Bagian Tiga

1889 Kata
Mobil VW Comby Nabila memasuki pelataran parkir sebuah bangunan putih dengan banyak jendela di sisinya. Bangunan itu terdiri atas dua bagian, bangunan bercat pink lebih kecil dibandingkan dengan yang bercat putih. Salah satu bangunan memiliki embel-embel besar di depannya ‘Sound Balerina’ tertulis indah dengan gambar seorang balerina yang sedang melakukan three loop sebagai background-nya. Tepat di depan bangunan itu, terdapat sebuah bangunan lainnya dengan nama tercetak besar pada sebuah papan. 'YKS-Young Karate School'. "Here we go!" gumam Nabila malas. Dia paling malas kalau menjemput Radit ke tempat lesnya. Gedungnya terlalu luas dan terlalu banyak ruangan. Harusnya Radit di les-kan di Sound Balerina saja, gedungnya lebih kecil dan Nabila cukup hafal seluk beluknya karena pernah les beberapa kali di sana. That was terrible time, Ballet is suck! "Hallo, Bun... Ruangan Radit yang mana sih? Aku udah keliling dua kali ga nemu-nemu." gerutu Nabila. Bunda terdengar sangat sibuk di seberang sana terbukti dengan suara kertas yang beberapa kali di bolak-balik. Nabila menyusuri lorong di lantai dua, mengintip ke setiap ruangan melalu jendela kaca lebar yang memenuhi hampir seluruh dinding. Ruangan itu terdiri atas ring, matras dan tribun penonton. Tepat saat Bunda mengatakan nomor ruangan Radit, mata Nabila menangkap pemandangan yang membuatnya meleleh seketika. Itu adalah senyuman dan tawa terindah yang pernah dia lihat. Mata tajam itu menyipit membentuk bulan sabit, bibirnya melengkung dan lesung pipi timbul di sudut bibirnya. Gigi kelincinya membuat tawa itu terlihat bocah namun suara yang keluar di sana serak dan berat. Madu. Benar-benar madu. Nabila langsung menyandar ke dinding. Oh astaga, dia hampir aja mimisan liat senyuman ajaib itu. "Bill,kamu denger Bunda kan? Bunda harus meriksa ini dulu, kamu udah tau kan di mana ruangannya?" Akhirnya suara Bundalah yang mengejutkan Nabila dari efek yang terimanya. Dia mengerjap dan meraba dadanya yang dangdutan. "Yeah, I guess so." ucapnya hilang akal, lalu sedetik kemudian Nabila tersentak. "Ya, Bun.. Ya!" "Okay, Bunda balik kerja dulu. Hati-hati Bill." "Okay, Bun. Assalamualaikum. " "Waalaikumsalam." Nabila segera memasukkan ponselnya ke saku dan kembali mengintip melalui jendela. Cowok tampan itu masih tertawa dengan anak-anak kecil di sekitarnya. Bocah-bocah lucu itu saring menendang satu-sama lain, namun tidak ada diantaranya yang mengenai sasaran. Mereka hanya saling menendang angin dan melompat-lompat ke sana kemari. Cowok madu itu berada diantara keduanya. Tertawa geli dengan kedua bocah yang berada di ring karate itu. "Kanan, Jose!" Instruksi cowok itu. Saat bocah yang di panggil Jose itu tidak mengerti arahannya,  Cowok itu memperagakan gerakan yang pas. "Good, sekarang lompat lalu tendang dengan kaki kiri." instruksinya lagi kepada bocah yang satu lagi. Bocah-bocah itu terlihat patuh kepadanya. Ada sekitar sepuluh sampai lima belas anak berumur lima dan enam tahun di sana. Dua di antaranya sedang berada di tengah lingkaran, memperagakan beberapa gerakan karate dan menyerang satu sama lain. "HAHAH, Bukan di dorong Jeff, tendang. Seperti ini!" perintah cowok itu lagi. Nabila menahan nafasnya. One of the most cutest things in the world, boys who are good with kids. Saat Nabila kembali mengintip ke dalam, cowok tampan itu tidak lagi di sana. Nabila berjinjit, mencoba melihat lebih jelas. "Nyariin siapa sih?" Tanya seseorang di sebelahnya. Nabila tidak menoleh namun tetap menjawab. "Itu nyariin cowok cakep yang tadi ngajar karate di sini!" Cowok itu tersenyum geli. "Cakep banget yah?" "Hmm." Nabila mengangguk, masih tidak sadar. "Kira-kira dia secakep gue ga ya?" tanya cowok itu. Nabila menoleh meneliti wajah cowok itu serius lalu mengangguk. "Iya! secakep elo." Ucapnya. Dan dia kembali mengintip ke arah jendela. "HEH?" Belum sepenuhnya kepalanya pas diposisi untuk mengintip ke dalam ruangan, Nabila tersadar. Dia segera menoleh ke arah cowok itu dengan tatapan horor. Zilo tertawa. Tidak sanggup melihat tatapan bloon plus kaget Nabila di depannya.  Kocak banget, sampai-sampai matanya berair dan perutnya sakit karena tawanya yang terlalu kencang. "Udah ketemu belum, cowok cakepnya?" goda Zilo saat Nabila masih menganga menatapnya dengan muka yang merah padam. "Ternyata lebih cakepan dari dekat." ucap Nabila tanpa sadar. Membuat Zilo tertawa lagi saat Nabila menggeleng kuat. "Ih rese!" Nabila cemberut melihat Zilo yang masih ngakak. "Lo lucu banget!" Zilo masih tertawa, sesekali menunduk saat perutnya terasa sakit. "Makasih." ucapnya pura-pura tersinggung. Zilo sekarang sudah berhenti tertawa. Dia menatap Nabila masih dengan senyum geli, namun tawanya sudah reda. "Lo ngapain di sini?" tanya Zilo. Wajah Nabila terlihat ogah saat menjawab. "Jemput berandal." Zilo tertawa lagi." Adik lo?" "Gitu deh!" jawabnya singkat. Suasana canggung tiba-tiba melingkupi Zilo. Nabila kelihatannya sdan tak ingin banyak omong. "Nngg, lo mau masuk?" Zilo menawarkan. Diliriknya gadis itu dengan hati-hati. Nabila segera menoleh dengan mata yang berbinar-binar. "Boleh?" "Bolehlah! Yuk!" Nabila mengikuti Zilo yang terlebih dahulu masuk ke dalam ruangan itu. Tadi saat dia mengintip dari jendela, dia tidak melihat kalau di sisi tribun banyak wanita paruh baya sedang duduk di sana. Mungkin orang tua dari bocah-bocah unyu ini. "Lo ngajar di sini?" tanya Nabila tidak percaya. Dan dia sempat hilang akal melihat senyum malu Zilo. Cowok itu menggaruk tengkuknya dan menggigit bibir bawahnya tanpa sadar. "Iya, sampingan. Setelah gue lulus dari sini, gue di minta ngajar di sini." Ucapnya malu. Nabila takjub. "Keren banget!" serunya. Zilo semakin malu, wajahnya memerah sampai telinga. "Mm. Lo duduk di sana aja, gue ngajar dulu. Tadi lo bilang adek lo umur berapa?" Zilo mulai merasa canggung lagi. Astaga, kenapa dengan dia dan kecanggungan yang tidak pernah di rasakannya sebelum ini? "Sepuluh tahun!" ucap Nabila dengan senyum aneh. "Oh, dia di lantai bawah. Nanti gue anterin!" Zilo tersenyum lalu berjalan ke arah bocah yang kini berlarian mengitari matras. Nabila memperhatikan Zilo yang berinteraksi dengan para pria kecil yang imut itu. Mengajarnya menendang, meninju dan beberapa gerakan lainnya. Zilo terlihat ahli menghadapi mereka.  Beberapa saat kemudian, pria yang lebih dewasa dari mereka berdua memasuki ruangan. Dia berbicara sebentar dengan Zilo, lalu Zilo tersenyum pamit undur diri dan berjalan ke arah Nabila. Nabila tiba-tiba nervous alay. "Udah selesai?" tanya Nabila bergeser ke samping saat Zilo duduk di sebelahnya. Zilo tersenyum. "Hem, mereka tinggal ambil nilai untuk kenaikan level. And thats not my dutty!" Zilo mengendikkan bahunya. Mata tajamnya mengarah ke tengah ruangan, tepat dimana bocah kecil itu sedang berbaris. "You can do it, Bry!" teriaknya tiba-tiba. Seorang bocah perempuan berambut pirang tersenyum lebar ke arahnya. Zilo mengangkat ke dua jempolnya. "Bytheway.." Zilo tiba-tiba menoleh. "Masalah tadi, ngg, gue minta maaf yah, emang tadi gue t*i banget!" ucapnya tersenyum menyesal. Tadi? Oh... "It's okay." Nabila tersenyum, betul dugaanya. Cowok ini moody-an. "Kalau boleh tau, lo kenapa. Ngeri banget gue, lo kayak mau nelen orang idup-idup tau ga!" Zillo tertawa masam. "Just some trouble!" ucapnya malas. "Wanna talk about it?" Zilo diam sebentar, dia menoleh menopang dagunya dengan seblah tangan dan menatap Nabila dengan kening berkerut, seperti berpikir keras. Nabila mendadak salting. "You know-lah. Orang tua gue yang merasa masih hidup di jaman Siti Nurbaya."Ucapnya. Rahang Zilo terlihat mengeras dan dia kembali terlihat marah. Siti Nurbaya? Tunggu, maksudnya? "Maksud lo. Lo di--" Nabila menggantung ucapannya, menunggu konfirmasi dari Zilo Zilo mengangkat bahunya acuh. "Yap, that’s what I mean!" "You gotta be kidding me! Lo di jodohin?" tanpa sadar Nabila berdiri dari duduknya dan suaranya sedikit berteriak. "Sst, Toa banget sih?" Zilo menggerutu. Nabila cemberut. "So, lo ga mau di jodohin?" tanyanya tiba-tiba. "HELL NO!" Zilo membuat silang dengan ke dua tangannya. Tiba-tiba, tanpa alasan yang pasti Nabila merasa harus megutarakan sebuah pertanyaan konyol. "Kalau cewe itu orang yang lo suka gimana?" Zilo terdiam. Dia menatap Nabila yang menatapnya polos. Dua mata bulat itu terlihat begitu indah. Zilo baru tau kalau warna mata Nabila adalah coklat terang. Beautiful, pikirnya tersenyum. "Kalau lo di posisi gue, apa yang bakal lo lakuin?" Zilo menjawab pertanyaan Nabila dengan pernyatan lain.Kali ini Nabila yang terdiam, dia mengangkat bahunya acuh. "Untuk saat ini. Mungkin ... gue bakal nerima aja!" "What?" Zilo tidak percaya dengan pendengarannya. "Gue bakalan mau di jodohin!" ulang Nabila lagi. "But, why? Lo 18 tahun dan masih sekolah. Kenapa lo mau?" "Gue harus ngelupain seseorang!" ada luka di suara Nabila. "Lo-sorry. Lo putus sama Garal?" Entah kenapa suara Zilo terdengar sedikit ... bahagia? "Well, that asshole-" "That asshole you loved." potong Zilo memutar bola matanya. "Yeah, that asshole that I loved. Gue harus ngelupain dia.." ucap Nabila. Juga memutar bola matanya. "Itu kejam. Lo nerima pertunangan itu cuman buat ngelupain mantan pacar lo. Terus perasaan tunangan lo gimana?" entah kenapa Zilo sedikit emosi. "Woah. Chillin dude. Ini kan perumpaannya aja, kan gue gak dijodohin!" Nabila mengangkat kedua tangannya di sebelah kepala. Zilo memerah malu, entah kenapa dia mendadak emosi. "Sorry." gumamnya. Nabila mendengus. "Lo kayak bunglon, cepat banget berubahnya. Tadi, lo kayak mau ngebunuh orang, detik berikutnya udah ketawa kayak orang gila aja. Terus kayak mau ngebunuh lagi, terus ngga lagi." Nabila mengeleng prihatin. "Ya biar sih. Tapi cinta gue kan lama berubahnya alias awet. Gue tipe yang setia loh Bill!" Zilo menaikkan alisnya menggoda. "Pret." "HAHAHAH!" "Eh malah ketawa!" Nabila tersenyum malu, merona melihat betapa manis cowok di sampingnya. "So menutrut lo, gue harus coba dulu gitu?" Zilo menatap Nabila serius. Nabila mengangguk "Yep! Setidaknya lo liat dulu siapa cewek yang di jodohin sama lo. Gue yakin orang tua lo tau yang terbaik buat lo, biarpun kedengaran absurd. Siapa yang dijodohin lagi di jaman kek begini?" "Bener kan!" Zilo mendesah pasrah. "Setidaknya lo harus nyoba, well, buat orang tua lo juga kan!” Nabila tersenyum lembut. “Walaupun gue ga senan-senang amat sih karena populasi cowok ganteng berkurang satu.” Godanya kemudian membuat Zilo tertawa.  "Ada-ada aja lo!” ujarnya tersenyum lebar, “Eh, berarti, gue berhutang sesuatu untuk waktu dan saran lo dong?" Zilo menaikkan sebelah alis. "Just treat me a Coffee then!" ucapnya tersenyum. Senyum Zilo semakin lebar, "Oke, gue ganti baju dulu ya!" dia berdiri dari duduknya. Namun baru beberapa langkah dari Nabila. Ponsel mereka sama-sama berdering. Zilo berbalik menju tasnya yang kebetulan berada di samping Nabila. "Assalamualaikum, Bun!" "Assalamualaikum, Bunda!" Zilo dan Nabila saling melirik dan tersenyum geli. Zilo memberi kode untuk sedikit menjauh dari Nabila dan Nabila mengangguk. "Kamu udah ketemu Radit?” suara Bunda terdengar tidak sabar. Nabila menepuk jidatnya. "Belum?" Terdengar healaan nafas Bunda. "Dia udah konser di Hp Bunda dari tadi. Emang dasar ga sabaran banget. Buruan gih ke kelasnya!" suruh Bunda. "Okay Bun!" jawab Nabila malas. Sebelum Nabila menutup telepon, Bunda menyela. "Oh ya Bill, nanti ga usah makan di luar duluan. Bunda dan Ayah mau ngajak kamu dan Radit makan malam di luar. Langsung pulang aja, cepat yah. Bunda ama Ayah udah di rumah!" "Loh kok?" " Just do it, Nabila." "Okey Bund!" Nabila mengerang. Bunda nya benar-benar control freak, keras kepala dan cerewet minta ampun. Dan Nabila mewarisinya dengan baik. Sedetik setelah sambungan terputus. Zilo dengan wajah masamnya berjalan ke arah Nabila. "Kayaknya-" "Kayaknya-" Mereka tertawa geli. Kenapa samaan mulu sih? "Lo duluan!" ucap Zilo. "Kayaknya gue ga bisa nagih kopinya sekarang." ucap Nabila menyesal. "Bunda gue nelfon dan di suruh cepat pulang!" Zilo mengangguk lega. Dia juga baru ingin mengatakan kalau dia tidak bisa mentraktir Nabila sekarang karena ada keperluan mendesak. "Okay. Not a big problem!" ucap Zilo. "Okay." Nabila tersenyum. "Okay." Zilo tersenyum. "Okay." "Okay." "Lo tau ga sih, kita kayak Hazel sama August di Novel The Fault in Our Stars? Always say okay for no reason!" ucap Nabila geli. "Maybe okay, will be our always?" Zilo tertawa mengutip salah satu quote famous di novel itu. "God!" Nabila memutar bola matanya jengah. "HAHAHA, see you soon then?" Nabila tersenyum. " Yah, see you soon!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN