Missing You Again

2203 Kata
Dikta's PoV "Lo kalau masih cinta itu bilang, Begooooo!!" decak Yoga sambil berkacak pinggang. "Nggak guna lo kayak gini! Yang ada nyiksa diri sendiri. Jadi perokok berat sekarang, menurut lo itu ada faedahnya? Lo pikir masalah lo akan selesai begitu aja dan bisa cepat lupain dia dengan lo begini? Enggak akan, Dik!" Kami berada di coffeshop di dekat kantor advokat tempatku bekerja saat ini. Yoga menghampiriku, usai meeting dengan client. Yoga memiliki usaha sebuah EO, buat acara wedding atau acara lainnya juga. Dia memiliki banyak waktu luang tentunya. Aku terkekeh. "Gue lagi nggak butuh nasehat lo." "Benar kata Aya, kepala lo itu harus dijedotin ke tembok. Biar bisa mikir yang benar!" Aku hanya tertawa kecil mendengarnya. Andai semudah itu. Kenyataannya, traumaku—semua rasa ketakutanku tak akan hilang begitu saja. Mungkin aku memang lebih baik sendiri? Saat aku masih mengobrol-ngobrol dengan Yoga, muncul seorang gadis muda. Aku heran, dia tahu saja di mana posisiku. "Barusan aku ke kantor cariin kamu," ujar perempuan itu ketika sudah berada di dekatku. "Ternyata kamu udah pulang dan pas lagi jalan, aku lihat kamu di sini. Chat aku nggak dibalas-balas, sombong amat!" "Dia siapa?" tanya Yoga mengernyit, menatapku dan perempuan itu bergantian. "Hai, kenalin, aku Keyra. Calon istrinya Mas Dikta nanti," ujar perempuan berusia 22 tahun itu menyengir. Aku memutar bola mendengar perkataan perempuan itu, sedangkan Yoga tampak melongo. Dia menatapku dengan tatapan bertanya. Aku menggelengkan kepala. Keyra ini adalah anak temannya mamaku. Aku baru bertemu dengannya kira-kira 6 bulan yang lalu saat mengantar mama le sebuah acara reuni teman SMA-nya dulu di rumah temannya mama. Di sana lah, aku bertemu dengannya. Almarhum suami dari temannya mama itu adalah seseorang mendonorkan kornea matanya pada mama, waktu aku masih SMA. Mama kecelakaan yang mengenai area matanya, dan beberapa hari setelah itu suami dari temannnya mama itu meninggal karena sakit parah. Kebetulan dirawat di rumah sakit yang sama dan temannya mama itu sempat membesuk mama juga. Hanya saja, waktu itu aku tak pernah melihat Keyra. Atau mungkin sudah pernah tak sengaja bertemu dan tak ingat. Saat aku masih SMA, Keyra bisa jadi masih SD. Pasalnya usia kami berbeda 5 tahun. "Anaknya teman mama gue, Ga. Lagi skripsi, anak hukum juga. Dia minta bantuin sama gue," ujarku pada Yoga supaya lelaki itu tak berpikir ke mana-mana. "Jangan mikir aneh-aneh!" "Soon to be calon mantu mamamu, Mas. Menggeser posisi pacarmu, Mbak Melisha itu," lanjut Keyra lagi membuatku geleng-geleng kepala. Aku tak menganggap serius ucapan perempuan itu. Dia tahunya aku masih memiliki kekasih. Aku tak bilang padanya jika sudah tak bersama dengan Melisha lagi. Keyra memang gencar menggodaku, akan tetapi tak pernah aku gubris. Aku hanya menganggapnya sebagai adik, tidak lebih. Aku membiarkannya berada di sekitarku juga karena merasa tak terpengaruh sama sekali dengan tingkah randomnya itu. Dan juga karena apa yang telah diberikan almarhum papanya kepada mamaku. Makanya, aku tetap baik dan mengajarinya juga tentang hukum karena kebetulan dia kuliah di bidang itu. Aku bilang padanya waktu itu jika memiliki kekasih dan memintanya untuk tidak terbawa perasaan kepadaku. Namun, Keyra tetap lah Keyra, yang suka bertingkah sesuka hatinya dan kadang tak mempedulikan perkataan orang. "Tunggu sebentar lagi, aku akan jadi orang hebat juga kayak pacarmu itu, Mas. Bisa nikung dia suatu saat." Aku menoyor kening perempuan itu. "Belajar yang rajin biar jadi hebat itu untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain." "Ooh, tentu. Buat diri sendiri dan sekalian buat masa depan juga, dapetin yang kayak kamu begini." Keyra yang sudah duduk di sebuah bangku menatapku dengan mata berkedip-kedip sambil bertopang dagu. "Kamu aja kalau bisa, jangan yang lain." Terdengar gelak tawa dari Yoga. "Dikta ini kan lagi jom— " Aku membekap mulut Yoga cepat dan melotot padanya. Melepas tanganku perlahan ketika merasa dia sudah mengerti dengan kode yang aku lempar lewat tatapan mata dan gerak bibirku. "Mas Dikta kenapa, Kak?" tanya Keyra kepada Yoga, tampak penasaran. "Lagi cinta-cintanya dia sama pacarnya, mana rela dia pisah." Keyra mengerucutkan bibirnya. Sesaat kemudian, dia tersenyum. "Itu kan sekarang, nggak tahu kalau nanti. Siapa tahu jodohnya itu aku. Kan takdir Tuhan nggak ada yang tahu, meski saat ini Mas Dikta pacarannya sama Mbak Melisha." "Yayaya." Yoga tertawa. "Jodoh nggak ada yang tahu. Yang udah lama bertahun-tahun aja bisa bubar begitu aja, nggak jelas!" lanjut lelaki itu sambil melirikku sinis. *** Sabtu ini aku mengunjungi rumahnya Aya dan Yoga. Aku memarkirkan mobilku di belakang mobilnya Fero, rupanya ada Fero juga di sini. Yoga tak memberitahu di grup, Fero juga. Grup itu belakangan ini sepi. Terakhir ramai itu sekitar 3 bulan lalu, itu pun juga ramai karena ocehan dari para perempuan yang tak terima hubunganku dengan Melisha berakhir. Terutama Aya, chat perempuan itu paling banyak. Dia marah-marah dan bahkan sampai saat ini masih kesal ketika melihatku. Aku datang ke rumah Aya dan Yoga karena kangen dengan anak mereka satu-satunya, Zee. Biasanya, aku akan datang ke sini bersama Melisha. Perempuan itu menyukai Zee, gemas sekali dengan anak dari pasangan Aya dan Yoga itu. Aku membuka pagar rumah dan melihat Fero dan Yoga sedang duduk di teras depan, di depan kolam ikan. Aku menghampiri kedua orang itu dan bersalaman. "Zee ada di dalam?" "Ada. Lagi main dia, sama Fema," jawab Yoga. Aku manggut-manggut. "Gue mau ketemu, sekalian mau numpang ke kamar mandi, Ga." "Oke, gue anter." Aku mengernyit. Pakai di antar segala? "Ngeri lo diamuk bini gue. Masih sensi dia sama lo." Aku terkekeh. Mereka semua sepertinya kesal padaku, tapi Yoga dan Fero sudah biasa saja sekarang. Mungkin karena tak mau ikut campur terlalu dalam juga. Pada dasarnya juga, lelaki jarang mau mengurusi urusan orang lain. Meski aku bilang tak apa, Yoga tetap ikut masuk bersamaku ke dalam. Dan di dalam sana, langkah kakiku terhenti melihat sosok Melisha. Aku menghela napas, apa aku balik pulang saja? Mengingat komunikasi kami yang tak baik, Melisha terlihat jelas sengaja menghindariku. Tapi, di sisi lain aku merindukan perempuan itu. Aku selalu merindukannya lagi dan lagi. Belakangan ini aku jarang melihatnya. Aku sibuk dengan mengurus client-nya. Jika ada sedikit waktu senggang, kadang aku menuju kantornya Melisha, tapi jarang menemukan sosoknya di sana. Aya langsung berdiri menyadari kehadiranku. Benar kata Yoga, perempuan itu masih marah padaku. Aku menerima ocehan dan tatapan tajam perempuan itu, sadar karena memang salah. Telah menyakiti hati sahabatnya. Hingga pada sore menjelang maghrib saat Fero dan Maudy sudah pulang terlebih dahulu, sedangkan Melisha yang aku dengar masih menunggu dijemput. Aya bilang, Melisha sedang dekat dengan seseorang. Dadaku terasa nyeri mendengarnya, tapi mau tak mau aku harus menerima kenyataan itu. Aku yang tak bisa menjanjikan kebahagiaan pada Melisha—tak bisa menggenggam tangannya untuk terus bersama, wajar saja jika perempuan itu mencari sosok lain untuk pendamping hidupnya nanti. Aku sengaja masih di sana karena penasaran dengan sosok lelaki yang sedang dekat dengan Melisha. Namun, hujan mulai turun dengan deras dan beranjak malam, Melisha tak kunjung juga dijemput. Aku tak tahu apa alasannya. Entah lelaki yang akan menjemputnya itu kejebak macet atau lainnya. "Nggak balik-balik lo?" tanya Yoga. Aku dan duduk di sofa depan TV saat ini sambil memperhatikan Zee yang bermain di dekat kami. "Entar, malaman. Lo nggak usir gue, 'kan?" Yoga terkekeh. "Enggak lah. Cuma nanya aja gue. Curiga, lo nungguin Melisha balik dulu, ya?" Aku diam, tak menjawab. "Lo pasti penasaran sama seseorang yang lagi dekat sama dia, 'kan? Jangan ngelak lo, udah ketebak." "Hmmm." "Gue tahu, lo itu sebenarnya nggak rela pisah sama dia. Kelihatan banget gimana lo yang dari tadi sering curi pandang ke arah dia. Semua juga bisa baca, Dik. Kalian udah lama bersama, banyak pastinya kenangan di antara kalian. Yang gue yakin nggak akan bisa lo lupain begitu aja." Terdengar helaan napas dari Yoga. "Gue nggak mau ikut-ikutan nge-judge lo sebenarnya, cuma gue nggak ngerti aja sama pikiran lo kali ini. Alasan lo lepasin dia begitu aja, kenapa?" "Susah ngejelasinnya, Ga. Lo nggak akan paham." "Apa ada hubungannya sama si Keyra itu?" "Enggak ada. Gue baik sama dia, murni karena balas kebaikan almarhum papanya aja." "Melisha juga kayaknya nggak semudah itu berpindah hati sama orang baru." Aku mengedikkan bahuku. Dulu saja, lumayan susah meluluhkan perempuan itu. Aku tersenyum, terbayang saat di mana Melisha setuju untuk menjadi kekasihku. Aku mengajaknya kencan waktu itu di Canal Amsterdam. "Ga, ayo kita makan malam dulu. Zee titip sama Mbak bentar," ujar Aya kepada Yoga. "Tapi teman kamu itu enggak usah diajak." Aya sempat melemparkan tatapan sebal padaku sebelum berbalik badan ke arah dapur. Aku tertawa masam. Segitu kesalnya Aya padaku. Yoga cerita, katanya Aya sampai ikutan nangis, gara-gara melihat Melisha sedih. "Astaga, Ay, enggak boleh begitu." Yoga beralih padaku. "Ayo makan dulu sebelum pulang, Dik!" "Enggak usah, Ga. Gue gampang entar, di rumah aja." "Jangan didengerin bini gue. Ayo! Marah gue, kalau lo enggak makan dulu." Yoga memaksa, aku akhirnya ikut juga. Diam-diam, aku mencuri pandang ke arah Melisha yang lebih banyak menunduk, sama sekali tak menoleh ke arahku yang duduk di kursi seberangnya. Hingga Aya berkata kepada Yoga, meminta untuk mengantarkan Melisha pulang. Aku menawarkan diri saat itu juga, dari pada Yoga dan Aya yang mengantar. Namun, Melisha terlihat enggan. Aya menidurkan Zee di kamar saat baru saja menghabiskan nasinya, dan Yoga menyusul setelahnya ke dalam. Setelah menimang-nimang menahan diri, aku menghampiri Melisha yang tengah duduk di depan TV. Aku sedih rasanya saat menyadari Melisha yang sepertinya keberatan di antar pulang olehku. Melisha benar, aku memang belum benar-benar bisa merelakannya pergi dari kehidupanku. "Kenapa ini?" Yoga keluar kamar saat aku dan Melisha saling tatap. Aku hanya bisa menjawab pertanyaan Melisha di dalam hati saja. "Mel, gue benar-benar sorry banget nggak bisa anter. Kata gue, enggak apa-apa sama Dikta aja. Dia nggak bakalan makan elo, kok. Aman lah sama dia. Cintanya Dikta sama lo masih dalam, nggak akan macam-macam dia." Yoga ini, memperkeruh suasana dengan mengatakan seperti itu. Aku geleng-geleng kepala. Melisha akhirnya setuju untuk pulang bersamaku. "Ada payung, Ga?" tanyaku pada Yoga. Karena mobilku terparkir di depan pagar. Aku tak ingin Melisha terkena hujan ke sana. "Ada... wait." Yoga kembali beberapa saat kemudian dengan membawa payung. "Pelan-pelan aja bawa mobilnya, Dik. Deras banget soalnya, udah malam juga," ujar Yoga yang aku acungi jempol. Aku memakai satu payung berdua dengan Melisha ke arah mobilku. Aku membukakan pintu mobil tetlwbuh dahulu, baru setelahnya berputar ke arah bagian kemudi. Aku menoleh sekilas dan melihat Melisha tampak memeluk kedua lengannya sendiri dalam diam. Aku ingat jika membawa hoodie tadi kursi belakang dan mengambilnya. "Pakai ini." "Enggak usah." "Kamu kedinginan itu, Mel." "Enggak apa-apa." Aku menghela napas. Tetap memakaikan hoodie itu kepadanya meski terdapat penolakan. "Nanti masuk angin, aku nggak mau kamu sakit." Perempuan itu sontak menoleh. "Aku udah sakit dari kemarin-kemarin, sakit hati kare— " "Maaf. Cuma itu yang bisa aku ucapkan saat ini. Maaf atas kesakitan yang kamu rasakan karena aku, maaf untuk segalanya." Melisha melengos, tak lagi menatap ke arahku. Kami tak saling berbicara lagi dan aku mulai melajukan mobilku pelan, karena hujan masih turun dengan derasnya. Masih awet, tak seperti hubunganku dengan perempuan di sebelahku ini. Di pertengahan jalan, ponsel perempuan itu berbunyi. "Hallo, Mas?" Apa Melisha menjawab telepon dari seseorang yang tengah dekat dengannya itu? Kenapa hatiku rasanya sakit sekali? ".......... " "Enggak apa-apa, dimaafkan. Ini udah jalan pulang, kok." ".......... " "Di antar teman." ".......... " "Enggak ada kayaknya. Umm... boleh." ".......... " "Oke. See you tomorrow." Kami berdua tetap saling diam hingga mobilku tiba di depan rumahnya Melisha. Ah, kenapa rasanya cepat sekali? "Thanks, Dik," ucap Melisha sebelum turun dari mobilku. Di sini, sudah tidak hujan lagi. Aku mengangguk. "Mel... " "Ya?" "Aku mau minta maaf." "Hmmm?" "Aku janji, akan berusaha untuk nggak selalu muncul di dekat kamu, ngusik kamu. Ya, aku salah, nggak seharusnya aku ngomong, 'bilang apa pun sama aku ketika kamu butuh'. Maafin aku, ya? Maaf udah bikin kamu sedih dan ngerasa enggak nyaman." Melisha diam, kemudian mengangguk sembari tersenyum. "Jaga diri baik-baik." "Iya." "Ya udah, sana turun! Nanti mama kamu cariin." Melisha membuka pintu mobil. Saat sudah di luar, aku tersenyum padanya yang melambaikan tangan padaku. Lalu, segera melajukan mobilku dari sana bersamaan dengan air mataku yang menetes. Aku menghentikan mobilku di pinggir jalan, tak jauh dari komplek perumahan itu. Aku menertawakan mirisnya diriku yang tak mampu mempertahankan seseorang yang aku cintai karena rasa takut itu. Sekitar 3 tahun lalu, sebenarnya aku merasa lebih baik dan ingin mempersiapkan segala sesuatunya perlahan untuk menikahi Melisha, tapi tiba-tiba saja pikiranku kembali kacau dengan kepulangan kakak perempuanku satu-satunya ke rumah. Aku meraih ponsel ketika ada panggilan telepon masuk. Dari kakakku, Kak Fani. Aku menggeser tanda hijau pada layar ponsel tersebut. "Dik, di mana? Pulang atau nginep rumah teman?" "Pulang, Kak. Ini lagi di jalan." "Ooh. Emm, wait... suara kamu… kamu lagi nangis, Dik? Ada masalah?" "Kak, tadi aku ketemu Melisha dan anterin dia pulang juga." "Coba kamu jujur sama Melisha, Dik. Aku yakin, dia bakalan ngerti." "Gimana kalau dia ilfeel? Dan ragu juga, nggak yakin kalau bersama aku? Kak, aku aja nggak yakin dengan diri aku sendiri. Gimana kalau kami menikah, lalu aku ngecewain dia?" "Dik… " "Aku nggak mau nyakitin seseorang yang aku sayang banget, Kak." "Oke, aku ngerti. Dan sekarang, you should go to a psychologist! Kamu enggak bisa terus-terusan kayak gini. Kamu nyiksa diri kamu sendiri. Aku ikutan sedih adek aku jadi kayak gini. Dik, kamu bisa kok bikin Melisha bahagia. Kamu itu beda, percaya sama aku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN