Bagian Empat

2424 Kata
Zilo berjalan santai di sebelah Nabila yang senyum-senyum tidak jelas seperti baru saja mendapat jackpot. Sekarang Zilo sudah berganti ke seragam sekolahnya, rambutnya acak dan basah oleh keringat. Zilo memang memutuskan untuk langsung ke sini sepulang ujian tadi. Dia iritasi dengan apa yang Bunda dan Ayahnya ributkan semalaman. Perjodohan, balas budi and all of that stuf,f yang dia tidak mengerti apa maksudnya. "Itu adik lo bukan?" Nabila segera mendongak melihat seorang bocah yang duduk menyandar di dinding.  Bocah itu cemberut, bete mampus. Dia persis seperti anak yang di buang di jalanan. Tiba-tiba Nabila terkikik dengan pikirannya sendiri. Kalau dirumah dia pasti bakalan ketawa dan ngakak gila melihat Radit kaya begini, namun demi mencegah mulut Radit yang akan mempermalukannya di depan Zilo, Nabila segera berlari alay dengan wajah menyesal mode On. "Aduuuh maafin kakak yaaaa..." Nabila memeluk Radit sekilas, mencakup pipinya dengan gemas." kamu udah lama ya nunggu." Radit melongo. Dia menatap Nabila ngeri. "Kak Nabila pasti minum obat penenang lagi kan?" Asdthjlandjlwk. Radit rese! Nabila dapat mendengar deheman geli Zilo di belakang nya. Dia langsung melebarkan matanya, menatap Radit dengan tatapan k*****t-setan-berandal-ada-cowok-cakep-nih! Radit mengintip ke belakang Nabila, dan dia melihat Zilo yang tersenyum kelewat manis ke arahnya. Radit mendengus. "Oh, ada cowok cakep pantesan lupa diri!" Jleb. Radit you re so dead! "Bocah banyak omong dah! Gue tinggal nih!" Nabila memandang Radit sengit. Persetan dengan malu. Si Radit mesti di garap di sini. "Bang, Kak Nabila kalau ketemu cowok cakep nanti suka ngigau kayak orang kena ayan gitu-"teriak Radit, dia segera berlari ketika Nabila mencopot sepatunya. "Radit gue bilangin bunda ya lo rese!" "Weeeeekkk!" Nabila memerah saat mendengar tawa Zilo di belakang nya. Dia tidak berani berbalik, dia pasti memalukan sekali saat ini.  Radit rese! Awas lo ya! "Kalian lucu banget!" Ucap Zilo terhibur. Adu duuu.. harga diri gueeee. Mau di kemanain muka gue nan cantik ini? "I'll take that as a compliment!" Nabila iritasi. "It is!" Zilo masih saja tertawa. Nabila menatapnya jengah. "Sorry sorry.. gue ga ingat kapan terkahir kali ketawa kek begini!" ucapnya berusaha mengendalikan tawanya. "Ya ya ya.." Nabila memutar bola matanya malas. "Gue balik dulu ya. Thanks buat hari ini!" Zilo tersenyum, tawanya mereda namun pipinya memerah sampai ketelinga, ekspresi geli masih terpampang di wajahnya.  "Yah, gue juga. Bye, Bil!" "Bye!" Nabila tersenyum "Bye!" Zilo tersenyum balik, dia berjalan mundur. "Bye!" "Okay stop it now!" Zilo tertawa, dan Nabila terkikik bodoh. "Okay, Bye!" Dengan itu dia berbalik dan meninggalkan Zilo yang menatap punggungnya dengan senyum lebar. Ternyata benih cinta itu masih tersimpan baik di hatinya. Akankah Zilo melepaskan kesempatan itu lagi? Atau kali ini dia mengambilnya? * Saat Nabila memakirkan mobilnya di garasi, hari menunjukan pukul setengah enam sore. Nabila masih tersenyum bodoh mengingat kejadian hari ini dengan cowok manis itu.  Kenapa Nabila ga pernah liat Zilo di sekolah ya? Dia emang tau tentang kepopuleran Zilo di sekolah, tapi tidak pernah berniat untuk mencari tau lebih dalam. Garal sudah membutakan nya, membuatnya tidak bisa berpaling pada siapapun. Ngomong-ngomong tentang Garal. Nabila jadi kangen sama jerapahnya itu.  Tidak ada satupun sms ataupun Missed Call darinya sedari tadi. Nabila tiba-tiba galau. Fuuuuuh. Radit terlebih dahulu masuk ke dalam rumah.  Membuka sepatunya di sepanjang jalan menuju kamar, semua barang nya berserakan di lantai. Dasar jin iprit! Belum sempat Nabila marah-marah, sosok yang begitu di rindunya bediri di ujung tangga tersenyum bocah dengan jari berbentuk V teracung. "Ibu RT ga boleh marah-marah!" ucap cowok itu sambil nyengir, dia mulai memunguti barang-barang Radit satu per satu. "Bang Ke?" Nabila bergumam tak percaya. Sedetik setelahnya di berlari berhamburan ke arah cowok itu. "BANG KE!! BANG KEEE YA AMPUN KANGENNNN!" Kevan mendengus namun tetap memeluk adiknya balik. Adik kesayangannya, adik yang sangat dia cintai. "Ga enak banget dek, masa Abang di panggil Bangke?" gerutu Kevan. Nabila mempererat pelukannya. "Biarin sih!" ucapnya setengah terisak. Kevan merangkum wajahnya. "Bu RT nangis, idih!" goda Kevan mengulum senyum. "Abang jahat ih, pulang ga bilang-bilang. Padahal semalem kita masih skype-an. Jahaaat!" "Abang pulang sebentar, hari senin balik lagi jemput barang. Kamu kan mau-" Kevan menggelengkan kepalanya, hampir aja!! "Mau apa?" Nabila menatap Kevan penasaran. Mampus! "Mmm, mau ikut Abang kan ke Melbourne?" Seketika mata Nabila berbinar, dia mengangguk semangat sambil memeluk Kevan erat. Kevan Pribaldi Anggara tersenyum manis. Di umurnya yang ke dua puluh enam tahun ini dia baru saja menamatkan kuliah S2 nya di Melbourne, Australia. Menjadi anak tertua dengan dua adik berandal seperti Nabila dan Radit bukanlah hal yang mudah bagi Kevan.  Ada kalanya dia stress melihat kelakuan keduanya dan terfikir untuk gantung diri di pohon toge. Kevan lelah, huuft. "Kak Moudy ga langsung di ajak pulang Bang?" tanya Nabila saat mereka duduk di sofa, berdua. Nabila masih betah dengan seragam sekolahnya yang penuh keringat, menempel ke badan Kevan yang sudah harum semerbak. Wajah Kevan langsung memerah mengingat nama itu. Belum dua hari berpisah namun dia sudah merindu kepada gadisnya, apalagi Nabila begitu mengingatkannya dengan Moudy. Watak mereka sebelas-duabelas. Kadang saat dia merindukan Nabila, dia akan berlama-lama memandang Moudy yang mengoceh ke arahnya. Ahh, dia rindu dengan istrinya itu. "Ngga, dia nyusul Dek. Katanya masih ada urusan di kampus. Dia titip salam buat kamu." Kevan tersenyum malu. "Ciyyeeeee. Sampe merah segala." Nabila menggoda Kevan. "Ahaha, Abang kayak orang masih pacaran aja, padahal udah nikah gitu!" Kevan terkekeh. "You know I love her so much!" Nabila tersenyum. "I know!" Tiba-tiba Bunda berjalan tergesa-gesa ke arah mereka.  "Kenapa  masih malas-malasan aja?" Tanya Bunda. "Bil, kamu mandi, shalat abis itu ganti baju. Kita makan di luar sama teman Bunda!" "Aku mau di rumah aja sama Bang Kevan!" Ucap Nabila masih belum bergerak dari pelukan abangnya. "Dont try this with me Bil, not this time!" Bunda berjalan memungut barang Radit yang teronggok dilantai. "Tapi aku ga mau ikut Bun!"Nabila bersikeras. Dia bangkit dari duduknya dan menatap bunda heran. Kenapa bunda begini amat? "Kamu harus ikut!" tekan Bunda. Bunda terlihat tertekan, ini unuk pertama kalinya dia mendengar bunda menaikkan