HIM

1037 Kata
   Sore ini, aku tengah berdiri di balkon apartemen seraya melihat pemandangan sekitar. Aku membiarkan selirih angin menghantam wajahku. Kutarik napas dalam-dalam dan membiarkan udara itu merasuk ke dalam rongga paru-paruku. Aku masih terbayang akan kejadian siang tadi. Aku masih merasa bersalah akan hal itu. Jika saja aku mengubah sikapku siang tadi, hanya siang tadi, pasti sekarang aku tak di sini, pasti sekarang aku tak akan merasa kesepian. Namun, tetap saja, lubuk hati paling dalamku terus menjerit seakan memerintahku untuk membenci kak Nathan.    Di saat pertama kali aku tersenyum girang tanpa akting karena kehadiran Leo, senang dengan dirinya, dan bahagia karena merasa tenang terhadapnya, mengapa dia kembali datang? Menghancurkan dunia baruku seketika. Ketika sebuah senyuman tulus yang nyata mengembang di bibirku, dia datang dan membuatku lupa bagaimana lagi caranya tersenyum? Aku bingung sekarang. Tak bisa mengendalikan hatiku sendiri, aku membencinya tapi aku menyayanginya. Aku tak mengerti apa-apa tentang ini, aku bahkan tak punya alasan pasti mengapa aku menangis karenanya?    "Keyrina?"    Aku menoleh seketika saat suara itu terdengar di telingaku. Aku segera menyeka air mataku yang hampir saja menetes, lalu menggantinya dengan sebuah senyuman. "Lo nangis?" tanyanya.    Dia Leo. Dengan kaos putih polos juga celana jeans, ia berdiri di balkon apartemennya, seraya menopang tangannya dengan pagar di sisi balkon.    "Enggak."    "Bohong lo."    Aku terkekeh, lalu aku terkejut seketika aku menyadari suatu hal. "Lo bisa bahasa Indonesia?" tanyaku.    Ia yang semula menatap lurus ke depan kini menoleh kearahku, tersenyum dan mengangguk. Ya ampun, senyuman manis itu lagi. Rasa sedihku sedikit terobati karena senyumannya, dan aku tak punya alasan untuk tak membalas hal indah itu, aku pun kembali tersenyum padanya. Senyuman tulus yang nyata.    "Kenapa lo nangis?"    Aku diam sejenak. "Nggak pa-pa."    "Jujur aja kali, nggak usah malu curhat sama gua." Aku kembali terkekeh. "Lo kepo banget ya?"    "Bukan gitu. Gua benci aja liat cewek nangis."    Aku tersenyum agak malu, dia manis juga. "Gue kesepian aja."    Leo terkekeh. "Kesepian kenapa?"    Aku terdiam.    "Ohh, gua tau, pasti lo kesepian karena lo jomblo ya," ia mengambil jeda seraya tertawa kecil. "Lo nggak punya pacar, nggak ada yang ngabarin lo, nggak ada yang perhatian sama lo, jadi lo kesepian," sambungnya, lalu tertawa lagi. Aku pun ikut tertawa akibat tebakan konyol darinya itu. "Sok tau lo!"    "Tapi bener kan?" tawanya lagi.    "So what? Emangnya kenapa kalo gue jomblo? Lo mau ngilangin status itu?"    Tawa kami sama-sama memudar, lantas semuanya mulai hening. Yang terdengar kini hanya selirih angin sore yang terus semakin kencang. "Eh jomblo, lo kan cewek, kenapa lo tinggal sendirian di apartemen?"    "Kepo!"    "Mblo, kan tadi gua udah bilang, nggak usah malu curhat sama gua."    "Bilang aja lo kepo sama gue. Iya kan? Iya kan?" ledekku.    "Eh jomblo, dengerin nih ya, kalo lo punya masalah dan lo cerita hal itu ke orang lain, tanpa lo sadarin, masalah lo bakal terasa ringan."    Aku terdiam sejenak. "Iya sih bener juga," aku mengambil jeda, lalu menghela napas. "Gue diusir dari rumah."    Leo sontak menoleh menatapku kaget. Mata indahnya membulat menandakan ia terkejut saat ini.    "Lo kenapa? Nggak usah kaget gitu kali."    "Kok orang tua lo tega sih?"    Aku mengangkat kedua bahuku.    "Lo nggak punya anggota keluarga lain? Kakak lo? Nenek lo? Tante lo? Atau siapa lah?" tanyanya lagi.    "Punya. Tapi nggak semuanya. Nenek gue udah meninggal dua tahun lalu karena sakit, tante gue sekarang di Swiss dan lagi disibukin sama urusan kerjanya, dan kakak gue..." aku kembali mengambil jeda. "Gue nggak yakin. Gue nggak akrab sama dia."    "Cuma karena nggak akrab, lo jadi menjauh dari dia?"    "Ya gue juga nggak ngerti. Setiap kita ngobrol juga pasti singkat banget, gue juga nggak pernah bales pesan dari dia. Lagipula, kalopun kita akrab, apa yang bakalan kita lakuin nantinya? Dia juga sibuk sama kerjanya, jadi tetep aja intinya gue sendirian."    Leo menatapku sejenak. "Yaudah, lo punya gue sekarang."    Aku menatapnya penuh harap.    Apa maksudnya ini?. Batinku.    "Heh jomblo? Kenapa? Lo jangan mikir berlebihan. Dasar jomblo, liat cowok ganteng pasti langsung ngayal ketinggian."    Aku mengernyit. "Ge-er lo!"    "Emang gue ganteng kan. Jujur aja lo, nggak usah munafik deh."    "Berarti lo juga jangan munafik, gue juga cantik."    "Kalo itu mah opini. Kalo kegantengan gue baru fakta. Dasar jomblo."    Aku tertawa. "Berhenti manggil gue jomblo! Kaya lo nggak jomblo aja!"    "Gua emang nggak jomblo."    Aku menahan keterkejutan hatiku sesaat. Tubuhku rasanya kini sungkan untuk berbalik menatap Leo. Kalimat terakhir tadi berhasil membuat hatiku kembali diselimuti bongkahan es yang beku dan dingin. Namun, dengan sedikit tekad, aku menoleh pelan menatap Leo yang kini menahan tawanya.    "Gue nggak jomblo, tapi..." ia mengambil jeda. "Gue single!" ujarnya sedikit kencang, dilanjutkan dengan tawanya yang girang.    Di sela tawanya, aku menghela napasku panjang, sungguh lega dengan jawaban dari dirinya itu. Air mataku pun kini mengering, dan lagi-lagi berubah menjadi sebuah senyum tulus yang nyata. Aku ikut tertawa. "Cowok bule kayak lo ternyata nyebelin juga ya!" kesalku.    Ia menyudahi tawanya. "Yang penting kan lo jadinya happy. Gua nggak peduli kalopun gue harus bohong cuma karena bikin orang lain ketawa, itu lebih baik daripada gue harus jujur tapi bikin orang lain sakit hati."    Aku kembali tersenyum dengan perkataan manisnya. "Udah nggak usah sedih. Keluarga nggak cuma di rumah, lo bisa anggep keluarga gua jadi keluarga lo juga. Kalo lo kesepian dateng aja ke apartemen gua, lagian keluarga gua juga nggak bakal keberatan kok kalo ada cewek cantik di tempat tinggal kita."    Aku tersenyum malu. "Lo ngaku kan sekarang gue cantik?!"    Leo menghela napas. "Iya iya deh."    Kami melanjutkan obrolan juga candaan kami di tengah senja yang kian merubung. Dibatasi pagaran balkon, kami asik bercanda dengan lelucon-lelucon aneh dan unik dari Leo. Aku tak menyangka jika lelaki seperti Leo dapat kembali membuatku tersenyum. Aku salah jika aku beranggapan bahwa tak ada lagi lelaki seperti orang dihadapanku sekarang. Kini aku menemukan lagi alasan untuk tidak menjadi seseorang yang lemah. Leo alasannya. Aku sungguh senang ketika ia berkata bahwa kini aku memiliki dirinya, aku juga sungguh senang ketika ia membiarkan keluarganya untuk kuanggap sebagai keluargaku. Aku tak mau peduli dengan sikapnya yang menyebalkan juga sebutan 'jomblo' nya untukku. Karena hal itu menjadi sedikit alasan mengapa aku tersenyum. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN