Bab 7. Ada Vanya

1141 Kata
“Iya. Baru cere beberapa bulan yang lalu, hm … enam or tujuh bulan. Haha … bareng lo putus ma Geo,” ujar Tesa lagi. “Ha?” Icha lalu menertawai nasibnya yang telah putus dari Geo. “Bisa bareng gitu ya,” gumam Tesa disertai tawa ringannya. “Yah … iseng-iseng berhadiah.” Tesa melirik wajah cantik Icha. Icha akhir-akhir ini sangat serius dengan kuliahnya. Apa karena dia semangat dibimbing Pak Dosen yang ganteng? Icha padahal sering mengeluh soal Geo dan sekarang dia sudah tidak peduli lagi. “Hm … jangan-jangan lo semangat juga dibimbing Pak Andra.” “Iya, semangat dong. Lagi pula dia sangat responsive, dan nggak kejam seperti yang lo bilang.” Tesa memandang Icha dengan perasaan iri. Bukan iri Icha dibimbing pria ganteng, tapi Tesa iri kepada Icha karena proses bimbingan skripsinya yang sangat cepat. Sadar diamati, Icha balik mengamati Tesa. “Kenapa?” “Nggak. Gue iri aja ama lo. Proposal penelitian lo diterima, dan jadwal ujian lo ternyata lebih cepat,” Tesa masih iseng mengecek email dari Bu Meiska di layar laptopnya, tapi apa yang dia harapkan tidak ada. “Emang lo belum dapat balasan dari Bu Meiska?” tanya Icha hati-hati. Icha jadi ikut prihatin dengan nasib Tesa. Padahal Tesalah yang memberinya semangat untuk menyelesaikan kuliahnya, tapi malah Tesa yang mengalami hambatan, karena dosen pembimbingnya yang kurang respon. “Sama sekali belum. Ini udah minggu ke dua. Temen gue yang satu bimbingan ma gue juga belum. Dari dua belas mahasiswa, baru tiga yang direspon, dan sekarang masih menunggu jadwal ujian.” Icha meraih tangan Tesa dan menggenggamnya, ingin menenangkan perasaan Tesa. “Lo nanti ikut gue ujian. Lo cerita aja tentang nasib lo ke Pak Andra.” Mata Tesa membulat tak percaya akan ide brilian Icha. Icha mengangguk, “Namanya juga usaha. Nggak salah kita sebagai mahasiswa curhat. Hm … siapa tau Pak Andra bisa bantu lo.” Tesa tertawa kecil, “Ya … betul, Cha. Jadi bisa lebih lama ngobrol ma duda ganteng.” Icha ikutan tertawa, “Syukur syukur dia jadi pembimbing lo, dan kita bisa bareng.” “Haha … ngimpinya kejauhan, Cha. Gue sih paling nggak dia kasih solusi aja, ama menikmati wajah tampannya. Hm ... biar pikiran nggak bosen." Setelahnya, keduanya tenggelam dalam tugas masing-masing. Icha yang menyiapkan materi ujian proposalnya, dan Tesa yang membaca artikel dan jurnal yang berkaitan dengan penelitiannya. Dua jam di perpustakaan, dua sahabat itu pergi dari perpustakaan dan memutuskan makan siang di luar kampus. *** Kali ini Andra menjaga Vanya, meskipun bukan jadwal yang seharusnya. Tidak masalah baginya, justru dia sangat senang dengan kehadiran sang putri tercinta di apartemennya. “Mau setengah mateng telornya atau yang mateng ... atau mau digoreng?” tanya Andra ke Vanya yang duduk selonjoran di sofa sambil asyik main ponsel. Sambil mata yang terus ke layar ponsel, Vanya menjawab, “Telurnya digoreng, Pa.” “Oke.” Bingung sarapan, akhirnya pagi Jumat itu Andra dan Vanya sepakat makan mi rebus instan, karena Vanya yang terlambat bangun. Padalah semalam Andra ingin mengajaknya jalan-jalan cari sarapan di pagi Jumat, yang tentu akan banyak pilihan dan makanan akan terasa lebih segar. Sekarang, hari sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, sedangkan Vanya bangun jam sembilan, dan Andra kesusahan membangunkan gadisnya di awal pagi tadi. Sementara di dapur hanya ada roti dan mi instan, akhirnya Vanya memilih mi instan sebagai sarapan paginya. Dia mengaku sudah dua bulan lebih tidak makan