suaranya. Nabila jadi aneh dengan sikap bunda seharian ini. "Bunda kenapa sih?" teriak Nabila, suranya tercekat. Kevan memegang bahunya menenangkan. "Bun.." tegur Kevan lembut. Bunda menoleh dan menghela nafas pasrah, dia berjalan dari ruang tamu dan masuk ke dalam kamarnya. "Bunda kenapa sih Bang?" Nabila cemberut bete. "Mungkin banyak pikiran, sekarang kamu ikutin aja apa kata Bunda, lagian Abang juga ikut kok." Nabila cemberut tapi tetap menurut. "Bener ya?" Kevan tersenyum. "Iyaaaa. Gih!" Dengan senyum lebar Nabila berlari ke kamarnya. Membersihkan badannya sambil bersenandung pelan. Suara bunda terdengar dari ruang tidurnya namun Nabila tidak begitu menangkap apa yang di katakan bunda. Keluar dari kamar mandi, Nabila mengernyit melihat dress biru selutut dia atas ranjangnya. Perasaan dia ga punya dress kayak begini deh! Nabila mengendikkan bahunya dan memilih untuk menarik jeans hitam dan kaus putih dari lemarinya. Baju terbaik sepanjang abad. Sejak kapan dia mau pake dress? Pake rok ke sekolah aja, syukur! Setelah shalat maghrib dan menyapukan bedak tabur tipis di wajahnya, Nabila keluar dari kamarnya.  Namun saat dia membuka pintu, bunda berdiri tepat di depan pintu kamarnya, sehingga Nabila menabrak bunda. "Awh, maaf Bun, remnya blong." ucapnya sambil terkekeh. Nabila tersenyum menatap bunda yang masih terlihat kalut. "Kamu pake baju apa?" tanya bunda meneliti penampilan Nabila. Nabila melihat penampilannya. Ga ada yang salah, biasanya bunda selow aja dia pakai baju ini, malah bunda sering banget beliin dia t-shirt dan jeans daripada dress. "Ngg-" "Kenapa ga pake dress yang Bunda pilihin?" Bunda terlihat marah. "Biasanya aku pake baju ini Bunda juga ga masalah." ucap Nabila heran. "Ngga sekarang, tukar!" perintah bunda. Nabila meradang, Enough! Sudah cukup tekanan yang bunda berikan hari ini. "Bunda kenapa sih? Dari tadi marah-marah? Aku ga mau makai dress itu, Bunda ga bisa ngatur hidup Nabila kayak gini!!" "Bunda bisa dan Bunda akan! Sekarang ganti baju kamu!” Kali ini bunda sedikit berteriak. "Bunda egois!" teriak Nabila. Air mata yang meluruh di pipinya membuat bunda tersentak. Bunda menatap Nabila penuh penyesalan. Semua ini begitu menekan bunda. Dia tidak sanggup melepaskan Nabila, tidak di umurnya yang masih begitu muda. Nabila masih harus sekolah, kuliah dan menikmati masa remajanya. Bunda tidak bisa membayangkan hal ini terjadi pada putri satu-satunya. Semua itu membuat Bunda stress. "Bill.."bunda mencoba meraih Nabila, namun Nabila menolak. Dia masuk ke kamarnya, menutup pintu dengan kasar. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia membentak bunda. "Bill.. Abang masuk ya!!" Suara berat itu menyentak Nabila yang tengah melamun di balkon kamarnya. Dalam hitungan detik, Kevan muncul dan tersenyum lembut ke arahnya. "Bu RT.. duduk di atap itu bahaya!" Kevan mencoba melucu. Nabila mendengus. "Berhenti memanggilku Bu RT!" sewotnya. Kevan menghela nafas lalu ikut bergabung dengan Nabila. Dia menoleh melihat adiknya yang cemberut, jejak air mata membekas di pipinya. Dia tahu dengan pasti, Nabila adalah pribadi yang jarang menangis. Dia lebih memilih untuk diam, hanya pada saat tertentu dia akan menangis. "Kamu tahu, waktu Abang nikah sama Moudy.., Bunda persis kayak begini. Dia kalut, marah-marah, nyalahin semua orang. Karena dia pikir abang terlalu muda untuk menikah dan dia takut kehilangan Putra nya. Padahal abang udah 24 tahun, dan Moudy, dia udah kenal Moudy seumur hidupnya. Bunda hanya mencemaskan semuanya Bil, dia tidak sanggup kehilangan anaknya lagi." Kevan membuka percakapan. "Itu ga ada hubungannya sama aku. Nabila kan ga nikah Bang!" jerit Nabila. Saat tidak mendengar respon dari Kevan dia merasa ada yang salah. Nabila menoleh dan mendapati Kevan yang menatapnya dengan tatapan yang sulit di jabarkan. "Maksud abang? Tunggu.. aku ga ngerti!" Nabila merasa heran, apa hubungannya pernikahan Kevan dengan dia? Dia tidak akan menikah.. kecuali.. WHAT? "Kamu ikut abang dulu. Bunda dan Ayah akan jelasin semuanya. Ok?" Ucap Kevan. Nabila menggeleng. "No, Abang jelasin sekarang!" Kevan menatapnya penuh peringatan. Dia mencengkeram bahu Nabila lembut. "Listen to me lil sis! Believe me!! Abang juga baru tahu hal ini, yang harus kamu percaya adalah ini semua untuk kebaikan kamu dan kita semua!" Hanya itu penjelasan yang di terima oleh Nabila sebelum Kevan menggiringnya menjauh dari balkon. Kevan memperbaiki bedaknya dan meminta Nabila dengan lembut untuk menukar dressnya, yang ajaibnya di patuhi oleh Nabila. Lalu, apa yang terjadi setelahnya membuat Nabila kehilangan pijakan nya. Saat dia melihat sepasang mata tajam yang menenangkan itu menatapnya terkejut. Lalu tatapan itu berubah, perlahan menjadi sebuah kemarahan dan kebencian saat Nabila tidak melawan apapun yang menyangkut dengan masa mereka. She is lost. *   Zilo begerak gelisah di tempatnya. Sudah tiga puluh menit berlalu namun orang yang di sebutkan oleh kedua orang tuanya belum juga menampakkan diri. Dia sudah mulai bosan, dan gerah. Belum lagi debar aneh di jantungnya. Jari panjangnya menyentuh jidatnya yang masih agak nyeri. Oh yeah.. tadi saat masuk ke dalam restaurant dia menabrak pintu yang tiba-tiba menutup.  Dia tidak tahu, harus bangga atau tidak karena begitu menyalin sifat Ayahnya. Gio menatapnya sambil meringis. "Masih sakit?" tanyanya prihatin. "Dikit.." Zilo cemberut saat mendengar tawa Gina yang kembali meledak. "Biasa aja sih!" ujarnya sewot. Zilo masih fokus mendengar ocehan Ayahnya dan Gina saat suara terkesiap dan desahan lega sang Ibunda terdengar di telinganya. Dia langsung mengalihkan pandangan nya. Tidak berani menatap seorang gadis di sana yang, eerrr--akan menjadi istrinya kelak. Ayah, Bunda dan Gina segera berdiri menyambut tamu mereka. "Maaf ya Na.. kami telat. Tadi Radit bawel!" Laila memeluk Anna sekilas. "Loh kok aku Bun?" Protes Radit Suara tawa segera memenuhi ruangan kusus yang mereka pesan itu. Zilo masih belum mengangkat pandangannya dari makanan di depannya, sampai suara bunda menyadarkannya. Menyuruhnya untuk memberi salam kepada calon keluarga barunya. Zilo menghela nafas. Ucapan Nabila terngiang-ngiang di telinga nya. Setidaknya dia harus mencoba! Ya! Dengan senyum manis, Zilo mengangkat pandangannya. Tepat ketika itu manik hitam legamnya menumbuk manik coklat Nabila. Zilo melebarkan matanya, mencoba melihat kesekelilingnya. Mencari gadis sebayanya, selain Nabila. Namun dia tidak menemukan. Dia pasti sedang berhalusinasi. "Zil, ini teman Bunda yang bunda bilang sama kamu. Yang ini Radit.." Zilo tidak lagi mendengar ocehan Bunda. Dia terpaku menatap Nabila yang juga fokus menatapnya. Jangan bilang kalau Nabila... "Yang cantik ini.. Namanya Nabila,  dia satu sekolah sama kamu.. kalian udah pernah ketemu?"kali ini suara Bunda hanya terdengar seperti dengung di telinga Zilo. "Y-ya!" jawab Zilo. Matanya masih terfokus pada Nabila. Selama makan malam berlangsung dan pembicaraan yang membuatnya mual terjadi, Nabila hanya banyak diam.  