Bab 8. Ujian Icha

1093 Kata
“Nanti kalo ada apa-apa, Vanya hubungi Pak Ruli. Yang tadi antar minuman.” “Iya, Pa.” “Nanti malam baru kita jalan-jalan.” “Ok.” “Nggak naik motor, kita naik taksi aja.” Vanya menghentikan minumannya. “Naik motor juga nggak apa-apa, Pa.” “Nggaklah. Nanti kamu masuk angin.” Vanya lagi-lagi menurut dengan mengatakan ‘iya, Pa’. Dia pernah jalan-jalan bersama papanya di malam hari dengan mengendarai motor. Ketika pulang ke apartemen, Vanya mengeluh pusing dan mual. Ternyata dia masuk angin, untungnya tidak parah, sehingga Andra masih bisa mengatasinya. *** Icha berdandan lebih rapi dan cantik hari ini. Dia sudah siap menghadapi ujian proposalnya. Buku-buku yang menunjang isi proposal sudah lengkap, berbagai jurnal dan artikel sudah dia simpan di file di laptopnya. Setelah memastikan semuanya, Icha menyemprotkan parfum ke tubuhnya. “Wih, cakep bener dandanan lo. Kek wanita kurir,” decak Tesa terkagum-kagum. Icha memakai kemeja putih dan rok cokelat muda panjang di bawah lutut. Wajahnya sedikit dirias lebih tebal, tapi tidak mencolok, rambut panjangnya dia ikat rapi. Icha tidak membawa ransel seperti biasa, tapi dia membawa tas tangan tipis berisi laptop dan tas kain berisi lima buah buku yang tidak terlalu tebal. Tesa dan Icha sudah berada di dalam ruang ujian, dan ada beberapa teman lainnya yang ingin ikut menyaksikan. Ternyata, Icha adalah mahasiswi pertama yang melaksanakan ujian proposal di kelasnya. Jadi, teman-teman yang lain ingin menyaksikannya. Mereka semangat karena Icha menyediakan makan siang mahal untuk masing-masing yang hadir. Karena Jumat siang tidak terlalu ramai di kampus, Andra dengan bebas bisa memarkirkan motornya di luar ruang ujian. Dia juga sudah tampak rapi dengan kemeja biru terang dan celana hitam. “Ck ck ck … gantengnya duda satu ini,” gumam Tesa yang berdiri di pintu ruang ujian, hendak menyambut kedatangan Andra yang baru saja tiba di lokasi ujian. Ada Icha di sampingnya. Mendengar gumaman Tesa, dia mencubit lengan Tesa. “Sudah siap, Marischa?” tanya Andra dengan senyum hangatnya saat melihat Icha yang mengangguk menyambut kedatangannya. Dalam hati dia memuji penampilan rapi Icha yang sopan dan sepertinya sudah sangat siap menghadapi ujian. “Siap, Pak,” tanggap Icha. Sedangkan Tesa langsung sibuk mengatur jalannya ujian sahabat terbaiknya. Andra adalah tipikal yang tidak terlalu menyukai basa basi. Begitu dia datang dan duduk di depan ruang ujian, dia langsung mempersilakan Icha untuk mempresentasikan proposal penelitiannya. Tidak lama, hanya sepuluh menit. Tampak semua terdiam dan memperhatikan Andra, terutama para mahasiswi. Bukannya fokus ke Icha, tapi malah fokus ke Andra. Untungnya Icha bisa menguasai diri, dengan tenang dan lancar menyampaikan proposalnya siang itu, sehingga perhatian teman-teman tertuju kepadanya. Dia terlihat sangat siap dan hanya sesekali melihat teks. Kurang dari sepuluh menit berlalu, presentasi Icha diselesaikan Icha dengan baik. Saat sesi tanya jawab, Icha juga menanggapi pertanyaan-pertanyaan teman-temannya dengan baik pula. Tampak Andra mengangguk-angguk karena di matanya Icha sangat siap dengan proposalnya, meskipun ada beberapa poin yang tidak Icha jelaskan. Singkat kata, ujian Icha berakhir dengan baik dan dia dinyatakan bisa melanjutkan penelitiannya. Mengamati Icha, Andra sampai lupa akan kejadian dulu saat dia memergoki Icha di perpustakaan. Dia diam-diam merasa senang, yakin Icha bisa menyelesaikan skripisinya dengan cepat. “Nggak perlu repot begini, Marischa. Lain kali jangan seperti ini ya … saya tidak mau memberatkan mahasiswa saya,” ujar Andra saat Icha menyerahkan satu paket makanan mahal ke meja Andra, sebagai ucapan terima kasih, karena kehadiran Andra dan proses bimbingannya yang cepat. Andra tampak siap-siap akan pergi dari ruangan. “Nggak apa-apa, Pak. Saya sangat berterima kasih.” “Iya, jangan lupa tetap hubungi saya jika ada pertanyaan. Seperti biasa, lewat pesan wa saja. Kalo saya nggak balas satu minggu, ingatkan saya.” “Baik, Pak.” Icha sangat puas dengan ujian proposalnya hari ini. “Pak, maaf. Apa boleh bicara sebentar?” cegah Icha saat Andra hampir selesai membereskan mejanya. Dia hampir berdiri dari duduknya. Andra melirik jam tangannya sebentar, lalu mengamati Icha juga Tesa yang berdiri di samping Icha. “Ya … tentang apa?” tanya Andra. Dia dengan cepat menebak bahwa bukan Icha yang ingin bicara dengannya, tapi teman yang berdiri di samping Icha. Dia mengamati sekilas raut wajah Tesa yang gusar dan ingin mengungkapkan sesuatu. “Kenalin teman Icha, Pak. Ini Tesa.” Entah kenapa Icha merubah cara bicaranya dengan Pak Andra, dengan menyebut nama panggilannya sebagai pengganti ‘saya’. Sejenak Andra tertegun, teringat putrinya yang sedang berada di apartemennya. Vanya diajarkan sejak kecil menyebut namanya jika sedang bercakap-cakap dengannya. “Ya.” Andra memperbaiki posisi duduknya dan meletakkan kunci motornya di atas meja. Sadar Andra yang akhirnya mau diajak bicara, Tesa dan Icha langsung mengambil kursi dan duduk di depan Andra. “Begini, Pak Andra. Saya punya masalah dengan pembimbing skripsi saya. Sudah hampir dua minggu nggak ada kabar,” mulai Tesa. “Sudah kamu hubungi lagi pembimbing kamu?” “Beliau hanya bilang tunggu saja balasan dari beliau dan nggak bilang tenggang waktu.” Andra mengamati Tesa dengan seksama. “Siapa pembimbing kamu?” “Bu Meiska, Pak.” “Oh. Saya akan coba hubungi beliau—” “Pak, tapi—” “Ya?” “Hm … apa boleh ganti pembimbing, Pak?” “Bisa aja, asal kamu buat suratnya dan ditandatangani Bu Meiska, dengan alasan yang jelas.” Tesa menghela napas panjang. Tangannya yang bertumpu di atas pangkuannya. Melihat raut wajah Tesa, Andra jadi merasa iba. Meskipun terkesan tegas dan sedikit galak, dia sama sekali tidak mau mempersulit mahasiswa. “Sebentar,” tampaknya Andra berinisiatif menghubungi Bu Meiska. Tampak Tesa dan Icha saling pandang. Tesa berharap dirinya tidak dipersulit Bu Meiska karena mengadukan persoalannya dengan dosen selain Bu Meiska. Tapi apa boleh buat, dia ingin proses laporan akhir kuliahnya tepat waktu dan dia bisa ikut wisuda tahun ini juga. “Sebentar. Tunggu ya.” Andra berdiri sambil meletakkan ponsel di telinganya. “Halo, Meis. Hahaha. Lo sibuk?” Tesa dan Icha lagi-lagi saling pandang. Tidak biasa mendengar dosen mereka saling sapa dengan bahasa gaul. Tapi Andra melakukannya tanpa jaim di depan mereka. “Yah, Dra. Gue sibuk bet. Apa nih? Tumben lo nelpon gue … kejedug pala lo?” “Hahaha. Sibuk apa, Meis?” “Nyelesain journal skopus gue nih, tanggung.” “Hah. Cepet amat mau jadi gubes.” “Iyalah. Kesempatan.” “Gini nih. Gue ada laporan, dari mahasiswi bimbingan lo. Lo lambat banget respon, udah dua minggu katanya. Mau hubungi lo, dia segan.” Andra sesekali melirik dua mahasiswi yang sabar menunggu dirinya tengah berunding dengan salah satu rekan kerjanya. “Emang namanya siapa?” “Tesa.” “Oh. Ya ampun. Siapa lo? Pacar?” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN