“Apa aku harus menyewa pengantin pria?”
“Itu masih lebih baik dibanding kamu menikahi pria b******k itu.” Naka langsung berbalik kemudian berjalan keluar dari apartemen setelah mengatakan kalimat tersebut. Meninggalkan Zahra yang tertegun.
“Naka, please … beri aku kesempatan menjelaskan.” Lalu Renata berlari keluar mencoba mengejar tunangannya.
Zahra meremas-remas kepalan tangannya. Air mata masih menetes. Zahra sempat menoleh ke belakang sebelum melanjutkan ayunan kakinya.
Zahra keluar dari apartemen sambil menghapus air mata yang kembali turun. Dia sudah berusaha untuk tetap tegar, namun nyatanya sakit yang ia rasakan sungguh luar biasa. Selama 23 tahun hidupnya, Wildan adalah satu-satunya pria yang pernah ia cintai. Sangat. Dia sangat mencintai pria yang tiga tahun lebih tua darinya itu.
Zahra mengayun langkah menuju lift. Sesekali wanita itu mengangkat tangan hanya untuk membersihkan air matanya. Begitu masuk ke dalam lift, Zahra melepaskan tangis yang sudah ia tahan-tahan. Tidak ada orang lain di dalam kotak besi tersebut, sehingga ia tidak harus merasa malu. Wanita itu meraung sejadi-jadinya--melepaskan sesak di dalam d*da yang membuatnya sulit bernapas.
Namun, ketika terdengar suara lift berhenti, Zahra mengangkat kepala lalu menghapus air matanya. Menarik napas dalam, wanita itu menghembus keras karbondioksida keluar dari mulut seiring pintu terbuka. Suara isak yang semula terdengar, kini tertelan kembali.
Melangkah keluar, Zahra membelokkan langkah kakinya. Dia akan pulang dan bicara dengan kedua orang tuanya. Malu? Ya … dia akan membuat keluarganya malu karena acara yang akan digelar esok pagi harus gagal. Tapi, dia tidak bisa melanjutkan acara itu tanpa pengantin pria.
Tanpa sadar, Zahra sudah meremas-remas telapak tangannya.
****
“Bagiku, kamu hanya p*****r murahan, Renata. Aku benar-benar jijik padamu. Berhenti mengikuti, Sialan.”
Rena menggelengkan kepala--menolak untuk menyingkir dari depan sang tunangan. “Naka, aku berani bersumpah pria itu tidak ada artinya apa-apa. Dia hanya—” Rena menelan susah payah ludahnya.
“Apa? Hanya apa? Hanya pemuas nafsumu, begitu? Lalu aku harus menerima perempuan yang dengan mudah memberikan k*********a pada sembarangan pria? Kamu pikir di dunia ini tidak ada perempuan lain, selain kamu?”
“Naka.”
“Kamu benar-benar menjijikkan, Ren. Aku tidak sudi berbuhungan dengan perempuan seperti kamu.”
“Naka.” Rena menatap memohon dengan sepasang mata yang sudah tidak lagi kering. Dia tidak mau kehilangan pria yang dia cintai setengah mati. "Aku mohon. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi. Aku berjanji, Naka. Tolong maafkan aku sekali ini."
Naka menoleh ketika mendengar suara ranting terinjak. “Siapa di situ?” tanya pria tersebut seraya memicing ke arah suara terdengar. “Keluar. Jangan menguping pembicaraan orang.”
“Ma-ma-maaf.” Zahra menyembulkan kepala dari balik dinding. Dia tidak sengaja mendengar pertengkaran dua orang itu, lalu kakinya melangkah dengan sendirinya. “Saya permisi. Silahkan dilanjutkan. Anggap saja saya tidak mendengar apapun,” kata Zahra sebelum menarik kembali kepalanya.
Zahra memegangi dadanya sambil menghembus napas melalui mulut yang ia bulatkan. Menurunkan pandangan mata, Zahra menatap kesal ranting kayu kering yang entah bagaimana caranya bisa sampai di situ.
“Zahra! Ra … Zahra! Kamu di mana?”
Zahra tersentak mendengar suara Wildan. Rupanya pria itu sudah selesai memakai pakaiannya. Ketika Zahra meninggalkan Wildan, pria itu hanya menutup bagian bawahnya dengan celana boxer. Oleh karena itu Wildan tidak mengejar.
Zahra menahan langkah kakinya.
“Zahra!” Wildan menghentak keras napasnya. Sialan. Bagaimana Zahra bisa tahu dia sedang bersama perempuan lain di tempat ini? Celaka kalau sampai Zahra memberitahu orang tuanya. Wildan mengacak rambutnya kesal.
Wildan memutar kepala—mencari keberadaan Zahra. Apa Zahra sudah pulang? Cepat sekali. Padahal dia memakai pakaian secepat kilat, lalu berlari mengejar. Tapi, Zahra sudah tidak kelihatan. "Zahra!"
Wildan akhirnya membelokkan langkah lalu berlari ke arah tempatnya memarkir mobil. Dia harus mengejar Zahra. Dia harus menghentikan Zahra sebelum Zahra bicara dengan orang tuanya.
****
Zahra baru berani keluar dari tempat persembunyiannya setelah mengintip dan tidak melihat keberadaan Wildan. Wanita itu menghembus napas panjang. Membuka mulut untuk memasukkan sebanyak mungkin oksigen ketika meresakan dadanya kembali sesak dan kedua matanya panas.
Zahra menganyun gontai langkah kakinya. Kepalanya menunduk. Entah mimpi apa dia sampai melihat dengan mata kepalanya sendiri—pria yang esok pagi akan menjadi suaminya, justru sedang bermain dengan perempuan lain.
Zahra mendesah. Dia tidak membawa apapun. Tidak uang, juga tidak ponsel. Bagaimana caranya pulang? Zahra mengedarkan pandangan matanya. Sudah malam, dan tempat itu sepi. Tidak terlihat taksi yang parkir. Ternyata nasib buruknya belum berakhir.
Zahra akhirnya membelokkan langkah menghampiri kursi semen di dekat taman kecil di halaman gedung sebelah kiri. Dia tidak berani berjalan sendirian keluar untuk mencari taksi. Dia perempuan. Mengaitkan jari-jari tangannya, wanita itu menunduk.
Apa yang akan dia lakukan besok? Benarkah dia tega membuat keluarga malu karena pernikahan itu gagal? Tarikan napas panjang wanita itu lakukan.
Jika hanya memikirkan dirinya, Zahra tidak akan ambil pusing. Setiap hari dia bekerja berangkat pagi, pulang sore. Dia tidak akan mendengar ocehan para tetangga. Tapi, ibunya? Ibunya itu berada di rumah dari pagi hingga pagi lagi. Dia hanya ibu rumah tangga. Dan bapaknya? Bapaknya seorang guru SD yang mengajar pagi pulang siang.
Zahra jadi goyah.
“Kamu belum pulang?”
Terkejut, Zahra mengangkat kepala sambil memegang d*da. “Ya Allah … bikin kaget,” ucap spontan Zahra begitu melihat siapa yang menghampirinya. Bola mata Zahra bergerak ke belakang tubuh pria yang berdiri di depannya. Wanita itu menghembus napas. “Um … tunangan Mas, gimana?”
Zahra mengedip ketika orang yang ditanya hanya mengernyit. “Maaf, bukan berniat ikut campur, hanya penasaran apa Mas bisa memaafkan dia.”
“Kamu ingin tetap melanjutkan pernikahan kalian?” Bukannya menjawab, pria yang berdiri di depan Zahra justru bertanya balik.
Zahra terdiam sambil mengedip.
“Kamu bodoh kalau masih ingin melanjutkan pernikahan dengan laki-laki tukang selingkuh seperti itu. Sudah kukatakan menyewa pengantin pengganti masih lebih baik dibanding melanjutkan pernikahan dengan pria seperti itu. Satu kali berselingkuh, dia akan selingkuh lagi suatu saat nanti.” Naka paling benci penghianatan. Baginya, tidak ada kesempatan kedua untuk sebuah penghianatan.
Zahra menelan saliva susah payah. Kepala wanita itu mengangguk membenarkan. Dia jelas bodoh kalau tetap mau hidup bersama Wildan. Tapi, bagaimana dengan orang tua, juga keluarga besarnya? Apakah mereka akan sanggup menanggung rasa malu?
Zahra membuka mulut untuk memasukkan sebanyak mungkin oksigen ke dalam paru-paru yang terasa menyempit. Bola mata wanita itu masih beradu dengan manik hitam di depannya.
Zahra mengerjap ketika satu ide gila terlintas. “Mas … kalau begitu, apa Mas mau membantu saya?”
“Membantu apa? Mencarikanmu pengantin pengganti?” tanya Naka dengan sepasang mata mengecil.
Sekali lagi Zahra susah payah menelan saliva yang terasa menggumpal dan keras.
“Benar begitu?” tanya Naka dengan lipatan di kening yang sudah bertambah.
Zahra menggelengkan kepala. “Bukan. Um … Mas mau tidak … jadi pengantin pengganti itu? Nikah sama saya besok pagi.”