FEEL BAD

2111 Kata
   Langit semakin terlihat gelap, tak ada bintang ataupun bulan yang menghiasi langit itu, yang terlihat hanyalah kumpulan awan biru kehitaman juga rintikan air hujan yang kian lama kian deras. Dan kini, aku tengah terduduk di atas lantai balkon. Aku tak peduli rintikan air hujan itu sesekali mengenai tubuhku. Dingin memang, bahkan rasanya hawa dingin itu merasuk menyelimuti hatiku.    Aku menatap selembar foto usang yang memang sedari tadi ada di tanganku. Setetes demi setetes cairan bening tumpah dari pelupuk mataku. Setiap kali melihat foto itu, entah kenapa kesedihan selalu datang padaku. Padahal, foto itu hanya foto biasa, yang menampilkan aku, kak Richard, kak Nathan, Mama, dan Papa. Foto itu dipotret ketika aku masih berusia tiga tahun. Aku masih sangat kecil, dalam foto itu, wajahku lah yang paling polos dan menggemaskan. Dalam foto itu juga terlihat jelas bahwa Mama dan Papa merangkul satu sama lain, sementara kak Richard dan kak Nathan berpose bebas di sisi Mama dan Papa, dan yang paling penting, foto itu dipotret ketika kami semua masih baik-baik saja, masih menampilkan senyum tulus, dan juga masih ada dalam ruang lingkup yang aman. Tap... Tap... Tap...    Aku segera menghapus air mataku ketika mendengar suara tapak kaki itu dalam apartemenku. Namun, aku tak berbuat apa-apa, hanya terdiam dalam posisiku dan tenang. Aku tak peduli jika orang tersebut adalah penjahat ataupun maling yang mungkin akan membunuhku saat ini juga.    "Key? ngapain di sini?"    Aku mendongak kala mendengar suara lembut itu. s****n, ternyata dia. Kak Nathan. Ya, dia di sisiku kini, entah kapan ia datang, tapi kini ia ada di sini bersamaku dengan membawa sebuah jaket yang entah untuk diapakan. Ia menjajari posisiku yang duduk di lantai, ia lalu menyelimuti tubuhku dengan jaket yang ia bawa.    "Cuacanya dingin, hujan deres, ngapain di luar?" tanyanya.    "Nggak usah sok perhatian!"    Kak Nathan terdiam. Ia kini menatap ke depan seraya duduk tepat di sisi kananku. "Ngapain lo kesini?" tanyaku ketus.    Ia tersenyum. "Kakak pengen sama kamu, jadi kakak mohon untuk sekarang jangan usir kakak."    Aku tertegun. Tak tega menolak permintaannya tapi juga tak ingin ia ada di sini. "Kakak kangen sama Keyrina," ujarnya lagi.    Aku menoleh kearahnya. Aku di sini. Batinku.    "Keyrina yang dulu," sambungnya.    Hening.    "Nggak mungkin gue bakal balik lagi jadi Keyrina yang dulu. Gue bahkan nggak sudi dikenal sama lo!" ucapku tajam pada kak Nathan.    Ia menatapku berkaca-kaca.    "Kalo aja hari itu lo nggak ngelakuin semuanya, kita sampe sekarang mungkin masih baik-baik aja. Ini semua karna lo!"    "Terus kakak harus apa? Gimana caranya kakak harus minta maaf? Kakak harus mati?"    Aku terkekeh. "Ck. Mati? Emang lo berani?!" aku mengambil jeda. "Berhenti bersikap seolah-olah lo pahlawan, lo itu nggak lebih dari pengecut!" hinaku.    Kak Nathan menghela napas panjang, terlihat benar-benar menahan amarahnya.    "Lo bukan kak Richard, harusnya lo sadar itu!!! Jadi berhenti bersikap seolah lo itu pahlawan, karna semuanya bakal sia-sia!" hinaku lagi.    Ia terdiam.    "Semua yang udah lo lakuin itu percuma. Lo kerja keras buat siapa?! Hah?! Lo punya rumah mewah, mobil mewah, kehidupan mewah, tapi lo sendirian, sama aja artinya kayak kerja keras lo tuh nggak kebayar, karna nggak ada satupun orang yang akan banggain semua itu!"    "Key please!"    "Lo pikir lo punya pihak?! Hah?! Gue sama lo bahkan nggak saling dukung satu sama lain, dan lo masih berlaga sok kuat sama diri lo sendiri?!" jeda sejenak. "Gue udah bilang sama lo, nyerah aja, kita bahkan tau bahwa ini semua nggak akan pernah berhasil!"    "Just stop please!"    "Kenapa lo nyuruh gue berhenti?!! Hah?! Lo ngerasa bersalah?! Lo tuh sama aja kayak Papa. b******k!" Plak!    Tamparan kasar itu mendarat mulus di pipiku. Kak Nathan kini menatapku sedikit bersalah, ia lalu mengacak rambutnya frustasi, menghela napas panjang, dan tanpa sepatah kata lagi, ia pergi. Suara tapak kakinya kian lama kian mengecil, terdengar juga suara pintu yang dibanting keras. Aku memeluk lututku dan menenggelamkan wajahku, lantas menangis. Rasa bersalah seakan kini hadir menghantam diriku. Lagi-lagi, aku bimbang dengan diriku sendiri.    Aku kembali menatap foto usang tadi. Kembali melihat wajah-wajah yang kurindukan itu. Namun, penglihatanku tertuju pada sosok bocah lelaki delapan tahun dalam foto tersebut. Ya, itu kak Nathan. Senyumannya yang tulus kini mampu membuatku kembali merasa bersalah, seakan-akan sekarang aku yang telah menjadi alasan mengapa senyum itu tak lagi terukir. Aku berdiri dari posisiku, lalu menopang tanganku di sisi pagar balkon. Mobil hitam mewah itu telah memancarkan cahaya lampunya, perlahan tapi pasti mobil tersebut berjalan semakin jauh, begitu juga dengan seseorang yang berada di dalamnya, kak Nathan.    Aku menggigit bibir bawahku, menahan isak tangis yang rasanya sesegera mungkin akan pecah. Namun, bagaimana pun juga, bibirku tak akan berani berteriak dan kembali memanggil namanya, atau sekedar berteriak untuk menyuruh mobil itu berhenti dan kak Nathan kembali lagi padaku. Tak mungkin.    Aku kembali menatap foto usang itu dengan isak tangisku yang kian deras, sama seperti rintikkan hujan di hadapanku ini. Lalu, entah dengan alasan apa, aku merobek foto tersebut menjadi beberapa bagian, dan membuangnya sembarangan ke bawah. Aku lantas berjalan menuju kamar apartemenku, lalu menghamburkan tubuhku ke atas kasur dan lanjut menangis. Isak tangisku semakin menderas, pikiranku pun terlampau jauh ke masa lalu, kala semuanya masih baik-baik saja.    "Mama lebih sayang Nathan apa adek?"    Ucapan kak Nathan itu berhasil membuat Mama terdiam sejenak. Aku yang duduk di pangkuan Mama pun ikut terdiam, menunggu bibir itu mengeluarkan kalimatnya.    "Mama sayang kalian berdua," jawab Mama lembut.    "Nggak boleh. Mama harus pilih salah satu, Nathan apa adek?"    "Pasti Mama lebih sayang aku lah. Kakak kan nakal," sindirku.    "Kamu lebih nakal, Mama pasti nggak sayang kamu," balasnya.    Aku terdiam mendengar sindirannya. Aku juga masih menunggu jawaban yang akan Mama keluarkan dari bibir indahnya itu. Namun, untuk beberapa saat, hening. Tak ada perbincangan antara kami, Mama pun masih terdiam dan menatap kak Nathan lembut.    "Mama ayo jawab," paksa kak Nathan.    Mama tersenyum hangat. "Mama sayang kalian semua. Kalo mama punya seratus persen kasih sayang, tiga puluh persen untuk Nathan, tiga puluh persen untuk Key, dan tiga puluh persennya lagi untuk Richard."    "Terus sepuluh persen lagi untuk siapa?" tanyaku polos.    Lagi-lagi hening, kuyakin Mama kini tak tau apa yang harus ia katakan.    "Sepuluh persen lagi untuk Papa."    Kami semua menoleh ke belakang kala mendengar suara lantang itu, kami pun tersenyum girang ketika Papa dan kak Richard datang seraya membawa minuman untuk kami. Sebenarnya, kini kami semua tengah berada di sebuah pekan raya. Dan karena lelah, aku, Mama, dan kak Nathan duduk di sebuah bangku, sementara Papa dan kak Richard pergi membeli minuman.    "Mama pasti sayang kalian semua," ujar Papa, sedikit membantu Mama.    Untuk saat ini, kami semua percaya dengan kata-kata itu. Dan untuk saat ini, kami bahagia.    Mataku kian lebam, membayangkan hal itu, sungguh sakit rasanya. Dan kini, rasa bersalah datang menggantikan rasa kesal dalam diriku. Entah kenapa, rasanya aku menyesal membuang satu-satunya foto kenangan keluargaku itu. Aku tak punya lagi hal berharga semacam itu, dan aku membuangnya begitu saja?!    Bodoh.    Aku beranjak dari posisiku, berlari untuk cepat sampai di bawah. Namun, ketika aku tiba, tak ada satupun robekan foto itu yang kulihat. Semuanya hanya jalanan biasa, halaman apartemen yang biasa. Aku mendongak ke atas. Di lantai lima, balkon apartemenku terlihat jelas dari bawah sini, jika aku membuangnya ke bawah, bukan tak mungkin semua robekan itu kini ada di sekitarku, tapi sekarang? Semuanya hilang. Karena aku. Pencarian yang sia-sia membuatku kian kesal. Aku berjalan gontai melewati lorong-lorong apartemen, tak peduli bagaimana orang lain menilai diriku yang terlihat seperti gelandangan dengan baju kotor yang basah. Tap... Tap... Tap...    Langkah kakiku terdengar jelas di lorong apartemen ini. Di ujung sana, itu kamar apartemenku, entah kenapa rasanya waktu berjalan begitu cepat, dengan tanpa kusadari, aku tiba-tiba sudah hampir sampai. Langkahku terhenti ketika aku berada di depan pintu apartemenku. Gagang pintu sudah ada di genggamanku, tapi rasanya aku sungkan untuk membukanya. Aku menoleh ke arah kanan. Tak ada apa-apa. Aku hanya melihat pintu coklat yang kini tertutup rapat itu. Namun, pintu biasa itu berhasil mengukir senyum di bibirku. Aku pun melepas genggamanku dari gagang pintu, lalu aku berjalan dan sampai tepat di hadapan pintu itu kini.    "Kalo lo kesepian dateng aja ke apartemen gua, lagian keluarga gua juga nggak akan keberatan kok kalo ada cewek cantik di tempat tinggal kita."    Kata-kata itu membuatku sedikit tenang. Lantas, aku pun memencet tombol apartemen di hadapanku ini. Clak!    Wajah tampan itu menyambutku. Ya, itu Leo. Ia kini berada di hadapanku, mengukir senyum yang lagi-lagi mampu membuat bongkahan es dalam hatiku mencair.    "Ngapa?" tanyanya.    Aku terdiam sejenak. "Lo nggak mungkin lupa sama janji lo kan?"    Ia mengernyit.    "Gue kesepian sekarang."    Hening. Entah kenapa ia tak merespon diriku. Sedikit demi sedikit bongkahan es dalam hatiku pun kembali membeku.    "Ngapain lo diem? Masuk."    Tangan halus itu meraih tanganku perlahan, dan menarikku ke dalam. Ya Tuhan, dia tak lupa dengan janjinya.    "Lo duduk di situ dulu ya," ujarnya seraya menunjuk sebuah sofa di ruang tengah.    Aku tak mempedulikan sofa itu, yang kupertanyakan kini, mengapa ruang ini sangat berantakan? Dan yang lebih parah lagi, semua barang serakan itu adalah mainan perempuan. Beberapa barbie dan boneka tergeletak bebas di mana-mana, cat warna-warni, penjepit rambut, bahkan pakaian barbie ada di mana-mana.    "Sori berantakan. Adek gue lagi mainan," ujarnya.    "Lo punya adek?"    Ia mengangguk. Tiba-tiba, seorang gadis kecil dengan mahkota mainan di kepalanya keluar dari sebuah kamar dengan membawa sekeranjang penuh mainan, dan tanpa alasan, ia menumpahkan isi keranjang itu sesukanya, sebongkah mainan pun kembali menghiasi ruang yang lebih mirip hantaman bencana alam ini.    "Ngapain di keluarin lagi, jadi berantakan, udah lah mainnya," ujar Leo dengan sedikit nada kesal.    "Nggak mau, lala macih mau main."    Leo hanya menghela napasnya panjang.    "Kakak, cucu coklat lala mana?" ujar gadis itu manja.    Leo terbelalak, lalu ia berlari ke arah dapur. Aku mengikutinya menuju dapur, ia kini tengah gelagapan dengan air mendidihnya itu. Terlihat jelas wajah tampannya kini tengah serius menuang air panas itu ke dalam gelas yang sudah terisi s**u bubuk.    "Gua lupa kalo gua lagi masak aer, jadinya gini dah, ribet," ujarnya menggerutu.    "Orang tua lo mana?" tanyaku.    "Mama Papa lagi kerja, mereka bilang sih hari ini lembur," jawabnya, masih sibuk dengan s**u itu.    "Kakak ayo main belbi cama lala," gadis kecil itu berlari ke arah kami dan menarik-narik celan Leo pelan.    Leo menoleh kesal. "Kamu gimana sih, tadi minta s**u, sekarang minta main. Sabar, kakak nggak bisa cepet kayak Mama."    "Ihh, kakak ayo main belbi, ayo, ayo," pekiknya kini seraya memukul-mukul kaki Leo.    Aku menatap gadis kecil itu sejenak, lalu melirik Leo yang tengah sibuk dengan ketidakahliannya dengan air panas juga s**u itu.    "Main barbie nya sama kakak aja yuk," ujarku pada adik Leo.    Gadis itu menatapku berbinar-binar. Ia tersenyum girang dengan gigi susunya yang rapi, lalu menarik tanganku dan membawaku ke ruang tengah tadi. Aku dan dia pun duduk di atas lantai bersama mainannya yang berserakan dimana-mana. Ia lalu memberiku sebuah barbie, lalu ia pun duduk di hadapanku dengan sebuah barbie di tangannya juga.    "Belbi kakak namanya Luna, punya aku namanya Lena," ujarnya, aku sedikit tersenyum. "Meleka belteman, jadi Luna cama Lena nggak boleh belantem," ujarnya lagi.    "Carla, nih susunya."    Aku menoleh ke belakang dan mendapati Leo tengah berjalan mendekati kami dengan dua gelas s**u di tangannya. Ia lalu meletakkan kedua gelas itu di meja dekat sofa, lalu dengan segera adiknya langsung meminum s**u hangat itu.    "Nih buat lo," ujar Leo seraya memberikan segelas s**u satunya. Aku tersenyum. "Thanks."    Perlahan, aku menggengam gelas itu dengan tanganku, dan perlahan juga aku meminumnya.    "Le?" ujarku.    "Hmm?"    "Ko nih s**u rasanya aneh sih?"    "Itu s**u adek gua."    Aku tertegun.    "Udah minum aja. s**u anak tiga tahun kan banyak nutrisinya, biar lo sehat."    Aku tertawa kecil. Lantas, aku pun kembali menyeruput s**u coklat ini. Tanganku sedikit gemetar karena kedinginan, namun kehangatan s**u ini membuat rasa dingin itu sedikit demi sedikit menghilang. Di saat yang sama, sebuah tangan yang lebih hangat mendarat menyentuh tanganku yang gemetar. Aku menatap pemilik tangan itu, kedua alis tebalnya kini mengerut menatapku.    "Lo kedinginan kenapa nggak bilang-bilang sih?" ujarnya serius.    Ia lalu meraih remote AC di dekatnya, dan segera mematikan AC di ruang ini. Setelah itu, ia beranjak berdiri, lalu masuk ke sebuah kamar dan kembali keluar dengan membawa sebuah jaket di tangannya. Ia menghampiri dan menjajari posisiku. Lantas, ia menyelimuti tubuhku dengan jaket yang ia bawa tadi, hal yang sama dengan yang kak Nathan lakukan beberapa saat yang lalu. Ah! Kenapa aku kembali mengingatnya?!    "Kenapa lo tiba-tiba murung?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN