WORST DAY (2)

2152 Kata
  Aku mengendap-endap berjalan menuju kelasku. Aku takut bila ada guru yang melihatku lagi, bisa-bisa aku diocehi habis-habisan olehnya. Sebenarnya, bel masuk kelas sudah berbunyi sejak lima belas menit lalu, tapi lima belas menit lalu aku masih berada di kantin untuk menikmati semangkuk bakso yang sudah kupesan. Masalahku dengan Vikar dan Jackson di toilet tadi sudah kian mereda ketika aku menjelaskan semuanya pada mereka, tentang apa dan siapa mereka untukku. Aku telat masuk kelas seperti ini pun karena mereka, karena aku harus benar-benar meyakinkan mereka bahwa yang mereka ketahui hanyalah salah paham, dan mereka hanya mengiyakannya. Namun, aku tak yakin mereka sudah benar-benar memaafkanku. Ya, entahlah.    Aku kini mengintip sedikit lewat celah pintu kelasku yang terbuka. Semua temanku di kelas terlihat fokus pada materi yang tengah dijelaskan di depan kelas, guru yang sedari tadi mengoceh tentang materi itu pun benar-benar fokus pada murid-murid. Jika aku masuk, pasti aku dihukum, dan yang lebih parah lagi, guru yang tengah mengajar di sana itu adalah wali kelasku, Bu Karin.    "Siang Bu," sapaku pada Bu Karin ketika aku melangkah masuk ke dalam kelas.    Aku terdiam mematung di posisiku kini. Sedangkan Bu Karin kini berkacak pinggang, dan menatapku dengan mata melototnya yang seakan-akan sudah memarahiku dalam diam.    "Dari mana aja kamu?" ketus Bu Karin.    "To-toilet bu," gugupku.    "Toilet?! Terus tadi siapa yang Ibu liat lagi makan bakso di kantin?!!"    Aku tertegun. How did she know?    "Teman-teman kamu sudah berusaha belajar dan kamu enak-enakan makan di kantin?!"    "Maaf bu."    Bu Karin mendengus kesal, lalu ia menyuruhku maju beberapa langkah mendekatinya. Aku hanya menuruti perintah itu, tak bisa lagi berbohong di depan orang yang entah kenapa bisa tahu semuanya.    "Ulurkan tangan kamu!" pintanya.    Aku mengulurkan kedua tanganku di hadapan Bu Karin, lantas ia pun memukul kedua telapak tanganku dengan sebuah penggaris besi panjang dan menyakitkan. Ini adalah metode hukuman yang selalu Bu Karin berikan pada murid-murid bersalah sepertiku kini, dan karena aku sering melakukan kesalahan, hukuman ini jadi hal lumrah bagiku. Sakit memang, tapi biarlah mau bagaimana lagi?    "Tadi kamu membolos pelajaran bahasa Inggris lagi kan?!! Hah?!" bentak Bu Karin lagi.    Aku terdiam.    "Kenapa?!"    "Tadi saya kebelet Bu, jadi tadi saya ke toilet terus nggak sengaja ketiduran, jadi nggak ngikutin pelajaran deh Bu."    Bu Karin terdiam dan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanda kecewa.    "Sekarang duduk di kursimu!" perintahnya.    Aku pun berjalan pelan menuju kursiku di sana sembari menahan telapak tanganku yang sakit karena pukulan penggaris besi tadi, tapi langkahku lagi-lagi terhenti ketika sebuah kalimat keluar dari mulut Bu Karin.    "Kumpulkan PR kamu!"    Aku terdiam sejenak, lalu menoleh menatapnya. Aku mencoba tersenyum semanis mungkin pada wali kelasku itu, namun, lagi-lagi Bu Karin tau semuanya.    "Belum mengerjakan??!" Aku terkekeh, lantas mengangguk pelan. Bu Karin kini berjalan mendekatiku masih dengan sebuah penggaris besi di tangan kanannya.    "Ulurkan lagi tangan kamu!"    Bisa menebak kan apa yang selanjutnya terjadi?    "Kamu bener-bener keterlaluan! Sudah membolos pelajaran, telat masuk kelas, dan tidak mengerjakan PR!"    "Sepulang sekolah nanti kamu bersihkan ruang kelas ini!" Bu Karin mengambil jeda, dan menatapku tajam. "SENDIRIAN!!!" ujarnya dengan sebuah penekanan.    Aku menatap Bu Karin kaget.    "Ko gitu sih Bu??! Masa saya disuruh bersihin kelas ini??! Kan saya nggak ada tugas piket hari ini, harusnya yang piket lah yang ngerjain!"    Bu Karin kembali menatapku tajam.    "Berani ngelawan kamu ya?!! Ibu tambahin hukuman kamu, sehabis bersihkan kelas ini, kamu bersihkan perpustakaan sekolah sampe bener-bener bersih dan rapi, ibu nggak mau liat debu sekecil apapun!"    "Tapi Bu, saya kan...    "Kalo kamu masih berani ngelawan, ibu tambah lagi hukuman kamu untuk bersihkan seluruh area sekolah ini!!" Napasku tercekat. "Jangan Bu."    "Yasudah kalau begitu jangan ngelawan!"    "Iya iya, Bu!"    Aku kembali balik badan dan melangkahkan kakiku, lantas duduk di kursi samping Melly.    "Sabar ya Key," ujar Melly lirih.    "Hmm."    "Eh, ada PR bahasa Inggris, LKS halaman empat puluh lima. Gue ngasih tau aja, biar lo nggak kena pukul lagi."    "Hmm."    "Lo jangan lupa ngerjain, nanti gue liat punya lo, boleh ya. Lo kan murid yang bahasa inggrisnya paling bagus di kelas ini."    "Hmm."    "Eh, tadi ada yang nyariin lo."    "Hmm."    "Serius. Tadi dia ke sini terus nanya lo dimana, ya gue bilang aja nggak tau, dia tadi bahkan nungguin lo sampe jam istirahat abis, tapi lo malah telat masuk kelas. Dia kayaknya butuh banget lo deh, sampe nungguin di depan kelas cuma buat ketemu lo."    "Bodo amat!"    Melly mendengus kesal karena penjelasan panjang lebarnya hanya kujawab dengan jawaban singkat dan menyebalkan. Lagipula, siapa yang ingin bertemu aku? Paling-paling hanya murid lain yang mengangumiku, atau bisa saja Mama atau Papa, atau mungkin juga guru-guru lain yang ingin bertemu dan lagi-lagi memberiku hukuman. Karena itu aku tak peduli. *** 18.00 WIB    Aku memejamkan mataku sejenak sesaat setelah melihat angka tersebut di layar handphoneku. Aku membaringkan tubuhku di lantai perpustakaan yang sudah bersih ini. Ya, aku masih di sekolah. Aku benar-benar sudah lelah saat ini. Membersihkan kelasku yang bisa dibilang megah itu membutuhkan waktu yang tak sedikit, selepas bel pulang sekolah tadi, aku segera bergegas membersihkan ruang kelasku, merapikan susunan meja dan kursi, membersihkan papan tulis, membersihkan noda, membersihkan kaca jendela, hingga mengepel lantai.    Ketika jam dinding di kelasku sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore, semuanya baru selesai. Maksudku hanya tugas membersihkan ruang kelasku yang telah selesai, sehabis itu, aku segera berjalan menuju perpustakaan dan kembali melakukan hal yang sama. Namun, ruang perpustakaan sekolahku bisa dibilang megah juga, ukurannya mungkin empat atau lima kali lebih besar daripada ruang kelasku yang sudah cukup megah, ditambah lagi, tak hanya membersihkan ruang itu saja, aku juga diperintah untuk menyusun ulang buku-buku di perpustakaan sesuai dengan seri, dan urutan yang padu. Membayangkannya saja sudah membuat pikiran lelah, apalagi sudah melakukannya. Dan yang lebih parah lagi, aku melakukan semuanya seorang diri.    "Huhh..." hela napasku.    Aku melihat sekeliling perpustakaan ini sekarang, semua kurasa sudah beres. Buku-buku sudah tersusun rapi, kaca jendela sudah terlihat mengiklat, lantai pun sudah bersih dan wangi. Aku ingin pulang sekarang, tapi jika aku pikir lagi, sepertinya kakiku tak kuasa menopang tubuhku yang bisa saja jatuh kapanpun. Rasanya, tulang-tulang dalam tubuhku seperti melunak dan tak kuat menahan beban diriku sendiri, aku sedari tadi membayangkan jika saja ada pahlawan super yang datang dengan sebuah kekuatan dan menggendongku pulang hingga ke loteng. Namun itu hanyalah khayalan. Ngunggg...    Aku menatap layar handphoneku yang sudah bergetar. Itu panggilan masuk darinya. Kakakku, kak Nathan. Aku terus menatap layar persegi panjang tersebut. Tak sedikitpun menyentuh ikon hijau atau merah yang sedari tadi tampil di sana. Namun, pikiranku berubah beberapa detik ketika aku menatap layar itu. Dan sadar atau tidaknya, jariku sudah menekan ikon berwarna hijau yang tertera di layar itu. - Key?    Aku terdiam ketika sebutan itu menggema di telingaku. Aku tak menjawabnya, dan hanya membiarkannya bicara tanpa jawaban. - Key? Are you there? - Hello?? Key? Please answer me - Hello? Key? Key? Its me Tut... Tut... Tut...    Setetes cairan bening mengalir mulus di pipiku setelah panggilan itu diputus oleh kak Nathan. Entah kenapa aku sungguh merindukannya dan berharap dia di sini menemaniku, namun di sisi lain, hati kecilku serasa menjerit dan berkata "Aku benci kak Nathan!"    Beberapa saat setelah aku mencoba menyeka air mataku, aku beranjak berdiri dari posisiku, mengambil barang-barangku, lantas berjalan keluar dari perpustakaan dan kuusahakan untuk pulang. Aku berjalan gontai di lorong-lorong kelas dengan langkah tak semangat juga dengan mataku yang lebam karena tangis. Tatapanku kosong, jika dilihat orang lain, mungkin aku akan dikira seperti sesosok hantu yang berkeliaran di jam-jam petang seperti ini. Ya, biarlah, aku juga tak mau peduli.    Langkahku terhenti seketika, napasku terhela panjang, rasa lelah pun seakan kembali mengejarku dari belakang. Tepat ketika poster tak berguna itu kembali hadir di penglihatanku, tertempel di sebuah dinding penyangga, tau kan poster apa? Yap, poster hinaan untuk Jackson itu kembali membuat diriku merasa bersalah. Teringat kembali di pikiranku ketika Jackson menangis dan mengeluarkan sebuah kalimat yang senantiasa berhasil membuatku lagi-lagi merasa bersalah.    Aku menatap poster itu sejenak, dan lagi-lagi, seakan ada sebuah sesuatu yang lewat dan kembali membuatku merasa bersalah. Jackson kini terus di hina karena masalah pembullyan dan k*******n yang pernah ia lakukan pada Vikar, awalnya aku hanya ingin memberinya pelajaran saja, tapi aku tak sangka jika Papa akan membuat semuanya menjadi rumit dan membuat Jackson sampai semenderita itu. Ini salahku.    Aku kembali menghela napas panjang, lalu aku tersenyum untuk membuat diriku merasa santai dan mencoba menananggapi semua ini dengan baik. Perlahan, tanganku mulai menyentuh poster itu, dan dengan perlahan juga, aku merobeknya.    Ya, aku akan melakukan ini. Membuang seluruh poster dan segala suatu hinaan yang mengarah untuk Jackson itu, aku akan merobek semuanya, membuangnya ke tempat sampah, dan mencoba membuat semuanya terlupakan. Perlahan, kakiku melangkah kesana kemari untuk merobek dan membuang semua poster dan hinaan itu. Mulai dari dinding penyangga, mading sekolah, pintu toilet dan semuanga yang tertempel poster itu aku singgahi. Lelah memang, itu pasti! Namun aku mencoba untuk tidak merasakan semua kelelahan itu, setidaknya aku akan membuat Jackson kembali dalam posisi aman. Aku melakukan semua ini hanya didasari oleh satu hal. Aku sayang pada Jackson. *** 21.13 WIB Clak!    Aku mematung sesaat ketika dua orang itu ada di hadapanku. Baru saja aku membuka pintu dan berniat mengendap-endap untuk sampai ke loteng, tapi Mama dan lelaki b******k itu sudah lebih dulu mencegahku.    "Dari mana aja jam segini baru pulang?!" ketus lelaki b******k itu.    "Sekolah!"    "Sekolah kamu itu pulang jam dua belas siang, sekarang udah jam sembilan malem dan kamu baru pulang?!!! Keluyuran kemana kamu?!"    Aku terdiam.    "Key! Jawab!"    Masih terdiam.    "Kamu itu perempuan, harusnya udah ada di rumah jam segini! Mau jadi apa kamu kalo jam segini aja baru pulang ke rumah?!!!" bentaknya.    "Bukan urusan anda!" ketusku seraya mencoba berjalan menjauh. Namun, lelaki b******k itu lebih cekatan daripada diriku. Ia menarik tanganku dan mencegahku untuk pergi.    "Jawab!!!" bentaknya lagi.    Aku menepis genggaman tangannya, lalu aku menatap dirinya tajam. "Saya udah bilang, itu bukan urusan anda. Saya darimanapun tadi, saya mau jadi apapun nanti, bahkan kalo saya mati pun, that's all not your affair!" Plak!    Tamparan keras tangan Mama itu mendarat tepat di pipi kananku, ia kini menatapku sungguh kecewa dan penuh amarah.    "Kamu bener-bener nggak sopan! Kalo orang tua ngomong harusnya kamu jawab baik-baik!" bentak Mama.    Aku terkekeh. "Sejak kapan?" ujarku.    Mama melihatku bingung.    "Sejak kapan Mama peduli sama aku lagi?" aku mengambil jeda. "Kalopun Mama tau apa alasan aku pulang telat gini, apa yang akan Mama lakuin? Hah?"    Mama terdiam.    "Kenapa diem Ma? Hah? Semua pertanyaan ini semata-mata cuma buat hilangin rasa penasaran Mama sama lelaki b******k ini kan?!" ujarku seraya menunjuk dirinya.    Mama menatapku kesal.    "Sekarang kenapa Mama yang nggak jawab? Hah? Lagipula percuma aja kalo Mama tau kenapa aku pulang telat kayak gini, karena nggak akan ada hal apapun yang bakal Mama lakuin. Jadi itu semua bukan urusan kalian!" Plak!    Untuk kedua kalinya, tamparan itu mendarat tepat di tempat yang sama.    "Oke, kamu bukan urusan kami lagi," Mama mengambil jeda. "Tapi mulai sekarang kamu nggak usah pulang ke rumah!!!"    Jujur aku kaget, tapi aku tetap mencoba bersikap biasa saja.    "Okay fixed!"    Aku berjalan melewati mereka dan melangkah menuju kamarku. Sesampainya di depan kamar, langkahku terhenti karena Vikar menatapku dengan serius. Ia berdiri di ambang pintu kamarnya yang tepat bersebelahan dengan kamarku, ia menatapku terdiam, namun raut wajahnya seperti menampilkan sebuah ekspresi yang menggambarkan bahwa ia kini tengah bersedih dan kecewa. Aku berjalan mendekatinya, dan mengelus kepalanya. Namun, reaksi yang tak kuharapkan hadir, ia menjauh dari diriku dengan mulut yang masih bungkam.    "Kakak nggak kenal aku kan. Kakak pergi aja ke kak Jackson," ujarnya lirih, dan ia secepatnya masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintunya.    Hatiku benar-benar terasa seperti disayat oleh pisau tajam yang baru saja diasah. Sakit. Benar-benar sakit. Di saat aku sedih dan lelah, orang-orang di sekitarku justru menghindar dan mengharapkanku tak ada di sini. Mama, wanita yang kuharapkan bisa menghapus air mataku itu justru kini menatapku tajam dan menungguku untuk segera melangkahkan kaki keluar dari rumah ini. Aku tak pernah menyangka bila akan menjadi seperti ini. Sungguh, tak pernah menyangka.    Kupikir, dengan menjalani hukuman juga niat baikku di sekolah tadi, aku akan lebih dimengerti. Kupikir niat baik akan selalu dibalas dengan hal baik, namun aku sepertinya salah. Tubuhku kini rasanya akan hancur bila saja disentuh sedikit oleh orang lain. Kakiku sudah benar-benar lelah menopang tubuh ini, pikiranku pun sudah kacau balau, dan aku bahkan kini bingung kemana aku harus pergi?    Sebuah belati batin berhasil merobek hati yang bahkan masih terkikis oleh luka. Menghancurkan waktuku seketika. Membuat tetesan bening seakan mengantri di pelupuk mata. Membuatku kian melemah. Dan lagi, hanya satu kalimat yang ingin kuucapkan saat ini. . . . This is the worst day of my life. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN