Icha mendadak heran, dahinya berkerut, aneh dengan sikap Geo yang tidak beralasan.
Geo lalu melangkah pergi setelah menatap kesal wajah Icha.
“Heran gue. Bisa gitu ya?” Tesa bergumam heran sambil menatap kepergian Geo menuju mobil sport mewahnya yang terparkir tidak jauh dari mobil Icha.
“Maunya apa sih tu anak?”
“Udah, Tes. Gue udah nggak selera lagi ma dia.”
Tesa beralih ke Icha. “Jangan jangan dia emang punya masalah dengan Andra dulu.”
Icha menggeleng dan dia tidak mau tahu.
Tesa ikut ke dalam mobil Icha. Saat Icha menyalakan mesin mobil, Tesa langsung menyoroti sebuah instastory yang disebut Geo barusan.
“Pantes Geo cembukur. Lo liat noh, ada yang komen dan bilang si duda dan Icha, kok lama-lama mirip … ada yang bales, jodoh kali, cocok ya.”
Icha menggeleng tertawa, sambil santai mengendarai mobilnya menuju gerbang kampus.
“Pasti dia baca tuh komen. Ya ampun, nggak level amat ngurusin beginian. Nggak beda ama gue.” Tesa menepuk jidatnya sendiri. “Lo musti upgrade, Cha. Jangan sampe balikan sama mantan lo yang childish.”
“Tapi gue jadi mikir kata-kata dia yang nyinggung motornya Pak Andra.”
“Ah … itu perkara gampil. Lo tanya aja sama si duda, buat bahan percakapan agar lebih akrab gitu.”
***
Icha semakin percaya diri mengerjakan skripsinya. Dia sangat tekun dan pandai mengatur waktu. Sudah dua kali malam minggu dia pergi ikut dengan mama dan papanya makan di restoran berbintang, tapi kadang dia ingin bersama-sama Tesa. Mama dan papa Icha sangat senang dengan perubahan putri mereka satu-satunya, semakin hari semakin bersikap dewasa dan juga semakin rajin. Bahkan Icha tidak sungkan diperintah mereka, sekadar menitip sesuatu jika dia sedang berada di luar rumah.
“Apa rencana kamu setelah selesai kuliah nanti, Icha?” tanya Laksmi suatu sore, dia dan Icha sedang menghabiskan waktu sore di teras belakang rumah mewahnya.
“Icha maunya lanjut S2, Ma, di Uni Ohio.”
“Amerika?”
“Iya.”
“Ih, sejak kapan kamu kepingin kuliah terus?”
Icha tersenyum malu, sekilas mengingat profil Andra yang sebelumnya kuliah S2 di Ohio State University, dia ingin mengikuti jejak Andra, biar Andra terkesan. Duh, Icha.
“Aha … Mama curiga nih. Ada cowok baru? Kenalin dong ke Mama.”
“Haha, nggak ada … tanya aja Tesa, Icha emang kepingin lanjut S2, Ma. Biar upgrade pengetahuan, sekalian kepingin tau dunia akademik di sana.” Icha merengek manja. Dia belum mau berterus terang ke mamanya soal perasaannya yang sedang berbunga-bunga setiap memikirkan si duda, dosen pembimbingnya. Dia yakin baik Mama atau papanya pasti tidak menyetujui, karena usia Andra hanya terpaut beberapa tahun lebih muda dari usia keduaorangtuanya.
“Duh … emang bisa kamu tinggal sendirian di sana?” Laksmi tampak khawatir membayangkan putri satu-satunya tinggal sendirian di luar negeri, jauh pula.
“Ya, kalo Mama nggak bolehin Icha kuliah di luar negeri, nggak apa-apa. Icha bisa lanjut S2 di kampus Icha lagi.”
Laksmi tersenyum kecil, meski enggan melepas putri kesayangannya, dia tetap merasa bangga akan keinginan besarnya. “Nanti liat bagaimana … perlu dibicarakan dengan Papa.”
Icha mengangguk. “Iya, Ma. Aku juga nggak mau kuliah kalo Mama atau Papa nggak bolehin.”
“Boleh, Sayang. Hanya saja Mama masih berat kalo kamu kuliah terlalu jauh. Kalo di kampus kamu sekarang, Mama nggak keberatan, Papa pasti juga mendukung.”
