“Haha. Nggak, temen mahasiswi bimbingan gue, Meis. Baguslah punya inisiatif kepingin cepat selesai. Permudah dong, jangan sibuk urusan lo doang.”
Tesa dan Icha menahan senyum, dengan pikiran yang hampir sama, menilai Andar sosok yang sangat perhatian.
“Bentar, Dra. Gue cek dulu proposalnya dia.”
Andra memberi kode ke Icha dan Tesa agar sabar menunggu.
Tidak lama kemudian, Andra berbicara lagi melalui ponselnya, hanya kata baik dan oke setelahnya yang terdengar. Setelahnya, dia kembali duduk di depan Tesa dan Icha.
“Bu Meiska akan mempelajari proposal kamu hari ini. Beliau jamin sore ini akan membalas pesan kamu dan Senin ini jadwal kamu ujian.” Andra memperlihatkan pesan dari Bu Meiska ke hadapan Tesa.
Tesa menghela napas lega. Meskipun kecewa karena tidak menjadi salah satu mahasiswi bimbingan Andra, dia tetap senang karena akhirnya keluhannya cepat direspon Bu Meis, berkat pertolongan Pak Andra.
“Hm … jadi nggak bisa sama Pak Andra?” Tesa masih mau mencoba.
Andra tertawa kecil, memperlihatkan gigi rapinya. Icha sekilas melihat senyum Andra, dan hatinya ikut berdebar. Ternyata Andra tidak hanya tampan, tapi punya senyum manis, dan baik hati tentunya.
“Saya ini dosen dengan tugas tambahan baru baru ini, jadi saya membatasi jumlah mahasiswa bimbingan, khawatir keteteran. Lagi pula, Bu Meis nggak bilang bahwa kamu harus ganti pembimbing, dan dia tetap mau membimbing kamu.”
Tesa mengangguk mengerti. Dia menyerahkan tangannya ingin menyalami Andra. Andra menyambutnya dengan tatapan hangatnya.
“Terima kasih banyak, Pak Andra. Saya senang sekali bisa bertemu Bapak dan masalah saya jadi terselesaikan.”
Andra dengan cepat melepas jabatan tangannya karena ponselnya berbunyi kembali. Perhatiannya tertuju ke layar ponselnya dan melihat sebuah pesan dari Bu Meis.
“Coba cek WA kamu. Kata Bu Meis, dia sudah perbaiki proposal kamu, dan kamu tetap akan ujian Senin ini.”
Tesa tertawa bahagia, hingga tidak sadar matanya berkaca-kaca. Tidak ada kata yang bisa dia ungkapkan selain terima kasih yang mendalam.
“Sukses ya?” ucap Andra memberi semangat.
“Terima kasih, Pak Andra.”
Icha tertegun melihat punggung Andra yang ke luar ruangan. Dia melangkah ke dekat pintu dan mengamati laki-laki itu sampai ke dekat motornya. Icha tersenyum hangat melihat Andra tengah memperbaiki jaket hitamnya dan memakai helm, lalu menaiki motor dan pergi.
Tesa diam-diam mengamati Icha yang terdiam berdiri di sisi pintu, dan dia tersenyum lega.
Tesa menghampiri Icha dan merangkul bahu Icha.
“Dia baik banget, Tes. Awalnya gue kira dia galak … hm … kok bisa cerai dari istrinya ya? Orang sebaik itu….” Icha masih dengan pandangan kosongnya ke luar ruangan. Dia kagum akan sosok Andra yang menurutnya apa adanya dan tidak sok.
Tesa tertawa menggeleng. “Gue lebih dulu demen ma dia, lo yang telat. Dia lebih lebih dari Geo, lebih cakep, lebih pinter, lebih baik, lebih maco. Kalo lo mau … gue bisa bantu.” Tesa tampaknya berubah pikiran, yang awalnya ingin lebih dekat dengan Andra, setelah mengamati Icha hari ini, dia malah mendorong Icha untuk lebih dekat dengan Andra.
Icha menoleh ke Tesa yang sedang mengamati wajah cantiknya, “Trus menurut lo, gue harus gimana?” tanyanya, mulai tertarik dengan sang duda.