Sementara tatapan Zilo tetap menghakiminya. Awalnya tatapan itu masih sama seperti biasanya. Namun saat semua orang di meja menanyakan kesediaannya atas rencana ini dan Nabila hanya diam. Tatapan itu berubah. Dia kehilangan pegangan. Nabila ingin hilang saat itu juga. * The story behind the engaggment. "Walaupun aku tidak bisa bersama mu, cucu kita mungkin bisa bersama Saras, dan kita akan tetap menjadi keluarga!" suara itu penuh dengan humor. Saras tergelak, namun menanggapi dengan serius. "Aku tidak keberatan. Kau tau anak ke dua Gio seumuran dengan cucumu. Dan ku rasa Gina juga seumuran dengan Kevan kan?" Dia melirik Laila dan Chandra yang menggendong Nabila yang tengah mengisap dotnya. Rudi tertawa, tidak menyangka guyonan nya akan di tanggapi dengan serius oleh mantan kekasihnya saat muda dulu, sekaligus penyelamat hidupnya. Cinta sejatinya yang tidak pernah bersatu. "Kau, dasar tua bangka! Kau benar-benar ingin menjodohkan mereka?" Suara Rudi penuh dengan ketakjuban. "Setidaknya itu bisa membuatku tenang saat aku mati nanti Pak tua. Mengetahui bahwa aku dan kau masih bisa menjadi satu keluarga. Walaupun bukan kita yang bersatu!" Saras tersenyum penuh ironi. Pernah dengar tentang "first love never dies ?' Sepertinya itu yang terjadi pada mereka saat ini. Bahkan di saat Rudi tengah terbaring di ranjang rumah sakit dan nafasnya yang sudah terputus-putus. Chemistry itu masih terlihat jelas diantara mereka. Rudi sedikit meringis saat merasa oksigen semakin menipis di ruangan ini. "Kau masih keras kepala seperti dulu. Aku tidak bisa menyalahkanmu.." "Oh, kau memang tidak!" potong Saras."Sekarang,  apa keputusannya?" desaknya saat melihat pria yang sebenarnya masih dia cintai dengan setulus hati itu semakin sulit bernafas. "Kita bisa menjodohkan mereka kalau kau mau." Rudi melirik anaknya yang menatapnya sendu. Laila mengeleng, tidak setuju dengan ide ayahnya, dia tidak mungkin mau mengatur hidup anak-anaknya seperti ini. Namun tampaknya Rudi berfikiran lain. "Nikahkan mereka saat kau merasa kau sudah tidak sanggup bernafas lagi. Namun setidaknya tunggu lah sampai mereka berumur delapan belas tahun. Aku tidak mau cucuku menderita karena cucu mu yang ku yakini tidak ada bedanya dengan mu!" ucap Rudi. Saras mendengus. "Lanjutkan saja Pak tua, waktumu tidak banyak!" suaranya terdengar datar, namun air mata sudah mengalir di pipinya. Inikah terkahir kali dia menatap wajah keriput yang dulunya begitu mempesonanya itu? Ah tidak hanya dulu, namun sekarangpun masih. "Semuanya aku serahkan padamu, Saras." Dengan itu Rudi menutup matanya. Semua nya panik, namun Rudi terkekeh. "Aku hanya ingin tidur sebentar,"ucapnya. Ternyata sebentar yang di maksudkan Rudi adalah selama-lamanya. Meninggalkan Saras. Dan takdir aneh yang jatuh pada Nabila dan Zilo yang tidak tau apa-apa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN