COMEBACK

2046 Kata
203    Aku kini tengah menatap nomor yang tertera di sebuah pintu. Nomor itu adalah nomor apartemen yang baru saja aku sewa. Tanpa berpikir panjang, aku segera membuka pintu apartemen di hadapanku ini, lantas segera masuk ke dalam. Apartemen yang kusewa ini tak begitu besar dan mewah, tapi semua perabotan dan fasilitas sudah ditanggung oleh pihak pemilik, jadi aku tinggal terima beres. ***    "Mama sayang kamu."     Aku tersenyum girang ketika Mama mengucapkan kalimat itu lagi di hadapanku. Aku menatapnya sejenak, lalu memeluknya untuk beberapa saat.    "Nanti waktu pulang sekolah, langsung pulang ke rumah ya sayang," ujar Mama lagi memperingatiku.    Aku tersenyum, lalu mengangguk. Mama menatap mataku lekat dengan tatapan lembutnya selayak sutra, ia lalu mengelus pipiku dengan tangannya yang halus, lantas ia mencium keningku.    "Have a good day honey," ujar Mama lagi.    "You too Mom."    Mama kembali tersenyum. "Bye."     Aku perlahan berjalan menjauh dari Mama yang berdiam di tempat ia berdiri. Beberapa langkah aku berjalan, aku kembali menoleh ke belakang, lantas tersenyum. Terus seperti itu setiap beberapa langkah. Dan setiap kali aku menoleh ke belakang, ada sebuah ketakutan yang menjalar bebas dalam diriku. Aku takut ketika aku menoleh, Mama sudah tak ada dalam posisinya, hilang dari hadapanku, dan menjauh entah kemana.    Sejujurnya, aku tak ingin pergi ke sekolah hari ini. Aku hanya ingin berada di sana, di sisi Mama. Aku tak peduli aku akan menjadi bodoh karena memilih untuk tidak sekolah, aku ingin bersamanya. Dia, wanita cantik berambut panjang bak malaikat itu, ya aku ingin bersamanya dan menghabiskan waktuku dengan dirinya. Tapi kurasa tak bisa, bahkan mungkin Mama justru akan marah jika aku memilih untuk tidak sekolah.    "I WILL MISS YOU MOM," teriakku pada Mama, dan sekali lagi melambaikan tanganku.    Mama tak menggubris teriakkanku. Di kejauhan sana, aku bisa melihat jelas wajah cantiknya yang tadi dihiasi senyum kini berubah menjadi wajah yang muram. Aku bahkan bisa melihat jelas kini matanya sudah berkaca-kaca dan air matanya akan tumpah dalam hitungan detik. Aku balik badan. Kakiku kulangkahkan lagi untuk berjalan menuju Mama. Namun, entah kenapa rasanya sulit. Kakiku seperti terasa mati rasa dan sulit bahkan hanya untuk digeser.   "I'm not your Mommy anymore."    Suara pelan itu sungguh terdengar lirih. Namun aku tak tahu kekuatan apa yang sudah berhasil membuat suara itu terdengar jelas di telingaku. Aku terdiam layaknya patung saat ini. Tak mengerti dengan takdir apa yang telah Tuhan rencanakan hari ini. Pelupuk mataku telah menumpahkan bendungannya. Tetesan bening itu mengalir halus di pipiku. Kini, aku sadar tentang suatu hal.    Aku sadar, bukan aku yang kian melangkah pergi dan menjauh dari Mama. Namun Mama yang terus menjauh, kian menjauh, dan semakin jauh dari diriku. Aku sadar bahwa aku benar-benar tak mengerti dengan takdir hari ini. Aku sadar bahwa Mama kian menjauh dariku kini. Dan aku sadar akan suatu hal lain...    Aku baru saja terbangun dari tidurku.    "It's just a dream," gumamku.    Aku mengerjap. Mataku perlahan terbuka, dan aku bisa melihat jelas dimana aku kini. Di kamar mandi. Ya, aku di kamar mandi sekarang, tengah memeluk lutut seraya bersandar di sudut kamar mandi yang tak luas ini, karena di apartemen sewaanku ini tak menyediakan bath up. Seluruh tubuhku berkeringat, aku pun kegerahan, kurasa diriku kembali tidak nyaman hanya karena tak ada bath up ataupun loteng di apartemen ini.    