Bagian Enam

1284 Kata
"Makasih."       Suaranya lembut namun mengalun dalam nada dingin tak bersahabat. Azilo menoleh ke arah Nabila yang kini melepas seatbeltnya. Gadis itu menoleh sekilas dan tersenyum tipis ke arah Zilo. "Sampai jumpa besok. Lo ga usah nungguin gue pulang, gue udah bilang Bunda kalau hari ini jalan sama Livi." ucapnya masih dengan senyum tipis yang terpatri di wajahnya yang terlihat sendu. Zilo diam saja, ia membiarkan Nabila keluar dari mobilnya. Pagi ini dia kembali menyakiti hati gadis itu, bahkan  sebelum dia resmi menjadi milik nya. Zilo tau ini bukan tindakan seorang lelaki sejati. Dia hanya tidak ingin menimbulkan gosip yang tidak-tidak dengan berangkat bareng dengan Nabila. Gadis itu baru saja putus dari pacarnya yang notabene adalah teman dekat Zilo semasa SMP, dan dia tidak mau di anggap sebagai perusak hubungan orang lain. Namun, beberapa hari ini, Bundanya selalu memaksa untuk mengantar dan menjemput Nabila. Itung-itung pendekatan sebelum mereka menikah dan benar-benar berangkat bersama setiap hari, ujar sang Ibunda. Memikirkan hal itu membuat hati Azilo menghangat. Dia bohong kalau bilang tidak senang dengan calon pengantinnya. Nabila adalah satu-satunya orang yang dapat dia bayangkan menjadi pasangannya kelak. Dia bahkan tidak bisa berpaling pada gadis lain, semenjak gadis itu secara tidak langsung mematahkan hatinya. Zilo masih memerhatikan Nabila yang berjalan pelan ke arah halte bus. Gadis itu menunduk menatapi sepatunya. Ponytail nya bergerak seiring dengan langkah gontainya.  Dia telihat lemah dan Zilo ingin sekali berlari kesana dan memeluknya erat. Beberapa menit berselang, Zilo masih setia di sana. Menunggu hingga Nabila mendapat tumpangan untuk ke sekolah. Dia tidak akan beranjak dari sana, sampai dia yakin Nabila aman sampai sekolah. Dan Nabila tau itu. Nabila mengulum senyumnya saat menangkap bayangan mobil hitam Zilo dari sudut matanya. Setega apapun cowok itu menurunkan nya di sini-seperti hari-hari sebelumnya. Dia pasti akan menunggu sampai Nabila mendapat tumpangan. Dia cukup senang mengetahui bahwa cowok itu tidak terlalu membencinya. Mobil merah mengkilap berhenti di depan Nabila. Dia tersenyum saat jendela itu terbuka dan wajah bete Livi terpampang di sana. "Buruan naik, lo pikir lo kece senyum-senyum?" Nabila meringis mendengar ucapan ketus Livi. Same old, Livi tidak pernah mencoba untuk bermanis-manis pada siapapun. Setahunya. "Iyaaaaaa.." ucap Nabila membuka pintu penumpang dan sebelum dia masuk ke dalam mobil Livi dia melirik ke arah mobil Zilo yang masih setia di sana. Nabila tersenyum dan melambai pelan, lalu masuk ke dalam mobil Livi. "Kenapa ga minta jemput dari rumah aja sih? Dari pada lo nunggu di sana kayak anak hilang!"ucap Livi. Suara merdu Adam Levine mengalun pelan mengisi atmosfir dalam mobil nya. Livi terlihat lebih santai dari pada kemaren pagi saat dia juga menjemput Nabila di sana. "Lagi kepengen jalan aja," jawab Nabila. Kebetulan halte tempat Zilo menurunkannya memang tidak terlalu jauh dari rumah. "Lo jangan boong sama gue Bil!" Nabila seketika menoleh, "Maksud lo?" "Lo ga mau cerita sama gue tentang lo dan cowo di dalam mobil hitam tadi?" Livi meliriknya sekilas lalu kembali fokus ke kemudi. "Gue ga ngerti maksud lo apa!" Nabila mengelak, dia menjauhkan pandangannya dari Livi. Livi hanya mengangkat bahunya acuh dan tidak lagi mencoba untuk membuat Nabila bicara.  Dia tahu Nabila pasti akan menceritakan apapun itu yanh di sembunyikannya beberapa hari ini. Yang pasti, bukan sekarang waktunya. *** "Kamu cantik banget!" Teriakan sumringah itu menarik Nabila dari kenangan beberapa hari yang lalu. Dia mendapati sahabatnya berdiri di ambang pintu,  tersenyum ironi ke arah Nabila yang tengah duduk di depan meja riasnya. Menunggu detik dimana dia akan menjadi seorang istri di usianya yang masih begitu muda. "Heii."ucapnya serak. Nabila mengulurkan tangannya ke arah Kelly yang masih terkagum-kagum melihatnya. "Makasih udah datang, gue pikir kalian-" "Stop, aku ga mau denger lagi kamu minta maaf. You'll screw my make up!" Kelly mengibaskan tangannya saat matanya kembali memanas dan berair. Nabila tertawa dan pandangannya bertubruk dengan Livi. Livi tersenyum kecut ke arah Nabila. Dia masih tidak mengerti mengapa sahabat bodohnya itu bisa menyimpan semua ini sendirian? Kenapa dia baru mengatakannya disaat tidak ada lagi waktu untuk menolong? "Hey, married girL!" Sindir Livi, Nabila meringis ternyata sahabatnya ini masih marah. Nabila menundukkan kepalanya saat Livi mendekat. Tanpa dia sangka, sahabat nya itu memeluknya erat dan terisak di relung lehernya. "Maafin gue.." bisik Livi. Nabila terenyuh mendengar itu, betapa beruntung dia mempunyai sahabat seperti mereka. Tangannya terangkat megelus punggung Livi. "Gue juga," ucapnya serak, berusaha untuk menahan agar tangisnya tidak pecah. Gendis dan Raju tidak terlihat dimanapun. Namun saat pintu di sisi kirinya terbuka dan wajah lega Bang Kevan muncul di sana, saat itulah Nabila melihat sosok Raju dan Gendis yang juga tak kalah leganya. "Ayo, Zilo udah selesai ijab qabulnya!"ucap Bang Kevan tersenyum lembut ke arah Nabila.  "Selamat ya dek..you are a wife now.." Nabila ingin mati saat itu juga. *** Zilo tidak bisa melepaskan pandangannya dari Nabila semenjak gadis itu melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu. Jantungnya berdegup aneh, kencang dan tak terkendali. Apalagi saat gadis itu duduk di sampingnya, meraih tangan gemetarnya dan menciumnya dengan khidmat. Zilo merasa semua darah di pompa ke arah wajahnya sehingga wajahnya memanas.  Nabila melepaskan ciumannya dari tangan Zilo dan tersenyum lembut kearahnya. Pipi gadis itu merona dan dia terlihat malu-malu menatap Zilo. Saat Nabila hendak mengalihkan pandangannya ke arah Ayah, Zilo terlebih dulu menarik wajahnya dan mendaratkan ciuman hangat di dahinya. Dia menikmati rasa damai yang melingkupi hatinya dengan menekankan bibirnya dalam-dalam ke kening istrinya. Please, learn to loving me. *** Zilo kembali melirik Nabila di sampingnya. Kelopak mata gadis itu sebentar-sebentaR terbuka dan tertutup. Dia menyandar ke dinding lift di belakangnya sementara pinggangnya di tahan oleh Zilo, agar tubuhnya tetap berdiri tegak. Lift berdenting membuka. Zilo mengelus pinggang Nabila membuatnya tersadar dan menatap horor tangan Zilo di pinggangnya. Belum sempat dia protes, Zilo lebih dulu menariknya keluar dari lift. "Gue ga ngambil resiko lo yang nyungsep karena jalan sambil merem, makanya gue pegangin." ucapnya setengah geli. Nabila mendengus, namun tersenyum juga. Mereka menyusuri lorong apartement mewah itu dan berhenti di sebuah pintu kayu mahoni. Zilo mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menggesekkan ke lubang kunci.  Sepersekian detik pintu itu terbuka dan suasana apartement yang nyaman segera menyambut mereka. Dia tersenyum. Apartement ini adalah sejarah bagi kedua orang tuanya. Tempat dimana kedua orang tuanya bersatu.  Lalu Gio dan Anna menghadiahkan apartement ini sebagai hadiah pernikahan untuk Zilo dan Nabila. Dengan harapan, kisah bahagia mereka akan menular kepada Zilo dan Nabila. "Lo masih kuat jalan?" tanya Zilo, melirik Nabila yang masih terpejam di sebelahnya. Nasib baik, gadis itu sudah mengganti bajunya tadi di rumah Bunda, sekarang dia hanya memakai dress peach setengah paha, yang membuat kulit merona Nabila berkilauan. "Of course!" Nabila menjauhkan tubuhnya dari Zilo. Dengan gerakan aneh dia berjalan ke arah kamarnya sedangkan Zilo mengikutinya dari belakang, dengan senyum terkulum. "Ouch!" Nabila meringis saat kepalanya menabrak pintu. Zilo segera berlari ke arahnya. Tertawa kecil saat melihat Nabila yang cemberut. "Sakit?"tanya Zilo, jari panjangnya mengelus jidat Nabila yang memerah. Dia tahu bagaimana cara mengurangi sakit, karena sering mengalaminya. Dengan gerakan pelan Zilo mendekatkan mulutnya dan meniupi jidat Nabila.  Hal yang selama ini di lakukan oleh Bunda kepadanya. Nabila diam saja. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk mengelak. Resepsi pernikahan kecil-kecilan yang berakhir dengan tamu yang membludak itu membuat jiwa dan raganya penat bukan main. Setiap sendi tulangnya menjerit meminta untuk di istirahatkan. "Udah baikan ?" Tanya Zilo lagi. Kini manik hitam legam itu begitu dekat dengan Nabila. Tersenyum lemah Nabila mengangguk dan membiarkan Zilo membopong tubuhnya ke kamar--mereka. Cowok itu dengan telaten menidurkan Nabila di ranjang mereka. Meyelimutinya dan ikut berbaring di sampingnya. Masih dengan kemeja dan celana bahan kain yang melekat di tubuhnya.  Zilo tidak masalah dengan bau tubuh mereka yang tidak mandi. Dia hanya berbaring di sana menatap Nabila yang terlebih dahulu terbang ke alam mimpi. Tangan Zilo terulur mengusap kening Nabila kembali.  Laku dia tersenyum lebar. My wife...    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN