Bagian Dua

1990 Kata
Garal melirik Nabila yang duduk di sampingnya. Dia pasrah terhadap perasaanya pada perempuan ini. Terkadang dia merasa apa yang di rasakannya tidaklah wajar dirasakan cowok seumurannya. Namun, saat dia melirik ke arah Nabila lagi, pikirannya itu terkalahkan, teronggok menggenaskan di pojok ruangan. Dia begitu menyayangi Nabila. Hingga pikiran kehilangan Nabila membuatnya takut bukan main. "Tunggu bentar ya, aku ganti baju dulu." Nabila berucap, ia berdiri dan meninggalkan Garal yang masih tersenyum bodoh. Di depannya tersedia jus jeruk dan setoples cookies yang ia ketahui adalah buatan Nabila.  Pacarnya itu sangat suka membuat segala jenis kue. Terkadang saat libur tiba, dia dan Nabila akan menghabiskan waktu dengan memanggang kue, dan mencoba resep baru. Hal kecil seperti itu saja sudah membuat Garal merasa seperti cowok ter-lucky sedunia. Garal beranjak dari sofa di ruang tamu Nabila saat merasa kebutuhan pribadinya mendesak. Dengan berlari kecil dia menuju kamar mandi. Namun, ketika melewati dapur suara-suara ribut menghentikan langkahnya. Suara itu terdengar samar-samar, namun Garal tau, ada yang tidak beres dengan pemilik suara tersebut. Saat Garal mengintip ke arah dapur dia melihat Ayah dan Bunda Nabila yang sedang cekcok. Bunda terlihat kesal sekali dan Ayah hanya pasrah. Ini adalah pertama kalinya Garal melihat kedua itu bersitegang. Biasanya mereka selalu mesra, bahkan berlebihan, tak jarang membuat dirinya dan Nabila geli. Harusnya Garal tau dia tidak boleh berada di sana. Namun, saat namanya dan nama Nabila tersebut di pembicaraan Ayah dan Bunda, dia membatalkan niatnya untuk beranjak. Garal menyandar di dinding. Mematung mendengar ucapan Ayah. Rasa penasaran membuat Garal keluar dari tempatnya. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuh dan dadanya turun naik menahan amarah. Untuk pertama kali dalam delapan belas tahun hidupnya, Garal ingin sekali memukul seseorang dan menghancurkan sesuatu. Demi melenyapkan sakit di hatinya. "Apa itu benar?" tanya Garal lirih, berusaha menyembunyikan luka di hatinya. "Garal!?" Yang di dapatinya adalah wajah shock Ayah dan Bunda. Lalu setelahnya hanyalah tatapan prihatin dan menyesal yang membuatnya yakin, apa yang di dengarnya itu benar adanya. *** "Kamu kenapa sih?" sewot Nabila saat Garal hanya diam selama perjalanan mereka. Cowok itu diam, rahangnya mengeras dan tangannya mencengkram stir dengan kuat."Tau gini aku ga ikut aja!"sambung Nabila lagi. 'Maafin Bunda, ini wasiat Opa Nabila, Ral!" Garal memejamkan matanya saat kutipan dialog itu kembali terngiang olehnya.  Cengkeramannya semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia menoleh ke arah Nabila yang saat ini tengah bete mampus. Wajah gadis itu memerah karena menahan kesal.  Garal menghela nafas. Dia tidak boleh seperti ini. Setidaknya kelak, Nabila akan mengenang kebersamaan terakhir mereka sebagai kenangan yang indah. Bukan dengan dia yang mendiami Nabila seharian. Memikirkan itu membuat Garal mengernyit nyeri. Garal meraih tangan Nabila ke genggamannya. Mengenggam erat dan mengecupnya pelan. "Maaf yaaah.." ujarnya. Dia tengah berusaha menahan ledakan emosinya saat ini. Nabila mendengus, "Mudah bener. Udah ngediamin orang ga jelas, abis itu minta maaf!" sewotnya. Garal terkekeh. See, inilah yang membuat Garal jatuh cinta pada Nabila. Dia tidak seperti cewek kebanyakan yang selalu menggunakan teka-teki untuk menebak isi pikirannya.  Memaksa cowok untuk mengerti isi pikirannya. Padahal dia bisa mengungkapkannya secara langsung. Emangnya cowok itu cenayang yang selalu ngerti kemauan cewek?Piki Garal setiap kali melihat cewek-cewek di sekitarnya bertingkah absurd, nmaun bersama Nabila Garal tidak perlu menggunakan formula apapun untuk memecahkan persoalannya, cwek itu tiak segan-segan untuk memberi jawaban langsung. "Maaf deh ... seriusan!" bujuk Garal lagi, namun Nabila masih enggan melirik ke arahnya. Akhirnya Garal menggigit jari kelingkingnya pelan, sehingga Nabila terpekik, dan memukul kepala Garal dan tertawa setelahnya. Garal pun tersenyum, melihat tawa Nabila yang begitu lepas. 'Demi Nabila..' 'Tapi Garal sayang Nabila, Bun.' '...' Garal membelokkan mobilnya ketempat yang begitu berarti bagi mereka berdua.  Tempat dimana pertama kali Garal mengungkapkan perasaannya pada Nabila, tempat dimana ia akhirnya mendapatkan hati gadis itu. Namun haruskah tempat ini juga menjadi tempat kenangan terakhir mereka bersama? Sebagai sepasang kekasih? Senyum Nabila semakin lebar saat tau kemana tujuan Garal. Jantungnya berdegup memutar kembali kenangannya dengan Garal di sini. Tidak sedikit yang telah di laluinya dengan Garal dua setengah tahun ini. Saat deru mesin mobil berhenti dan Garal mengandeng tangannya keluar dari mobil Nabila merasa dunia ada padanya hari itu. Nabila dan Garal mendongak, merasakan detak jantung mereka yang berdentum keras saat melihat rumah pohon bersejarah mereka. Nabila menoleh dan tersenyum hangat pada Garal yang dibalas dengan senyum lemah oleh cowok itu. Garal menarik tangannya menaiki rumah pohon itu. Membantunya menaiki tangga demi tangga. "Oh, hati-hati." desis Garal saat Nabila hampir terpeleset. Nabila tersenyum dan mengangguk. Saat Nabila dan Garal sudah berada di dalam rumah Pohon, Garal memutuskan untuk membuka jendela. Membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam ruang berukuran enam kali empat itu. Di atapnya tergantung burung-burung bangau dan foto-foto mereka berdua. "Remember this?" tanya Garal. Nabila tersenyum malu dan mengangguk. Rumah pohon ini masih sama, seperti terakhir kali ia ke sini. Sebulan yang lalu, sebelum mereka putus sementara. Fotonya dan foto Garal masih terpasang menyebar di dinding dan atap rumah pohon tersebut. "Itu merupakan hari yang terbaik buat aku. To have you, and all of your heart." Garal mengenggam tangan Nabila erat. Meraskan bagaimana tangan ini mengenggamnya saat menyusuri jalan pulang bersama, merasakan tangan ini mengelus punggungnya menenangkan. Nabila melirik Garal yang kini memejamkan matanya. Sebelah tangannya mencoba menyentuh wajah itu, namun gerakannya terhenti saat mata Garal tiba-tiba terbuka dan menatapnya dengan sorot penuh luka. "Aku juga ga nyangka tempat ini bakalan menjadi tempat dimana aku melepaskan kamu." Telinga Nabila berdesing. Dia merasa jantungnya berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Tangannya dengan lemah terlepas dari genggaman Garal. Dia pasti salah dengar, dia pasti lupa ngorek kuping lagi minggu ini. "M-maksud kamu?" Nabila tidak yakin dengan suaranya yang bergetar. "Kita—harus Putus Bill," Garal memejamkan matanya saat melihat air mata meluncur di pipi Nabila. "Kali ini, benar-benar putus!" Nabila mundur beberapa langkah sehingga punggungnya menabrak dinding. Garal menatapnya dengan sendu, namun Nabila tidak sanggup lagi menatap wajah itu. Ingin rasanya berteriak ke wajah cowok tampan didepannya. Bertanya apa alasannya, kenapa dia melakukan ini. Namun, Nabila tidak sanggup dia tidak mau semakin