Icha tersenyum lebar, dia peluk mamanya dengan perasaan senang.
***
Giliran Tesa yang mengikuti ujian proposal hari Senin ini. Meskipun ada banyak yang harus dia perbaiki, tapi dia sudah diperbolehkan pembimbingnya untuk lanjut ke tahap berikutnya. Lucunya, setelah ujian berakhir, Tesa dikira Bu Meis gebetan Andra, sampai Andra mau saja menghubunginya untuk lebih memperhatikan proposal skripsi gadis itu.
“Nggak, Bu. Sahabat saya Icha ini yang dibimbing Pak Andra, saya kebetulan ketemu Pak Andra dan membicarakannya Jumat lalu. Meminta saran Pak Andra, Bu.” Tesa menjelaskan kepada Bu Meis.
“Oh. Saya kira kamu cewek incarannya. Maklum, dia duda….” Bu Meis memelankan suaranya.
Tesa dan Icha tentu tertawa lepas melihat gaya bicara Bu Meis yang ternyata asyik juga.
Bu Meiska mengamati Icha sambil tersenyum penuh makna. “Kamu mahasiswi bimbingannya?” tanyanya memastikan kembali.
“Iya, Bu.”
“Hm … dia suka makan mi, mi Indo, mi Korea, mi Thailand, mi Jepang … dan semua bakmi, kalo kamu kasih dia mi mi tersebut, kamu bisa dipermudah.”
“Ha?”
Bu Meiska menatap tajam wajah Icha yang memerah.
“Kamu cantik,” pujinya kemudian, lalu pergi setelah tidak lupa mengucapkan kata selamat tinggal.
Tesa tidak kuasa menahan tawa bahagianya, bahwa nasib proposalnya jelas dan dia bisa melanjutkan laporan akhir kuliahnya. Icha juga senang karena diberi saran dari Bu Meiska, yang bisa membuat hubungannya dengan Andra semakin dekat.
“Wah … akhirnya gue bisa tidur nyenyak malam ini dan lo bisa langsung pesen Mi Jepang sana, buat yayang lo.”
Icha tertawa malu sambil mencubit lengan Tesa.
Tiba-tiba ponsel Icha berbunyi, dia berdecak sebal saat melihat orang yang menghubunginya.
“Siapa?” tanya Tesa yang melihat Icha yang ragu mengangkatnya.
“Geo.”
“Idih … najong. Bukannya dulu dia blok nomor lo?”
“Iya.”
“Udah, nggak usah diangkat.”
Icha menghempas napas sebal, tapi dia angkat juga panggilan Geo.
Tesa meliriknya sinis.
“Ya, Geo?”
“Kamu di mana, Cha?”
“Nemenin Tesa ujian. Kamu kok nggak datang?”
“Lo, udah mulai?”
“Telat, Geooooo. Udah selesai.”
“Lo, bukannya mulai jam 10?”
“Kamu liat undangannya lagi, jam sembilan dan cuma setengah jam dan sekarang udah selesai.”
Terdengar grasak grusuk di ujung sana. “Astagaaaa, ini undangan Fakultas,” sayup-sayup suara Geo mengumpat.
“Tesa mana, Cha?”
Icha lalu menyerahkan ponselnya ke Tesa.
“Ya, Geo?”
“Sorry, Tes. Aku salah liat jadwal.”
“Nggak masalah, kehadiran kamu nggak perlu,” ketus Tesa. Icha melotot ke arahnya. Tesa memang tidak suka memendam emosi.
“Yah … gimana?”
“Ya, aku lulus. Giliran kamu? Mau aku datangin?”
“Proposal aja belum.”
Tesa menertawai Geo. “Nggak apa-apa, Geo, nggak usah nyesel gitu ... udah selesai juga ujian aku, dan aku lanjut. Semoga kamu menyusul ya!”
Tesa langsung mematikan ponsel Icha, dia tidak mau Icha bicara dengan Geo lagi.
Icha menggelengkan kepalanya. Bagaimanapun, dia ingin hubungan dengan Geo baik-baik saja.
Ponselnya berbunyi lagi.
“Aku mau ajak kamu makan malam, Icha,” ujar Geo memohon.
Bersambung