Aku menghela napas panjang, lalu perlahan beranjak dari posisiku. Sesaat setelah aku keluar dari kamar mandi, mataku langsung melirik sebuah jam yang terletak di dinding. Jarum jam itu terus berjalan, dan kini benda itu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Ya Tuhan, aku sungguh seperti anak malas kini. Ting Tong... Ting Tong...    Aku berdiam sejenak ketika mendengar bel apartemenku berbunyi. Setelah itu, aku melangkahkan kakiku menuju pintu, lalu membukanya. Mataku yang semula masih sayup karena kantuk langsung terbelalak lebar kala melihatnya. Wajahnya sungguh membuatku tenang. Dia bukan siapa-siapa, hanya seorang wanita biasa yang kiranya berusia sekitar tigapuluh atau empatpuluh tahun, seusia Mama. Dia orang asing, terlihat jelas dari perawakannya yang berkulit putih, berambut pirang, dan bertubuh tinggi. Namun, yang menjadi pusat perhatianku saat ini bukanlah dirinya. Melainkan, seorang lelaki yang berdiri beberapa senti di belakangnya, ia terlihat masih muda, seusiaku, dan ia terlihat sungguh tampan.    "Hey kid."    Ucapan wanita itu membuyarkan lamunanku yang tengah menatap lelaki tampan itu.    "Where are your parents?" tanyanya.    Aku terdiam sejanak mendengar kata terakhir itu. "I'm alone here."    Wanita itu terlihat agak kaget, tapi ia lalu tersenyum padaku.    "It's okay. This is for you, i hope you will like it," ujar wanita itu seraya memberiku sepiring makanan yang ia bawa sedari tadi.    "Thank you. But, who are you?"    Wanita itu terkekeh. "Oh my god, i forgot to introduce myself," jeda sejenak. "I'm Lauren, your new neighbour, and this is my son, Leo," perjelasnya.    Lelaki tampan itu maju beberapa langkah, lalu ia mengulurkan tangannya padaku seraya tersenyum.    "Leo," ucapnya.    "Keyrina."    Tangan kami lepas setelah beberapa saat bersalaman. Tangan itu terasa dingin, tapi halus. Jika boleh, aku ingin terus bersalaman dengannya, karena entah kenapa tangan itu terasa berbeda, untukku.   "So, Keyrina, i have to go right now. I hope you like that food," ujar wanita itu lagi.    Aku tersenyum. "Okay," balasku singkat.    Tante Lauren dan Leo pun beranjak berjalan pergi dari hadapanku. Sementara aku masih mematung di ambang pintu apartemenku dan menatap punggung Leo. Tak berapa lama kemudian, tante Lauren masuk ke dalam apartemennya yang tepat bersebelahan dengan apartemenku, diikuti dengan Leo. Namun sebelum itu, Leo menoleh kearahku, lantas tersenyum dengan sebuah senyuman menawan yang kini mampu meluluhkan hatiku.    Aku tersenyum girang seperti orang gila. Mengetahui namanya dan mendapatkan sebuah senyuman darinya sungguh membuatku bahagia. Aku tak punya alasan untuk hal ini, tapi entah kenapa ia istimewa untukku. Aku menutup pintu apartemenku, lalu meletakkan makanan yang tadi tante Lauren berikan di atas meja, lantas melanjutkan kebahagiaanku. Aku tak mengerti kenapa aku seperti ini sekarang, banyak orang bilang kejadian yang kualami ini dinamakan cinta monyet, cinta yang biasa dirasakan remaja muda jaman sekarang. Apakah itu benar? Aku tak tahu pasti.    Leo orang kedua yang mampu membuatku merasa nyaman dan merasa dalam ruang lingkup yang aman setelah selama ini. Meski begitu, aku tetap masih merasa ragu. Dia laki-laki, dan kau tahu kan apa masalahku dengan laki-laki, aku masih memiliki sedikit rasa takut padanya, meski sentuhan singkat itu mampu mencairkan sebongkah es beku yang menyelimuti hatiku, tetap saja, pasti ada sebuah hawa dingin yang terus meragukan hati kecilku. Namun kurasa...    Aku menyukai dirinya. *** 10.30 WIB    Aku kini tengah duduk bersandar seraya meluruskan kedua kakiku di atas tempat tidur. Sambil memainkan handphone dan menikmati cemilan, rasanya aku nyaman dalam posisiku kini. Hari ini aku memilih untuk tidak sekolah, lagipula jika aku berangkat sekolah sudah telat berjam-jam, untuk apa mengambil pusing, aku tak peduli jika sekertaris kelas menulis keteranganku dalam absen dengan sebuah huruf A yang bermakna Alfa, aku juga tak peduli jika nanti Bu Karin akan marah dan memukul telapak tanganku dengan rotan atau penggaris besi, aku tak mau peduli dengan hal itu saat ini. Ngunggg... Incoming call Melly     Aku segera menakan ikon hijau setelah membaca nama yang tertera di layar handphoneku. - Hallo? - Eh lo di mana sekarang? - Apartemen - Hah? Apartemen? - Hmm - Yaudah, apartemen nomer berapa? - Dua kosong tiga - Oh gitu, yaudah gue nanya doang kok Tut... Tut... Tut...    Panggilan itu lantas diputus oleh orang aneh disebrang sana. Tak jelas apa tujuannya menelponku, dan ia tiba-tiba mematikannya tanpa alasan pasti. Aku tak salah menamai kontaknya dengan kata tambahan 'gila' karena hal itu memang kenyataan dari dirinya. Ting Tong... Ting Tong...    Di tengah ketenanganku, suara bel itu kembali berbunyi. Aku beranjak berdiri, lalu menghadap cermin dan merapikan rambutku agar terlihat lebih cantik, karena aku merasa bahwa orang yang akan kubukakan pintu adalah Leo.    "Key!"     Teriakan girang itu berhasil membuatku kaget setengah mati. Harapanku kandas, Leo tak ada di sini, orang yang kubukakan pintu itu adalah Melly. Ia masih mengenakan seragam sekolah, sepatu, dan tas di punggungnya, tapi ia tak sendiri, seorang pria muda dengan kemeja putih, celana panjang hitam, sepatu pantofel, dan juga dasi di lehernya terlihat menemani Melly. Wajahnya sungguh-sungguh tak asing untukku.    "Bolos sekolah, dasar males! Siap-siap aja nanti diocehin Bu Karin," omel Melly.    "Lo bawa siapa Mel?" tanyaku sedikit berbisik.    "Ini dia cowok yang waktu itu nyariin lo. Kan gue udah cerita panjang lebar, tapi lo cuma jawab bodo amat. Kan ngeselin!"    Aku menatap sinis lelaki yang Melly bawa bersamanya itu, lantas aku menarik tangan Melly untuk masuk ke dalam apartemenku, setelahnya aku membanting pintu.    "Lo kok bisa tau gue di sini?" tanyaku.    "Kan tadi gue telpon lo."    "Terus ngapain lo bawa cowok itu ke sini?"    "Dia minta tolong ke gue buat ketemu sama lo. Tadi waktu pulang sekolah, gue lagi di gerbang, terus dia nyamperin gue dan nanya tentang lo, gue bilang aja nggak tau, terus dia minta tolong buat ketemu sama lo, yaudah makannya tadi gue telpon lo."    "Pulang sekolah? Jam segini? Kok cepet banget?"    "Guru-guru ada rapat penting buat diskusi tentang ujian kelulusan kakak kelas kita. Terus, empat hari ke depan, kakak kelas kita ngejalanin try out, jadi kita libur deh satu minggu." Tok... Tok... Tok...    Pintu apartemenku terdengar diketuk dari luar. Itu pasti karenanya. "Lo kenapa nggak bilang sih kalo bakal bawa orang lain ke sini?!!"    "Awalnya gue nggak mau tolongin dia, tapi karena dia mohon-mohon, dan dia janji bakal beliin gue i-phone kalo gue nolongin dia, yaudah deh gue tolong. Di tambah lagi, gue nggak tahan sama wajah gantengnya, gue nggak berhak menolak permintaan cowok ganteng."    Aku terdiam kesal.    "Emang dia siapanya lo sih?"    Aku menghela napas. "Kakak gue!"    Mata Melly terbelalak. "Serius?!! Kakak lo ganteng banget sumpah. Sampe pengen gue pacarin rasanya. Ya ampun, nyokap bokap lo pake resep apa sampe bisa menghasilkan makhluk sempurna macam itu," ujar Melly dengan logat lebaynya.    Aku mendecit dan mencoba tak peduli dengan tingkah Melly. Aku pun membuka pintu apartemenku lagi, dan membiarkannya menatapku.    "Key? Kamu apa kabar?" tanyanya.    "Baik!"    Ia tersenyum paksa padaku. Ia lalu menatap Melly, dan kembali tersenyum.    "Makasih ya udah tolong saya. Nanti janji saya bakal saya tepatin kok, sekarang saya butuh waktu berdua sama Keyrina, kamu silahkan pulang," ujarnya pada Melly.    Wajah Melly memerah, ia lalu mengangguk tanpa ada sedikitpun penolakan. Ia lalu melangkahkan kakinya keluar dari apartemenku seraya terus memandang lelaki ini yang ia bilang tampan.    "Dadah kakak ganteng," ujar Melly, lalu ia memberikan sebuah kiss bye yang sok imut, lantas gadis gila itu segera pergi.    "Lo mau ngapain ke sini?" tanyaku ketus.    "Kakak mau ketemu kamu."    "Sekarang lo udah ketemu gue kan, dan sekarang lo bisa pergi, gue mau sendirian!"    Aku sesegera mungkin menutup pintu apartemenku, tapi nihil! Ia lebih lincah daripadaku, ia berhasil lebih dulu menahan pintu dengan kakinya, dan menarik tanganku.    "Kita bisa ngobrol sebentar," pintanya.    Aku terdiam sejenak, lalu menoleh menatapnya. Lantas, aku membuka lebar pintu apartemenku. "Yaudah masuk!"    Ia tersenyum simpul, lalu melangkah masuk ke dalam apartemenku. Ia melihat sekeliling apartemenku sejenak. "Kenapa kamu tinggal di sini? Kenapa nggak di rumah?" tanyanya.    "Bukan urusan lo!"    Ia menghela napas. "Kamu kenapa jadi kayak gini sih? Kamu bukan lagi Key yang kakak kenal."    "Gue nggak peduli! Dan lo juga udah bukan lagi kak Nathan yang gue kenal."    Hening sejenak.    "Kakak minta maaf."    Aku menyeringai. "Lo pikir cuma kata maaf bisa bikin semuanya balik lagi?!"    "Oke! Sekarang bilang sama kakak, apa yang harus kakak lakuin?!"    "Pergi dari sini!"    Kak Nathan tertegun, dan ia tak bisa lagi berkata-kata. Ia menatapku sesaat, lalu membalikan tubuhnya, lantas berjalan pergi keluar dari kamar apartemenku, ia menutup pintu, dan sesaat setelahnya, ia menghilang dari hadapanku.    Aku menghamburkan tubuhku keatas kasur, lalu menangis terisak sepuasnya. Aku memukul-mukul tempat tidurku secara brutal. Aku benar-benar kesal sekarang. Lebih tepatnya, aku benar-benar menyesal sekarang. Kenapa aku tak membiarkan kak Nathan tetap di sini? Bersamaku? Kenapa aku tak melakukan hal itu? Kenapa aku justru mengusirnya dari sini?    Keyrina sungguh bodoh!    Aku merasa seperti makhluk tertolol di dunia saat ini. Pikiranku kacau seketika. Kenapa aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri? Kenapa aku sungguh munafik di depan kak Nathan tadi! Aku ingin dia di sini! Hanya itu. Shit! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN