Meskipun dengan hati hancur, Zahra tetap bertahan di tempatnya. Kedua tangan wanita itu mengepal semakin kuat. Zahra memutar kepala ke samping ketika melihat Wildan bergerak turun dari tubuh perempuan di bawahnya. Napas Zahra semakin memburu. Kedua matanya memerah.
Zahra berusaha keras untuk menahan agar air matanya tidak turun. Berkali-kali mata Zahra mengedip berharap bisa menghalau cairan yang sudah akan melapisi kedua matanya.
Sementara pria yang berdiri di belakang Zahra menekan-nekan katupan rahangnya. Pria itu menurunkan ponsel yang ia gunakan untuk merekam pemandangan di depannya.
Zahra tersentak ketika sebelah tangannya ditarik oleh Wildan. Memutar kepala, wanita itu menarik lepas tangannya, lalu Zahra mendorong d*da polos pria di depannya, hingga langkah kaki Wildan terdorong ke belakang. Bola mata Zahra bergerak. Sekilas dia melihat perempuan yang masih berada di atas ranjang sedang sibuk memakai pakaiannya.
Zahra mengembalikan fokus matanya pada Wildan. Dengan kulit wajah putih yang sudah kemerahan, Zahra mengayun keras telapak tangan kanannya.
‘PLAKK!’
Suara keras tamparan terdengar hingga membuat pria yang masih berdiri di belakang Zahra dan juga perempuan yang masih mengancing kemejanya tersebut menoleh ke asal suara terdengar.
'PLAKKK!'
Kepala Wildan tertoleh ke kanan begitu telapak tangan Zahra mengenai pipi kirinya dengan keras. Sangat keras. Pria itu meringis seraya memegang pipi kirinya.
“Ra ….”
“Berhenti memanggilku, B*jingan. Aku baru tahu ternyata kamu sebajingan ini. Beruntung aku tahu sebelum pernikahan kita.” Suara Zahra terdengar bergetar. Wanita itu mulai kesulitan menahan emosi yang sudah meluap sampai ke ubun-ubun. Pun tidak bisa lagi menahan air mata yang langsung turun.
“Ra, kita akan menikah besok. Aku janji akan tetap menikahimu.”
“Aku tidak sudi kamu nikahi. Nikahi saja perempuan itu.” Zahra melirik ke arah perempuan yang baru saja memakai rok span.
“Ra … kamu tidak mungkin menggagalkan pernikahan kita. Pernikahan kita itu besok, Ra. Besok.” Wildan yang sudah meluruskan kepalanya ke depan, menatap sang calon istri.
Zahra mengusap wajahnya yang basah oleh air mata.
“Naka! Naka … dengarkan aku. Itu tadi bukan apa-apa. Aku tidak pernah mencintai pria lain selain kamu. Naka!”
“Aku jijik sama kamu, Ren. Mulai sekarang pertunangan kita selesai. Tidak ada lagi pertunangan, apalagi pernikahan. Silahkan kamu lakukan apapun yang kamu inginkan.” Setelah mengatakan kalimat itu, pria yang dipanggil Naka tersebut mendorong tubuh perempuan di depannya, kemudian menghampiri Wildan.
Tanpa basa-basi, Naka mengayun kepalan tangan kanannya. 'BUGH! BUGH!'
"Arghh ... sialan, b******k!" umpat keras Wildan yang baru saja terhuyung karena pukulan keras Naka. "Beraninya kamu--"
"Kamu pantas mendapatkannya. Kamu meniduri tunangannya," ujar Zahra menghentikan kalimat yang belum selesai Wildan ucapkan.
Naka menatap marah Wildan, sebelum memutar tubuh berniat untuk meninggalkan tempat itu.
“Naka … tunggu. Jangan begini. Aku bersumpah tidak punya hubungan apapun dengan Wildan. Naka!” Rena menahan tangan pria tampan gagah yang menjadi tunangannya satu tahun terakhir.
Sementara Zahra kembali mendorong tubuh Wildan ketika pria itu menarik langkah mendekatinya. “Jangan mendekatiku. Hubungan kita selesai di sini. Aku tidak sudi menikah dengan pria sepertimu, yang bisa tidur dengan perempuan—”
Wildan menarik sebelah tangan Zahra. Mencengkramnya kuat-kuat.
“Lepaskan aku. Lepaskan, Br*ngsek!”
“Berapa lama kita bersama, Ra? Tujuh tahun. Tujuh tahun dan aku tidak pernah sekalipun selingkuh darimu. Apa kamu tidak berpikir kenapa aku sampai tidur dengan perempuan lain, hah? Itu karena kamu, Zahra!”
“A-a-apa? A-ku?” Zahra kembali mencoba melepas cengkraman tangan Wildan yang sayangnya masih tidak berhasil. “Kamu sudah gila? Kamu yang selingkuh, tidur sama perempuan tidak jelas dan aku yang salah? Karena aku?” Zahra menatap marah pria di depannya.
“Iya! Kamu. Karena kamu, Zahra. Kamu tidak mau mengerti kebutuhanku sebagai laki-laki dewasa. Aku ini laki-laki normal. Aku juga butuh pelepasan. Sementara kamu … kamu sok suci. Kamu tidak mau kusentuh. Tujuh tahun kita pacaran, berapa kali kita berciuman? Hanya ingin mencium saja aku harus izin sama kamu. Tidak setiap kali aku ingin mencium kamu, kamu izinkan. Pacaran macam apa itu, Zahra?” Wildan menghentak keras napasnya.
Setelah sekian lama menyimpan dalam hati, akhirnya sekarang ia ungkapkan. Ia mencintai Zahra. Sangat. Jika tidak, tidak mungkin mereka bertahan pacaran selama 7 tahun lamanya. Sedari mereka berdua masih belia. Hanya saja, Zahra berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang pernah ia pacari sebelumnya. Zahra sulit disentuh.
Dia sudah menahan diri sekian lama. Berusaha keras untuk menahan setiap kali hasrat muncul dan itu menyakitkan untuknya.
Zahra kembali mengusap air mata yang turun membasahi kedua pipinya. Salahnya? Wildan selingkuh karena salahnya? Zahra pikir dia sudah mengenal Wildan dengan baik setelah 7 tahun pacaran. Tapi, ternyata dia sama sekali tidak mengenal Wildan. Baru sekarang matanya terbuka.
Zahra menatap Wildan dengan sorot mata kecewa. “Sekarang aku semakin yakin untuk tidak menikah sama kamu, Mas. Ternyata aku sama sekali tidak mengenal kamu. Selama ini ternyata aku … tertipu.” Air mata kembali turun. “Kita … putus.” Napas Zahra tartarik dan berhembus cepat. “Lepaskan aku.”
“Kamu tidak mungkin menggagalkan pernikahan kita, Ra. Kamu dan keluargamu akan malu, Ra. Aku janji. Aku janji, Zahra. Setelah kita menikah, aku tidak akan bermain dengan perempuan lain. Aku janji. Bukankah setelah menikah aku bisa menyentuhmu?”
Mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Wildan, Zahra merasa … jijik. Perutnya bahkan terasa mual seketika. Zahra menarik keras tangan Wildan hingga akhirnya terlepas. Sambil menggeleng, wanita yang sedang begitu kecewa itu menarik langkah ke belakang.
“Lebih baik kami malu, daripada aku masuk ke perangkap serigala sepertimu.”
“Zahra!” Wildan membentak. Dia sudah menakut-nakuti Zahra, berharap Zahra berubah pikiran, tapi, Zahra lebih memilih menanggung malu dibanding melanjutkan pernikahan dengannya?
“Jangan membentakku! Apa belum cukup Mas menyakitiku? Aku melepaskanmu. Kita benar-benar berakhir. Tidak ada pernikahan. Tidak ada!”
“Kita akan tetap menikah apapun yang terjadi.”
“Apa telingamu tuli? Dia bilang tidak akan menikah denganmu.”
“Jangan ikut campur, Sialan,” marah Wildan saat tunangan Renata bersuara.
“Sudah cukup. Ayo pergi dari sini.”
Zahra tersentak saat tiba-tiba sebelah tangannya ditarik oleh Naka, hingga sepasang kakinya mau tidak mau bergerak mengikuti tarikan tangan itu. Zahra yang masih syok setelah melihat penghianatan calon suaminya itu merasa isi kepalanya kosong.
“Zahra!”
“Naka!”
Naka menoleh ke belakang. “Berhenti mengikuti kami atau akan kusebarkan video tidak senonoh kalian,” ancam Naka sebelum melanjutkan langkah kakinya. Pria itu menghentak keras napasnya.
“Pria seperti itu tidak pantas kamu jadikan suami.”
Zahra mengerjap. Wanita itu menghentikan langkah kakinya seraya menarik tangan lepas dari cekalan Naka. Membuat Naka menoleh lalu menatap Zahra dengan kening mengernyit. Langkah kaki Naka dengan sendirinya berhenti. Dua orang itu berdiri berhadapan.
“Sejak kapan kamu tahu mereka bersama? Kenapa baru sekarang memberitahuku?” tanya Zahra dengan tatapan menghakimi yang membuat sang lawan bicara menekan katupan rahangnya. Karena emosi, Zahra melupakan panggilan ‘Mas’ yang ia gunakan saat bicara dengan Naka.
“Masih beruntung aku memberitahumu sekarang. Kalau tidak, besok kamu hanya akan menikahi pria b*jingan.” Naka menyahut. Dia sudah berbaik hati membuka kedok busuk Wildan, namun Zahra malah terkesan menyalahkan dirinya.
“Seharusnya kamu memberitahuku lebih awal. Bukan sekarang saat pernikahan sudah akan digelar. Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus menyewa pengantin pria?” tanya Zahra dengan air mata mengalir.