mi tersebut karena Mama melarangnya. “Nih. Jangan kasih tau Mama. Kalo kamu kasih tau Mama, kamu nggak bisa main ke apartemen Papa bulan depan.” Andra menyerahkan semangkuk mi rebus ke hadapan Vanya. “Yah … ada sayurnya,” gerutu Vanya. Ada sayur sawi dan potongan daun bawang di kuah mi rebusnya. “Harus ada sayur, Sayang.” “Sosisnya nggak ada ya, Pa?” Andra mengacak rambut Vanya gemas. Dia lupa memasukkan sosis ke dalam kuah mi rebus. “Papa lupa.” Dengan mulut manyun, Vanya akhirnya mau makan mi masakan papanya. “Mau Papa pesenin boba milk tea?” tawar Andra. Teh s**u dengan campura boba adalah minuman kesukaan Vanya. “Hm … dicampur grass jelly ya, Pa?” “Got it.” Andra lalu memainkan ponselnya. Setelah memilih saluran tivi kesukaan, Andra menikmati pagi Jumat itu dengan sarapan mi rebus bersama putri cantiknya. Jumat ini Vanya tidak masuk sekolah, karena ada acara rapat guru di sekolahnya. “Mama kapan nikah?” tanya Andra setelah menghabiskan sarapannya. “Tauk.” “Udah kenalan?” “Udah. Namanya Om Fandi.” “Oh.” “Papa udah kenal?” “Pernah dengar namanya.” Fandi adalah laki-laki yang pernah dijodohkan dengan Siska sebelum menikah dengannya. Fandi adalah pengusaha bus kaya raya. Meskipun belum pernah bertemu dengan Fandi, nama itu tidak asing lagi bagi Andra. “Sudah bibeliin apa kamu sama Om Fandi?” tanya Andra. Ada perasaan sedikit cemburu dalam dirinya. Bagaimanapun dia pernah bertahun-tahun hidup dengan Siska dan dia sangat mencintai Siska. “Hm … baju, sepatu, sama ini … hape baru.” “Oh.” Andra mencebikkan bibirnya, dalam hati dia malah berkata, bahwa dirinya sudah membelikan Vanya rumah mewah. Ke depan, setelah Vanya cukup umur, rumah pemberiannya sebagai hasil dari persidangan perceraiannya dengan Siska, akan jatuh ke tangan Vanya. “Kamu suka dengan Om Fandi?” tanya Andra hati-hati. “Yah. Suka sih … hm … nggak tau.” Andra menghela napas panjang, memandang sedih putrinya. Vanya sudah menghabiskan sarapannya. “Papa … apa sebaiknya balikan aja sama Mama.” Andra terkekeh. Dia memang masih menyayangi Siska, tapi untuk kembali seperti dulu, dia jelas tidak mau melakukannya, meskipun Siska memohon kepadanya. Andra sudah sedemikian merasa sakit di hatinya. “Ya … kan Mama yang mau pisah.” “Kalo Mama mau balikan?” “Mana mungkin, Sayang. Mama aja udah mau nikah sama Om Fandi.” Vanya menelan ludah kelu, kembali duduk selonjoran di atas sofa dan enggan memainkan ponselnya. Sedikit memiringkan tubuhnya menghadap ke televisi dan menonton dengan tatapan kosong. “Papa beres-beres dulu ya?” Andra menepuk-nepuk betis Vanya. Setelahnya, dia mengambil peralatan makan yang kotor dari meja sofa, dan membawanya ke dapur yang tidak jauh dari ruang tamu. Tak lama kemudian, dia menerima telepon dari kurir makanan, bahwa minuman yang dia pesan sudah dititipkan di meja lobi apartemen. Andra lalu menghubungi salah satu satpam yang cukup dekat dengannya dan meminta bantuan untuk mengantar minuman tersebut ke apartemennya. Sambil menunggu kedatangan satpam yang mengantar minuman, Andra mencuci alat-alat makan dan minum, serta membersihkan dapur. “Vanya. Buka pintu tuh, pesanan kamu datang.” Vanya langsung berubah senang, mengingat akan menikmati minuman kesukaannya. “Vanya nanti tinggal sendiri nggak apa-apa ya? Siang ini Papa harus ke kampus, karena ada ujian proposal,” ujar Andra dari dapur. Dia harus menghadiri ujian proposal salah satu mahasiswi bimbingannya yang bernama Marischa siang ini. “Ok, Pa.” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN