Engga usah ikut campur. Dikta malah meneleponku setelah aku mengirimkan balasan pesan tersebut. "Apa?" tanyaku begitu sudah mengangkat teleponnya. "Mel, banyak kasus lain yang bisa kamu tangani. Yang presentasi kemenangannya besar. Bukan kasus kayak begini." "Apa peduli kamu?" dengusku. Terdengar helaan napas di seberang sana. "Aku bukannya maksud ikut campur. Aku bilang ini buat karir kamu juga ke depannya. Karena yang akan kamu bela nanti— " "Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Nggak butuh saran dari kamu." "Kemarin ini dia sempat ke kantor aku, minta aku jadi pengacaranya dia. Tapi— " "Ooh... kamu mau sombong kalau itu orang datangin kantor kamu duluan, sebelum akhirnya ke aku sebagai buangan dari sana?" "Astaga, bukan itu maksudnya aku, Mel. Aku cuma pengen kamu lebih teliti lagi nerima client. Coba deh, kamu pelajari lagi." "Nggak usah sok hebat, ngajarin aku begitu." Aku langsung mematikan sambungan telepon setelah itu. Aku memang menerima permintaan dari seorang artis untuk menjadi pengacaranya. Artis tersebut tengah bermasalah dengan sebuah hotel. Dia menuntut pihak hotel atas perlakuan tak baik yang diterimanya, akan tetapi dia dituntut balik oleh pihak hotel tersebut dengan jumlah 10 kali lipat lebih besar. Hotel tersebut melayangkan gugatan balik karena sang artis yang dituduh memviralkan nama baik hotel. Aku memang masih tetap mempelajari perkara ini. Di sisi lain, aku berpikir jika menang, maka namaku akan semakin dikenal. Dan membuat papaku bangga tentunya. Belum bisa mengabulkan keinginannya untuk segera menikah, setidaknya ada hal yang lain yang ingin aku lakukan agar papa bangga kepadaku. Papa memang tak pernah menuntutku macam-macam, tapi aku saja yang ingin mempersembahkan yang terbaik untuknya. Yang bisa membuat beliau bangga. Barusan aku emosi kepada Dikta bukan perkata dia yang menghubungiku perkara kasus yang sedang aku tangani itu. Namun, aku hanya menumpahkan kekesalan—emosi saja kepadanya. Kenapa tiba-tiba muncul lagi? Seharusnya, dia tak usah mengingatkan. Tak usah peduli terhadap apa pun yang aku lakukan. Hatiku masih rentan terhadap segala hal yang berhubungan dengannya, meski sedang dalam tahap berusaha perlahan menghilangkan bayangan dan kenangan bersamanya. Aku menelepon asistenku via interkom dan memintanya masuk ke dalam ruanganku. "Ada apa, Mbak?" tanya asistenku yang sedang kuliah S-2 itu. Dia telah bekerja bersamaku sejak 2 tahun lalu saat baru saja lulus kuliah. "Sidang pertama kasus artis itu kapan? Udah ada tanggalnya?" "Minggu depan kayaknya. Nanti saya lihat lagi tanggalnya. Kenapa, Mbak?" "Saya akan coba pelajari lagi perkara itu, jadi ada kemungkinan kita akan mundur jika ada yang terasa ganjal. Emm... nanti kita coba temui dia lagi, wawancara dia. Saya mau lihat apa kah omongan dia akan tetap konsisten dengan sebelumnya." "Mau diagendakan kapan? Nanti saya hubungin manajernya." "Besok atau lusa. Coba kamu tanya, kapan bisanya. Jangan lewat dari lusa.” "Oke, Mbak." *** "Kamu target nikahnya kapan, Mas?" Akhir-akhir ini aku sering bertemu/jalan dengan Mas Pras. Akan tetapi, hubungan kami masih di situ saja. Di pertemuan kali ini, aku ingin membahas kelanjutan hubungan kami ke depannya. Meski belum ada rasa cinta, tapi setidaknya sudah ada rencana ke depannya akan bagaimana. Cinta akan menyusul seiring berjalannya waktu. "Aku?" Mas Pras meneguk minuman di depannya, sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Kalau aku sih sebenarnya belum ada niat menikah dalam waktu dekat ini. Mungkin sekitar 1 atau 2 tahun ke depan? Entah, gimana nanti aja. Kalau kamu sendiri, gimana?" "Bagaimana dengan kelanjutan hubungan kita saat ini?" Bukannya menjawab, aku balik bertanya. "Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku tertarik sama kamu. Tapi untuk menikah, kita butuh mempersiapkan banyak hal, bukan?" "I mean, apa aku masuk dalam kriteria calon istri kamu?" tanyaku pada intinya, tidak bertele-tele. "Jujur, aku nggak mau buang-buang waktu lama. Bukannya aku ngedesak kamu. Tapi aku butuh sebuah jawaban yang membuat aku yakin melangkah ke depannya." "Laki-laki mana pun pasti akan bilang jika kamu adalah kriteria istri idaman, begitu juga dengan aku. Cuma yang tadi aku bilang, untuk menikah, aku enggak siap jika dalam tahun ini. Kalau kamu nggak keberatan menunggu, bisa sekitar 1 atau 2 tahun lagi." "Oke." "Kamu setuju?" Aku mengangguk. "Jalanin dulu aja kayak gini." Mas Pras kembali berbicara. "Kita baru kenal 3 bulanan, belum terlalu mengenal satu sama lain. Kamu bisa menilai aku sebelum nanti kita melangkah ke jenjang pernikahan, dan sebaliknya." Sudut bibirku terangkat. Setidaknya Mas Pras ada bayangan waktu ke depannya, berapa lama aku harus menunggu. Paling lama 2 tahun lagi, aku rasa tidak cukup lama. Andai saja Dikta bisa memberikan jawaban seperti ini, tentu kami masih bisa bersama. Aku menggelengkan kepala, kenapa masih saja membandingkan Mas Pras dengan Dikta? "Oh ya, Mas, besok free nggak?" Dua hari lalu Maudy memberi undangan ulang tahunnya Azka, anak pertamanya Maudy dan Fero. Aku ingin mengajak Mas Pras, sekaligus mengenalkannya kepada Maudy dan Aya. Mereka dari minggu lalu bertanya terus, ingin bertemu. Aku bilang pada mereka bahwa aku dan Mas Pras tidak berpacaran, hanya menjalani apa adanya saja. Tetap, mereka ingin tahu bagaimana sosok Mas Pras yang tengah dekat denganku itu. "Pagi aku golf. Siang ke sananya, belum ada acara. Kenapa? Mau jalan?" "Anak temanku ulang tahun. Acaranya di hotel gitu. Malam, sih." "Aku bisa. Besok kamu kabarin aja mau dijemput jam berapanya." *** Pada malam hari besoknya, aku pun datang ke acara ulang tahunnya Azka bersama Mas Pras. Kemarin, aku sudah membeli kado di sebuah pusat perbelanjaan. Memasuki ballroom hotel, sudah ramai orang di dalam sana. Aku menghela napas sejenak sebelum mengedarkan pandangan ke arah sekitar, pasti Dikta juga diundang, 'kan? "Melisha!" Aku tersenyum melihat Aya yang melambaikan tangan padaku. Aku pun mengajak Mas Pras menghampiri Aya yang sedang berdiri tak jauh dari panggung dengan Yoga di sebelahnya menggendong Zee. "Kenalin, Ay, ini Mas Pras." Mas Pras bersalaman dengan Aya dan Yoga bergantian, lalu ada Maudy dan Fero yang datang menghampiri kami dari arah panggung. "Ganteng juga pilihan lo, Mel, ujar Aya berbisik di telingaku. Aku hanya tersenyum menanggapinya. aku akui jika Mas Pras ini memang tampan. Mama bilang lebih tampan dari pada Dikta. akan tetapi, hal itu tak lantas membuatku jatuh cinta. "Dikta ke mana ini?" tanya Yoga. "Enggak datang dia? Tadi di chat, enggak balas." "Bagus kalau dia nggak datang, masih sebal lihat muka dia soalnya," celutuk Aya. "Masih aja, Ay." Maudy geleng-kepala. "Dikta belum tahu datang atau enggak. Ya udah, Guys, silahkan nikmatin dulu makanannya. Gue tinggal, ya?" Maudy dan Fero pun beranjak dari sisi kami. Yoga mulai mengobrol dengan Mas Pras, sedangkan aku dan Aya memperhatikan Zee yang mulai ke sana-sini sejak diturunkan dari gendongan Yoga. "Kalau Dikta datang, gue penasaran sama reaksi dia ngeliat Mas Pras," ujar Aya pelan nyaris berbisik. Aku rasa, reaksi Dikta akan biasa saja. Sejak malam itu, dia benar-benar menepati apa yang ucapkannya. Minggu lalu sempat mengirimkan pesan dan telepon aku, itu pun karena aku hendak menangani kasus yang sedang ramai dibicarakan. Ya, mungkin dia hanya sekedar mengingatkanku saja. Dikta sepertinya memang tak ingin lagi menggangguku atau tak ingin aku berharap padanya? "Mel, Dikta datang!" Aya menyenggol lenganku. Aku tak ingin menoleh awalnya, namun otakku tak mau diajak kerjasama. Mataku otomatis mengikuti arah pandangan Aya. Terlihat lelaki itu melangkah ke arah kami karena Yoga melambaikan tangan ke arahnya. Lelaki itu menggunakan kemeja berwarna hitam dengan celana jeans serta memakai sneakers, serta menenteng sebuah paper bag di tangannya. Dia menyalami Yoga, Aya, lalu... "Hai, Mel, apa kabar? Dikta mengulurkan tangan juga padaku sambil tersenyum dan aku menyambut uluran tangan itu. Kenapa dadaku masih saja bergetar ketika dia berada di dekatku? "Dik, ini kenalin, pasangannya Melisha." Aku tak sanggup rasanya mengeluarkan sepatah kata pun, malah Yoga yang bersuara. Terlihat kedua orang lelaki itu bersalaman saat ini dengan posisi aku berada di tengah. Sungguh, aku tak berniat menguji Dikta dengan membawa Mas Pras ke sini. Aku karena sudah janji dengan Maudy dan Aya saja. Lagi juga kata Maudy, Dikta belum tentu bisa datang. "Emm... gue kayaknya enggak bisa lama-lama." Dikta melirik jam di pergelangan tangannya. "Besok mau flight subuh ke luar kota." "Weiss, akhirnya datang juga." Fero datng menghampiri kami kembali dan bersalaman dengan Dikta. Dikta memberikan paper bag bawaannya kepada Fero. "Gue enggak bisa lama, Fer," ujar Dikta. "Lima menit lagi gue pulang." "Loh, kenapa? Buru-buru amat." "Mau ke luar kota subuh banget." "Ya elah, masih banyak waktu. Udah, tunggu sampai acara selesai." "Nggak bisa gue." "Lo nyanyi dulu deh kalau gitu, baru gue bolehin pulang." Dikta berdecak. "Mana bisa gue!” "Kalau nggak, nggak boleh pulang cepat. Gue panggilan Azka nih! Minta dia buat nahan lo supaya enggak bisa pulang cepat." "Bodo amat!" "Nyanyi dulu makanya. Sesekali gue pengen dengar lo nyanyi." "Habis itu gue langsung pulang." "Serius mau nyanyi? Wohoo... segitunya bela-belain nyanyi karena mau buru-buru pulang?" Fero tampak melirik sekilas ke arahku dengan sudut bibir terangkat. "Buru! Gue mesti nyanyi di mana?" "Di panggung depan lah!" Fero meminta Dikta untuk mengikutinya. Dikta benar-benar bernyanyi. Untuk pertama kalinya aku mendengar lelaki itu bernyanyi, tapi aku tak berani melihat ke arahnya. Dikta sampai melakukan apa yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, apa kah ingin segera pulang karena menghindariku? Karena aku datang bersama Mas Pras ke sini? Atau memang benar-benar hendak berangkat ke luar kota bertemu client? Meskipun tak mungkin lagi Tuk menjadi pasanganku Namun ku yakini cinta Kau kekasih hati Pandangan mata kami beradu di saat aku yang akhirnya memberanikan diri menatap ke arahnya. Aku memutus kontak mata terlebih dahulu. Hingga lelaki itu selesai bernyanyi, aku tak menoleh lagi ke arahnya. "Gue langsung pulang ya, Guys. Sorry, Fer, enggak bisa ngikutin acara puncaknya." Aku tersentak ketika merasakan tepukan pelan pada lenganku. Mas Pras pelakunya. “Mel, itu teman kamu pamitan mau pulang.” Aku menoleh dan mendapati Dikta yang sudah berdiri di depanku sambil mengulurkan tangannya. Lelaki itu tersenyum. “Duluan, ya!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN