“Kenapa kamu ngikutin aku sih? Iya-iya aku akan datang di acara Turnamen itu,” kata Shena.
“Lepas jaketmu!” titah Yanan yang mengalihkan ucapan Shena. Shena menatap jaket hitam yang diberikan Yanan.
Karena tidak kunjung disambut baik oleh Shena, Yanan pun menarik jaket Shena dengan paksa, pria itu benar-benar memaksa Shena melepas jaketnya. Shena ingin berteriak, tapi ia takut kalau banyak orang yang datang lalu menghajar Yanan. Shena pun pasrah saat Yanan berhasil melepaskan jaketnya. Yanan kembali memakaikan jaket pria itu pada Shena.
Shena dapat mencium harum parfum Yanan yang beraroma dark coklat, sangat manis tapi tidak terlalu tajam. Shena menggelengkan kepalanya saat merasa ia sedikit mabuk hanya karena mencium parfum Yanan.
Yanan mengambil duduk di tempat Shena, pria itu menumpukan kaki kanannya ke kaki kiri. Wajah Yanan juga terlihat seolah tidak berdosa sama sekali.
“Apa maksud kamu?” tanya Shena. Yanan hanya menaikkan sebelah alisnya karena tidak cukup mengerti dengan apa yang diucapkan Shena.
“Kenapa kamu duduk di sini? Aku sedang menulis, kalau ada kamu, semua inspirasiku hancur,” ucap Shena.
“Aku gak akan ganggu. Aku hanya diam.” jawab Yanan.
Shena pun ikut duduk di samping Yanan. Perempuan itu melirik-lirik pria yang lumayan tampan di sampingnya. Wanita mana yang tidak canggung saat disanding pria asing seperti ini? Terlebih aroma dark coklat yang bisa dicium Shena, membuat Shena semakin kikuk.
“Menulislah, aku hanya sedang cari hiburan di sni dan kebetulan bertemu kamu,” kata Yanan.
“Kamu gak ada maksud apa-apa, kan?” tanya Shena memicingkan matanya.
“Kalau niatku jahat, sudah sejak awal aku jahat sama kamu,” jawab Yanan. Yanan merogoh saku bajunya, permen tusuk rasa stroberi ia ambil dari sana.
“Mau?” tanya Yanan.
Meski Shena sangat suka permen, tapi ia menggelengkan kepalanya. Yanan pun membuka permanennya dan memasukkan ke bibirnya. Shena membulatkan matanya melihat tingkah Yanan.
“Kenapa?” tanya Yanan menatap Shena.
“Bukankah kamu memberikannya padaku? Kenapa kamu ambil lagi?” tanya Shena.
“Kamu tidak mau, ya aku makan. Lagian kamu takut aku racuni, kan?”
Shena memalingkan wajahnya, ia curiga kalau Yanan adalah anak buah mbah dukun di samping rumahnya, karena Yanan tahu apa yang dia pikirkan.
“Bu … bukan begitu maksudnya,” elak Shena yang tidak enak hati.
“Nih kalau kamu mau,” kata Yanan kembali merogoh saku bajunya dan memberikan satu permen pada Shena. Shena pun menerimanya dengan canggung. Kalau Yanan terus mendesak ingin mendekatinya, Shena akan coba membuka diri untuk pria itu, entah apa maksud sebenarnya Yanan.
Shena membuka permennya, perempuan itu segera memasukkan ke bibirnya. Rasa manis dirasakan Shena karena stroberi adalah buah yang dia sukai.
Kedua insan anak manusia itu sama-sama tengah terdiam. Shena pun menatap ke arah depan dengan menikmati permennya, begitupun dengan Yanan yang masih memikirkan pemilik anjing yang tadi menyalahkannya.
Yanan menatap tangannya yang tampak memerah, memakai sarung tangan karet di waktu yang lama membuat kulitnya sedikit memerah. Tanpa sengaja Shena menatap tangan Yanan.
“Kenapa?” tanya Shena. Yanan menatap Shena sekilas.
“Habis operasi,” jawab Yanan.
“Kamu operasi?”
“Bukan aku yang operasi, aku yang mengoperasi.”
“Kamu dokter apa?”
“Dokter hewan,” jawab Yanan.
Shena mengangguk-anggukkan kepalanya, “Pantas kamu tahu kalau risetku salah,” ucap Shena tersenyum kikuk.
“Tidak salah, lebih tepatnya kurang pas,” jawab Yanan. Shena mengangguk-anggukkan kepalanya. Di otaknya pun banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Rasa penasaran itu muncul pada Shena, terlebih melihat raut wajah Yanan yang sepertinya sedikit berbeda dari biasanya yang tampak songong.
“Apa operasinya gagal? Tebak Shena yang tepat sasaran.
“Bisa dikatakan begitu, anjingnya meninggal saat operasi. Tadi pemilik anjingnya marah, sebagai dokter tentu saat operasi gagal aku merasa tidak becus dan tidak maksimal dalam menjalankan tugas,” jelas Yanan.
“Tapi seorang dokter itu perantara, bukan pemilik nyawa,” jawab Shena yang sedikit ngegas. Yanan tersenyum kecil.
“Memang kenyataan seperti itu, terkadang ada yang tidak mau mengerti. Anjing itu sudah komplikasi, tidak disarankan untuk operasi. Tapi pemiliknya tetap bersikeras, dan pada akhirnya di tengah operasi, tubuh anjingnya drop,” jelas Yanan lagi. Shena mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mengerti. Padahal gadis itu juga tidak tahu apa-apa.
Shena tidak menyangka pria aneh yang selalu menguntitnya adalah seorang dokter bedah hewan. Sudah pasti Yanan juga orang hebat.
Yanan mengeluarkan hpnya, pria itu membuka aplikasi game onlinenya. Pria itu mulai memainkan gamenya. Di saat suntuk, game selalu berhasil membuat mood Yanan kembali lagi.
Shena menatap hp Yanan, kepalanya bertambah pusing saat melihat game yang dimainkan Yanan. Game balap mobil tapi ada angka-angkanya.
“Game apa itu?” tanya Shena.
“Smart cars,” jawab Yanan yang tangannya dengan lihai memencet ikon di layar hpnya. Karena semakin penasaran, Shena lebih mendekatkan diri pada Yanan. Yanan pun meredanhkan hpnya agar Shena leluasa melihatnya.
“Eh itu ke kiri!” pekik Shena yang mulai heboh. Yanan pun menggeser ikon ke kiri.
“Itu apanya yang bulat-bulat?” tunjuk Shena pada ikon bulat.
“Itu buat nulis jawaban dari kecepatan ini,” jawab Yanan. Yanan juga menjelaskan sedikit garis besarnya pada Shena. Perempuan itu tampak antusias dan melupakan tulisannya. Shena menatap hp Yanan, perempuan itu ikut mengarahkan dan tenggelam dalam asiknya dunia game.
Setiap orang yang lewat pasti akan mengira kalau Yanan dan Shena tengah menjalin asmara, karena mereka duduk di bangku yang tampak remang-remang, sedikit jauh dari lampu taman. Namun kenyataannya tidak begitu, kedua insan anak manusia itu tengah tenggelam dalam asiknya dunia game.
Shena yang awalnya tidak tertarik pun kini menjadi heboh sendiri. Permainan menjadi menegangkan saat Yanan berada di puncak akhir. Apalagi mendengar pekikan Shena membuat Yanan semakin tegang. Yanan gemas sendiri dengan hpnya, hingga kedua orang itu berteriak nyaring saat berhasil memenangkan pertandingan.
“Yeeyyy ….” Pekik Shena dan Yanan. Shena menatap Yanan dengan senyum yang mengembang, begitu pun dengan Yanan yang menatap Shena.
Yanan tidak pernah berteriak nyaring seperti ini sebelumnya, pria itu cenderung hanya mengatakan ‘Yes’ dalam hati saat menang. Namun saat bersama Shena berbeda, ia benar-benar tenggelam dalam dunia gamenya.
Shena yang sadar apa yang tengah ia lakukan pun berdehem sebentar. Ia malu dan kembali canggung menatap Yanan. Ia tidak tahu kenapa bisa tertarik dengan game yang dimainkan Yanan.
“Kamu bisa main ini sendiri?” tanya Yanan.
“Aku belum pernah mencobanya,” jawab Shena.
“Setelah turnamen, aku akan memberikan satu akunku untukmu. Kamu bisa mainkan saat waktu luang,” kata Yanan.
“Ah enggak perlu. Aku akan download sendiri nanti,” jawab Shena.
“Ini tidak bisa didownload di aplikasi playstore. Nanti aku pindahkan ke hp kamu setelah turnamen. Aku ajak kamu ke clubku. Sekarang kita pulang,” ucap Yanan.
“Pulang?” tanya Shena membeo.
“Aku akan mengantarmu,” kata Yanan.
“Ah rumahku dekat. Bisa jalan kaki,” jawab Shena yang segera memunguti tasnya. Perempuan itu beranjak berdiri.
“Aku antar jalan kaki,” kata Yanan yang tetap keukeuh. Shena berpikir sejenak, tapi perempuan itu pun mengiyakan.
Kedua orang asing yang semula setiap bertemu ribut itu pun pada akhirnya berjalan beriringan. Langkah keduanya tampak sama, Shena masih mengenakan jaket Yanan, sedangkan tangan kirinya menenteng jaketnya sendiri. Shena tersenyum kecil sesekali melirik Yanan, sedangkan Yanan menatap fokus ke depan.
Yanan merasa perasaannya sudah lebih baik dari tadi. Shena benar-benar membuat moodnya kembali naik. Yanan mencuri-curi pandang pada Shena yang berjalan di sampingnya. Seumur-umur baru kali ini Yanan berjalan dengan perempuan.
“Itu rumahku,” kata Shena menunjuk rumah sederhana yang bercat ungu.
“Baiklah,” kata Yanan.
Shena berlari ke rumahnya, perempuan itu membalikkan tubuhnya dan melambaikan tangannya pada Yanan. Yanan pun melambaikan tangannya dengan pelan.
“Aku masuk dulu, makasih sudah mengantar,” kata Shena setengah berteriak. Yanan menganggukkan kepalanya sembari masih melambaikan tangannya. Yanan tersenyum kecil saat melihat Shena buru-buru masuk ke rumah dan membanting pintunya. Seolah ia adalah orang jahat yang siap menerkam Shena sekarang juga. Yanan menurunkan tangannya, pria itu kembali ke alun-alun untuk mengambil mobilnya.
Malam ini benar-benar random, tadi ia sempat putus asa karena ada pasien yang meninggal, sekarang ia bisa mengukir senyumnya lagi gara-gara Shena. Bahkan Shena tidak berbuat apa-apa, hanya menemaninya bermain game.
Sedangkan Shena, perempuan itu sampai lupa kalau jaket Yanan masih ia pakai.