Gary menyandarkan punggungnya di kursi ruang tunggu Poli Psikiatri yang ia datangi selepas meals during discussion dengan seorang psikiater sekitar setengah jam yang lalu. Kedua kelopak matanya ia tutup, mengistirahatkan indera penglihatannya untuk sesaat. Pikirannya masih saja terganggu akibat ricuh obrolan di grup chat kantornya. Gary sendiri tak paham mengapa. Biasanya ia santai saja dengan olok-olok orang lain. Toh mereka tak tau siapa dan bagaimana dirinya. Namun kali ini, mungkin karena sosok Megi ikut diisukan, rasanya sungguh tak nyaman. Irgi, seorang Dokter Spesialis Bedah Saraf mendekat, duduk di samping Gary. Tangan kirinya menggenggam kota mika berisi anggur dengan butir-butir besar berwarma hijau. “Enak, Dok?” “Hmm, mau?” “Boleh?” “Hmm.” Gary mengambil sebutir, mem