“Godain dong. Duda … hahaha. Kayanya Pak Andra hot deh, hm … maco juga. Apalagi pas ngobrol tadi sama Bu Meis, santai … tapi pasti. Gayanya asyik,” Tesa mulai memanas-manasi Icha.
Icha tersenyum usil, lalu tertawa kecil sambil menutup mulutnya. “Haha … ngimpi gue.”
“Lo pantas ngimpi, Cha. Lo cantik, lo mahasiswi bimbingan dia … dan lo ada alasan ketemu dia dan kontak-kontak dia. Apalagi? Tinggal diseriusin. Gue dukung lo.”
Icha kembali ke bangku dan mengemas alat-alat eletronik yang dia pakai saat melakukan presentasi proposalnya. Tesa ikut membantunya.
“Duda … pasti udah tua,” Icha bergumam sambil senyum-senyum sendiri, dan Tesa mengamatinya.
“Tiga puluh lima tahun ini.”
“Waduh, empat belas tahun lebih tua dari gue, Tesaaaa.”
“Lo mau nggak? Duda seumuran gitu mah demen manja-manjain gadis kayak lo.”
“Dih, sok tau.”
Meski ragu-ragu, Icha menikmati candaan Tesa yang terus menerus menggodanya dengan Andra.
Tesa tersenyum simpul melihat wajah Icha yang memerah, dia senang menggoda Icha.
Tiba-tiba Icha teringat dengan kejadian di perpustakaan, ketika pertama kali dipergok Andra. Dia senyum-senyum sambil menahan tawa, ada perasaan malu, senang, jijik, tapi bahagia mendominasi suasana hatinya.
“Udah … kesempatan … gue dukung seratus persen, Cha. Yah, gue tau si Andra bukan selera bonyok lo yang kepingin lo berpasangan dengan laki-laki keyong reyong kayak mereka. Tapi lo ubah mindset bonyok lo. Nggak bosen napa mikir duit setiap saat?” sindir Tesa.
Icha tertawa menggeleng.
Ruangan kelas sudah rapi kembali, dan kedua gadis itu bersiap-siap meninggalkan kelas. Mereka berjalan berdua menuju parkir mobil. Saat mendekati mobil Icha, tiba-tiba seorang laki-laki menghampiri mereka.
“Icha!”
Icha dan Tesa kaget, keduanya masih saja membahas Andra, Geo datang menghampiri.
“Eh, Geo. Apa kabar?” Tesa yang malah menyodorkan tangan kanannya ke Geo terlebih dahulu. Geo menjabat tangannya dan langsung beralih ke Icha yang tersenyum tipis ke arahnya. Baru kali ini Icha melihat Geo setelah berbulan-bulan tidak bertemu. Mantan kekasihnya tampak segar dan agak berisi, juga lebih rapi. Good, batinnya memuji, tapi maaf kamu sudah tidak ada di dalam hati, lanjut Icha masih membatin.
Icha menyalami Geo.
“Aku dengar kamu udah ujian proposal, Cha?” tanya Geo.
“Ya, baru aja. Kok tau?”
Geo terkekeh, “Liat instastory salah satu penonton kamu. Hm … Pak Andra?”
“Iya.”
Geo agak kecewa melihat perubahan Icha yang jauh lebih tegas, dan tidak menye-menye seperti saat dia pacari dulu.
“Selamat,” ucap Geo pelan.
“Kamu kapan, Geo?” tanya Tesa.
“Emang kamu udah?” Geo balik tanya, tapi matanya tetap di wajah Icha.
“Senin nanti. Mau datang?” tawar Tesa.
Geo kemudian beralih ke Tesa. “Ya, kalo kamu undang.”
“Datang ya … ajak juga Lily.”
Geo terkekeh. “Aku udahan ma dia.”
“Oh … trus ceritanya mau balikan sama Icha?” sindir Tesa sinis.
Geo terkekeh lagi. “Ya siapa tau … dia rindu sama aku.”
Icha tersenyum menggeleng, dia sudah tahu Geo pasti akan meremehkannya dan dia sudah tidak peduli.
“Aku mau fokus skripsi,” ujar Icha tegas.
“Baiklah … aku tau kamu fokus skripsi … hm … sama Pak Andra. Haha … motornya aja aku yang belikan, hasil malak.” Geo terlihat menggeram, entah kenapa dia jadi merasa tersaingi oleh Andra, dospem Icha.
Bersambung