Pukul enam lebih tiga puluh menit, Yanan duduk termenung di balkon lantai dua, pria itu menatap bintang yang bertebaran di atas sana. Pikirannya melayang tidak tentu arah. Kehilangan satu player jelas membuatnya kekurangan personil. Namun inilah resiko yang harus dia tanggung. Untuk bertahan di klub ini harus melakukannya dengan sepenuh hati, karena sudah tidak terhitung berapa kali orang luar ingin menghancurkan klubnya.
“Kapten, apa kita perlu merekrut player lagi?” tanya Maxim yang datang mendekati Yanan. Yanan menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau asal sembarangan merekrut orang.
“Lalu bagaimana dengan personil kita yang kurang?” tanya Maxim lagi.
“Huh, kita pakai seadanya saja,” jawab Yanan.
“Aku masih ada operasi malam ini. Aku akan ke rumah sakit jaga clubnya!” titah Yanan menepuk pundak Maxim. Maxim pun menganggukkan kepalanya. Pria itu menatap Yanan yang keluar dengan pandangan kasihan.
Yanan sudah bekerja keras untuk membuat clubnya maju dan besar. Yanan bahkan hampir tidak pernah istirahat. Kesibukannya di rumah sakit juga banyak menguras waktu Yanan. Namun Yanan memang mendedikasikan dirinya menjadi dokter hewan.
Yanan menuruni anak tangga dengan pelan, ada anjing yang mengidap batu ginjal dan harus operasi malam ini. Seluruh pemeriksaan urin dan darah sudah selesai dan tinggal menjalankan prosedur pembedahan. Namun ada sedikit keraguan di hati Yanan, karena keadaan anjing yang lemah dan umurnya yang sudah tua. Namun pemilik anjing itu tetap keukeuh ingin menjalani operasi dan menandatangani surat persetujuan.
Di sisi lain, Shena tengah membaca buku yang baru dirilis. Benar kalau ia ada kesalahan riset, dan orang pertama yang menyadarinya adalah Yanan. Perempuan itu mengepalkan tangannya dengan erat. Ia sangat kesal dengan pria itu, baru saja pria itu memiliki bukunya, tapi sudah berani mengkritiknya.
Shena meneguk air mineral dengan tergesa-gesa. Ia sudah akan menulis buku selanjutnya, tapi ia sama sekali tidak mood. Moodnya hancur saat ada yang menyadari kesalahan bukunya. Menulis fiksi ilmiah tidak semudah yang Shena bayangkan. Kini ia harus apa? Merubah seluruh buku hanya sia-sia karena bukunya sudah dipasarkan. Sampai saat ini Shena tidak berani melihat media sosialnya, takut kalau banyak yang menyadari kesalahanya dan akan menghujatnya.
Dunia kepenulisan memang kejam, di mana satu kesalahan bisa menciptakan drama keributan yang berlarut-larut sampai menjadikan series. Shena susah payah membangun namanya dengan citra baik, dan kini satu kesalahannya membuat Shena tidak jenak.
Shena mengambil hpnya, perempuan itu mengirim pesan pada Yanan.
Penulis kecil : Bisa kasih tau aku bagaimana aku merubah isi buku itu?
Shena menatap hpnya sebentar, perempuan itu menghapus pesannya lagi. Yanan hanya tahu isi risetnya salah, tapi untuk merubah Yanan jelas tidak tahu apa-apa. Shena gelisah seorang diri, ia menyesal sudah menulis cerita genre yang sangat sulit dia kerjakan. Namun ia hanya ingin keluar dari zona nyaman degan menulis berbagai genre.
Shena merebahkan tubuhnya ke ranjang. Pikirannya berkelana tidak bisa diam, Yanan lah yang mendominasi otaknya. Tentang siapa sebenarnya Yanan, untuk apa mendekatinya dan kenapa keukeuh mengajaknya melihat turnamen.
“Dasar pria narsis,” batin Shena memukul bantalnya sendiri. Apa namanya kalau bukan narsis, seorang cowok memaksa cewek untuk melihat turnamen game.
“Kalau kalah bakal aku ketawain sampai puas,” ucap Shena lagi. Shena kembali melihat hpnya, perempuan itu kembali membuka sosial media melihat foto-foto yang ada di akun Cruash Club.
Jujur Shena sangat tertarik dengan dunia game online, tapi itu dulu. Sekarang ia sudah malas bermain, apalagi saat ini game pun semakin banyak player membuat sistem sering nge-bug.
Shena menatap jam dinding yang masih pukul sembilan malam, perempuan itu memilih keluar dari kamarnya. Mengambil jaket, Shena berjalan kaki menuju ke alun alun Surabaya. Shena biasa datang malam ke tempat itu sekadar menatap lampu taman yang bahkan saat orang lain lihat pun tidak ada yang menarik. Namun bagi seorang penulis seperti Shena, apapun yang bisa dia lihat bisa menjadi inspirasinya.
Jarak rumah Shena dari Alun-alun tidaklah jauh, Shena biasa ke sana dengan berjalan kaki. Perempuan itu terbiasa kemana-mana sendirian, karena teman sejatinya hanya laptop yang selalu ia bawa kemana-mana. Seperti saat ini, perempuan itu menenteng tote bagnya yang berisi laptop, Shena sungguh tidak mempunyai pekerjaan lain selain merangkai kata-kata hingga menjadi sebuah tulisan yang indah.
*****
Menjadi perantara kesembuhan pasien jelas membuat para dokter akan tersenyum lega saat berhasil menyembuhkan pasiennya. Namun begitu pun dengan sebaliknya, saat dokter tidak bisa menyembuhkan pasiennya, pasti perasaan dokter ikut hancur.
Ini ke dua kalinya Yanan gagal dalam operasinya. Anjing yang menjadi pasiennya mati di tengah-tengah operasi. Yanan keluar dari ruang operasi dengan wajah lesu. Saat keluar pun, pemilik anjing itu sudah berdiri menghadangnya.
“Dokter, bagaimana keadaan Kiko?” tanya seorang perempuan yang matanya berkaca-kaca. Kiko adalah nama anjingnya. Yanan menatap perempuan itu dengan menghela napasnya pelan. Kabar duka selalu menjadi momok untuk para pecinta hewan.
“Maaf, operasinya gagal. Anjingnya meninggal saat operasi,” jawab Yanan.
“Dokter macam apa, Anda? Saya sudah mempercayakan anjing saya ke rumah sakit ini, tapi ternyata rumah sakit ini juga yang sudah membuat saya kehilangan anjing saya,” teriak perempuan itu yang kini menampilkan raut garangnya.
“Maaf, kami sebagai dokter sudah melakukan yang terbaik sesuai prosedur pembedahan dengan melakukan pembiusan isofluran dengan anestesi mesin. Selama operasi pun kami memberikan selang pernapasan, tapi keadaan anjing yang lemah dan umurnya yang sudah tua membuat daya tahan tubuhnya tidak kuat. Saya sudah bilang dari awal kalau operasi pembedahan dengan kondisi tersebut bisa berakibat fatal, tapi Anda tetap menyetujuinya,” jelas Yanan yang mencoba tenang.
“Omong kosong!” jerit perempuan itu ingin menerjang Yanan. Namun para perawat yang datang pun segera mencegah perempuan yang tengah mengamuk itu. Yanan hanya diam di tempatnya, ia pun sudah berusaha sebisa mungkin. Namun ia hanya perantara bukan pemilik nyawa.
“Rumah sakit ini mempunyai dokter pembunuh!” teriak perempuan itu lagi yang terus memberontak dari cekalan para perawat.
Yanan menghela napasnya, mendapatkan tudingan seperti itu jelas membuatnya seolah gagal menjadi dokter. Dua kali ini Yanan gagal, pertama dengan kasus yang sama batu ginjal pada anjing, tapi saat itu terjadi peradangan di kandung kemih anjing, dan sekarang karena keadaan anjing yang memang sudah tua.
Yanan menuju ke tempat loker dokter, pria itu segera mengganti pakaian-nya. Saat sudah selesai, pria itu segera keluar dari kawasan rumah sakit menuju ke mobilnya.
“Dokter!” panggil seorang perawat yang datang tergesa-gesa menghampiri Yanan. Yanan menaikkan sebelah alisnya melihat perawat perempuan itu.
“Dokter, jangan terlalu dipikirkan. Bukanlah hal seperti ini bisa saja terjadi mengingat kondisi hewan yang memang lemah,” oceh perawat itu.
“Hem,” jawab Yanan menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu, saya pulang dulu,” ucap Yanan yang merasa canggung. Perawat itu menganggukkan kepalanya.
Yanan segera memasuki mobilnya dan menjalankan mobilnya membelah jalanan malam kota Surabaya. Pikiran Yanan masih berkelana, tadi ia sudah sibuk memikirkan Darken, dan sekarang harus gagal melakukan operasi. Melihat wajah kecewa dari pemilik hewan itu membuat Yanan juga merasa kecewa dengan dirinya sendiri.
Kalau sudah menjadi takdir, tidak perlu dikejar pasti akan bertemu dengan sendirinya. Yanan memarkirkan mobilnya di alun-alun Surabaya. Entah apa yang membawanya kesana, tapi kaki Yanan seolah hanya ingin menapaki kakinya di sana,
Yanan segera turun dari mobilnya, pria itu meletakkan tangannya ke belakang dan mulai jalan-jalan di alun-alun itu yang didominasi oleh anak muda yang tengah bergandengan tangan dengan kekasihnya. Yanan tersenyum sinis menatap dua muda mudi yang tengah bercengkrama sembari bergandengan tangan.
“Cih, duit jajan masih minta orang tua saja sudah berani pacaran,” batin Yanan menggelengkan kepalanya.
Yanan menghela napasnya, pria itu menatap langit yang tampak terang dengan banyak bintang. Operasi selama satu jam cukup membuatnya lelah.
“Kyaaa ….” teriak seorang perempuan dengan kencang membuat Yanan menolehkan kepalanya. Yanan melihat seorang perempuan duduk tidak jauh dari dirinya, perempuan itu tengah membuka kaleng soda yang saat ini sodanya membasahi wajahnya.
“Penulis kecil,” batin Yanan setelah mengamati gadis itu. Yanan segera mendekati Shena, pria itu berdiri di hadapan perempuan yang kini tengah membersihkan bajunya yang basah.
Shena lupa kalau ia baru mengocok sodanya, dan bodoh-nya ia malah langsung membukanya yang membuat soda itu harus muncrat kemana-mana.
Yanan melepas jaketnya, pria itu menyodorkan pada Shena. Dengan spontan Shena mendongakkan kepalanya.
“Kenapa kamu lagi?” pekik Shena mencengkarm kaleng sodanya dengan kencang hingga berbunyi ‘Kreek.
“Kenapa kalau aku?” tanya Yanan balik. Di temaramnya lampu taman, wajah Shena memerah karena pertanyaan balik Yanan. Kalau boleh, Shena ingin menghajar Yanan saat ini juga.
“Jaket kamu basah, lepas gih. Ini jaketku gak kalah hangat,” ucap Yanan lagi.
“Hiihh … dasar laki-laki cabuul!” teriak Shena dengan gemas. Sedangkan Yanan hanya tergelak melihat kemarahan Shena. Ia pun tidak menyangka akan bertemu dengan gadis yang sudah membuatnya sangat penasaran setengah mati.