terluka mendengar alasan dari Garal. Dia menatap Garal terakhir kali sebelum berlari keluar dari rumah pohon itu, melompati dua tangga sekaligus. Menghiraukan tangannya yang tergores oleh paku pada salah satu tangga. Hal yang di butuhkannya saat ini adalah menjauh dari tempat dimana Garal berada. Setengah hati Nabila berharap Garal mengejarnya. Namun, cowok itu sama sekali tidak mengejarnya, atau berteriak memintanya untuk berhenti. Dia hanya terdiam, di lingkup oleh kenangan indahnya dan Nabila. Garal merosot bersama seluruh pertahanan nya. Akan sulit menjadi seorang pria di saat kau terluka seperti ini. You don't know when the boy is hurt. There's no way to le it go. Tangannya memukul lantai kayu itu dengan keras. Dan Garal berteriak, mengeluarkan seluruh emosi yang dirasakannya. I'll let you go, Wolfie. For your own happiness. *** "Itu karena kak Nabila ga pernah mau jemput Radit, Yah! Ayolah yaaah," Radit, bocah ingusan 10 tahun itu memonyong-monyongkan bibirnya seperti p****t ayam. Kali ini dia kembali melakukan taktik hasutannya, tipu muslihat yang lebih manjur daripada jampi-jampi, agar dibelikan sepeda motor. Ayah baru saja hendak mengejek Radit saat pintu rumah terbuka dengan dan tertutup dengan kasar. Nabila muncul dengan tampang terkacau yang di milikinya. Baju kaos dan celana jeans telah berubah kusut. Mata dan hidungnya memerah sehabis menangis, dia berjalan cepat ke arah kamarnya, tanpa menghiraukan sapaan Bunda atau godaan Radit yang biasanya membuatnya naik pitam pun di hiraukannya. "Ih, Kak Nabil kayak janda di tinggal mati." kikik Radit. "Dit." tegur Ayah yang seketika membuat bocah itu bungkam. Dia membebek ke kamarnya di lantai dua yang bersebelahan dengan kamar Nabila. Bunda melirik Ayah cemas. Perasaan bersalah menghantui hatinya. Menuai air mata penyesalan dan putus asa di manik coklat Bunda yang telah menua oleh waktu. Ayah menarik tangan Bunda kelingkupan tangannya, membisikkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan dia sudah melakukannya yang terbaik untuk semuanya. Sama seperti yang selalu di lakukan nya saat Bunda merasa buruk dengan dirinya. Bukankah itu tugas seorang lelaki, membuat wanitanya nyaman dengan segala situasi? "Kasih Nabila waktu, Bun," bisik Ayah mencium puncak kepala Bunda. Wanita awal pertengahan empat puluh tahun itu mengangguk dan menghela nafas pasrah. 'Tidak ada cara lain membalas jasa mereka pada keluarga kita, Ta. Kamu tau, Cucu ke dua Saras seumuran dengan Nabila. Papa akan sangat senang jika keluarga kita bisa bersatu...' *** Nabila tersenyum getir melihat penampakannya di cermin. Rasanya baru kemaren dia bisa berpenampilan normal, namun sekarang dia kembali kepada mode 'Nabila korban p****g beliung'-nya. Matanya membengkak dan hidungnya memerah. Semalam, setelah melampiaskan kemarahannya dengan mengigit boneka jerapah yang dihadiahkan oleh Garal di anniv mereka yang pertama. Nabila membeku, berdiam diri menatap langi-langit kamarnya yang bertabur bintang-bintang bercahaya. Dia hanya diam, menangis pun tidak. Rasanya air mata tidak lagi cocok untuk menggambarkan betapa kacau keadaanya saat ini. Bunyi bel panjang mengejutkan Nabila. Berakhir sudah ujian melelahkan hari ini. Dengan gontai Nabila keluar dari WC dan berjalan menuju ruangan kelasnya. Siswa di ruang enam sudah bertebaran ke sana-kemari mencocokkan jawaban demi jawaban. Sementara Bu Rani berteriak-teriak memperingatkan agar tidak ada satupun yang menyontek. Nabila segera mengambil lembar jawabannya, mengumpulkannya kepada Bu Rani yang masih berteriak-teriak lalu keluar dari kelas tanpa menoleh sedikitpun. Bahkan dia menghiraukan tatapan intens Garal dari sudut lokal saat dia sengaja membuang muka. Nabila mempercepat langkahnya saat sesak itu kembali menggerogoti dadanya. Seperti saat dimana kau terjebak di dalam sebuah konser yang penuh dengan lautan manusia. Sesak tanpa udara. Tubuh Nabila terpental, dia merasakan tubuhnya menabrak sesuatu sehingga dia terdorong ke belakang. Dia mengernyit merasakan p****t dan jidatnya yang nyut-nyuttan. Saat dia mendongak, Nabila melongo. Cowok yang baru saja dia tabrak menatapnya dingin. Rahang cowok itu mengeras dan tangannya mengepal, dia terlihat seperti ingin menghancurkan sesuatu.  Tanpa berniat untuk menolong Nabila cowok itu ngacir dengan wajah betenya, bahkan Nabila dapat mendengar sura tong sampah yang terpental karena tendangan cowok bermata teduh itu. What the hell was wrong with him ? "Kamu ga papa?" Mata Nabila melebar mendengar suara dari arah belakangnya. Saat cowok itu membantunya berdiri dengan menyentuh kedua lengannya, Nabila segera menyentaknya dengan kasar. Dia berbalik menatap Garal yang tersenyum getir dan memberi tatapan dingin, dengan cepat meraih ponselnya yang bertebaran di lantai, lalu berbalik meninggalkan Garal. "Bill!" panggil Garal. Bodo amat! Jangan dengerin Nabila! "Bill," panggil Garal lagi, kali ini dengan nada terhibur. Nabila masih tidak menoleh dia mencengkram ponsel di tangannya dengan kuat dan melangkah dengan menggebu-gebu. Garal mengikutinya. "Nabila, baterainya ketinggalan." Sial! Nabila otomatis berhenti. Dia meneliti bagian-bagian ponsel di tangannya. Ponsel merk samsung itu sudah berpisah dari baterainya, karena terlempar keras saat bertabrakan dengan cowok tadi. Nabila menghentakkan kakinya pelan, lalu berbalik menatap Garal yang tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya menahan tawa. Sial, kenapa sih dia terus ngelakuin hal memalukan di hadapan Garal? Nabila keki setengah mati. "Thanks." ucap Nabila enggan, ia menyambar baterai hp-nya dari tangan Garal. Garal hanya mengangguk tipis. Berusaha untuk tersenyum, namun gagal. Yang ada, dia terlihat seperti orang yang sedang ngeden. Sakit itu.... saat dimana seseorang berada tepat di depan kita  namun terasa begitu jauh. *** Nabila mengecek ponselnya sesaat setelah dia menghempaskan pantatnya di kursi pengemudi VW Comby Biru laut kesayangannya. Hadiah ulang tahunnya yang ke-tujuh belas. Nabila tidak tau ayah dan bunda benar-benar mengabulkan permintaannya saat itu. Sender : Bunda Bil, Ayah katanya ada rapat di sekolah. Bunda juga harus meriksa hasil ujian dulu sebelum pulang. Kamu jemput Radit yah! Dia lagi les karate, abis itu ajak makan di luar aja, Ayah sama Bunda juga bakalan makan di luar. Makasi ya Sayang, love you. Nabila meluruh di kursinya. Menjemput Radit adalah salah satu bencana terbesar dari yang terbesar. Adiknya itu adalah setan iprit, titisan tuyul nyebelin yang sebisa mungkin dia hindari. Dan jika haus memilih menjemput Radit atau mengerjakan soal matematika, Nabila lebih memilih untuk mengerjakan soal matematika. Dan sekarang, dia disuruh menjemput adiknya yang usil itu. It's like driving to the hell. To : Bunda Oke, Bun. You too. Apa boleh dikata. Ridho Allah, ridho orangtua. Surga terletak di bawah telapak kaki Ibu. Nabila tentu tidak ingin surga untuknya raib, hanya karena dia tidak mau menjemput adiknya yang titisan dedemit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN