Ini nikmat banget.
Kalau ada urutan peringkat kenikmatan di dunia, maka versi gue, makan buah alpukat diancurin bareng yogurt adalah urutan kedua setelah seks.
Gue nggak bohong.
Lo bisa coba, dan kalau memang menurut lo nggak enak, gampang, kirim ke rumah.
Gue dengan senang hati bakalan menghabiskannya.
"Lo seriusan nggak mau datang ke event make up itu?"
"Lo tahu kan, gue suka keluar itu bukan sebagai yang diperhatiin, tapi gue seneng merhatiin orang. Event kayak gitu terlalu maksa gue buat jadi seseorang yang mereka mau. Nanti aja kalau udah berubah pikiran gue, sekarang belum."
"Bayaran lumayan."
"Oh Devi ...." Gue memutar bola mata. "Lo tahu gue mata duitan, lo tahu kenapa gue dukung mindset sugar baby, tapi enggak untuk sesuatu yang gue nggak suka. Gue masih bisa dapetin duit dari hal-hal yang gue suka."
Dia mengendikkan bahu. "Reza kemarin ngirimin gue chat."
Gue udah kasih tahu belum, kalau satu-satunya orang yang tahu gue punya hubungan sama cowok dan siapa aja dia, itu adalah Devi orangnya.
Awalnya juga nggak sengaja sih, karena gue lagi pusing banget pada saat itu, tapi gue harus balas chat Ibu. Dan, ya, gue minta tolong Devi yang bales chat, ternyata chat Reza muncul di notif bar, lalu---katanya---kepencet Devi.
Chat apa?
aku weekend ini free, abis beli kondom.
main ke apartemenku ya?
Jadi, dengan kepala rasanya berat banget, gue memutuskan menceritakan segala hal. Malah bablas sampai ke pandangan masa depan tentang hubungan.
Devi nggak nge-judge sama sekali. Meski dia ada di pihak oposisi. Gue ingat banget dia bilang, "Umur lo masih muda. Yang lo liat di sekeliling lo sekarang adalah contoh pernikahan dengan komitmen yang rapuh. Gue yakin pandangan lo akan berubah nantinya."
Pada saat itu, gue cuma senyum tipis sambil menganggukkan kepala.
Nah, sekarang, masalahnya gue mau buka mulut aja males banget buat menanggapi tentang Reza. Devi juga nggak lanjut cerita, sampai gue yang minta biasanya mah.
Tapi, gue udah males, makanya gue milih diam. Kayaknya juga nggak penting-penting amat, kalau urgent kan pasti Devi nekat ajalah kasih tahu gue tampa diminta.
Logis, kan?
Astaga, tunggu dulu, ini jam berapa? Mikirin logis dan enggaknya si Devi, tiba-tiba keinget ajakan om-nya Azriel yang maha logis itu.
"Dev."
"Hm."
"Lo nggak malmingan?"
"Lembur doi."
"Malam minggu kerja?! Dia kerja apa dikerjain." Devi cuma ngelirik, sinis banget. "Kasih tau ke si Anwar ya. Kasihan, mana masih muda. Kerja boleh, tapi jangan nyusahin diri sendiri dong ah. Lo kasih dia target nikah apa gimana sih, Dev? Sampe begitu dia."
"Orang-orang yang nggak bisa milih jalan hidup di luara sana bakalan nangis denger omongan lo barusan."
"Okay, sorry." Gue tadi saking kagetnya. Karena merasa ... senin-jumat disuruh kerja, dan gue nggak kebayang kalau weekend tetap harus kerja juga
Sorry ya kalau omongan gue nyakitin.
"Dia kerja malam minggu ini, karena beberapa hari kemarin dia cuti. Udah jadi tanggung jawab dia. Kerjaan harus kelar senin."
"Cuti? Kok gue nggak tahu?" Saat matanya mendelik, gue buru-buru nyengir. "Yaudah sih, gue siap-siap mau malmingan dulu ya."
"Lah gue sendirian?"
"Ya lo ke sini di waktu yang nggak tepat. Ibu nginep ke rumah Riana. Kalau lo mau nungguin Jamet pulang malam mingguan. Atau temenin bokap gue di rumah berdua, bentar lagi paling balik."
"Sinting lo emang."
Gue ngakak, sementara dia bangun dan beres-beresin bekas kami makan buah-buahan. Pamitnya sih mau langsung balik.
Sesampainya di kamar, gue melirik jam, memperkirakan berapa waktu yang gue punya untuk siap-siap. Mandi cukup dengan 15 menit, siap-siapnya ini yang agak lama. Okay, ngerti banget, berarti yang harus dipangkas adalah bagian make up.
Sambil mandi, gue cerita sedikit tentang seminggu ini perkembangan hubungan gue dan om-nya Azriel. Anggap aja gitu biar kayak orang normal. Setelah hadiah buku dan pengakuan sama-sama tidak memiliki pacar, maka semuanya berjalan sebagaimana mestinya.
Kami chatting, lebih sering telepon, dan sesekali video call.
Obrolannya ringan, sampai ke hal-hal berat semacam ... kira-kira dua puluh tahun nanti, fenomena apa yang ramai di kalangan masyarakat? Kalau sekarang kan jelas tuh, anak millenials mendominasi. Mudah banget buat bikin trending sesuatu, karena isinya orang-orang muda yang kreatif (semoga).
Itu juga salah satu isi dari buku yang dia kasih. Gila, cuma Tarangga yang bisa bikin gue baca buku ngebut kayak dikejar deadline.
Entahlah, takut malu, dan lain-lain.
Kalau obrolan ringannya ... nah ini, gue baru tahu kalau dia ternyata orang yang sangat sweet dalam definisi gue.
Maksudnya gini, gue jelasin dan coba lo pahami berdasarkan standar pribadi lo. Saat kami chatting, dia beberapa kali bilang 'Miya, sebentar, ada telepon, aku angkat dulu' lalu muncul lagi beberapa menit kemudian dengan kalimat 'maaf ya harus nunggu'.
Like seriously, itu kita lagi chatting lho. Ada telepon atau bahkan gempa pun di tempat dia, gue mana tahu. Ya dong?
Dan gue beneran masih belum nemu satu teori yang bisa menjelaskan itu.
Anyway, gue udah selesai mandi, sekarang buru-buru cari dress simpel biar nggak perlu nyocokin atasan-bawahan.
Lanjut ke persoalan Tarangga tadi.
Gue sebenarnya agak kaget. Karena cowok terakhir yang sama gue jauh banget sifat dan karakternya dari Tarangga.
Reza dan Om-nya Azriel manis dengan cara yang beda.
Gue curly rambut bentar ya. Ujungnya doang kok, cepat gue mah bagian ini saking terbiasanya. Cuma butuh beberapa menit doang karena hadiah dari Tuhan adalah rambut gue halus dan mudah diatur.
Tadaaaa! Selesai.
Sekarang, memastikan make up ... lah g****k, gue belum pakai eye shadow, hahaha. Mana bisa make up tanpa warna di mata, mau jadi zombie apa gimana.
Gue pesan taksi online dulu sambil benerin make up.
Okay, sekarang balik ke mata, kasih warna cokelat muda sebagai warna transisi, blend dengan warna pink salem, kemudian kasih gliter sedikit di kelopak mata.
Indaaaah!
Gue udah siap, Bebs, waktunya liat handphone buat ngabarin Tarangga. Bagus, dia belum chat, artinya gue aman. Kami memang janjian abis shalat isya sekalian sih.
Belum sempat ngetik pesan buat Tarangga, driver taksi online bilang udah sampai. Gue buru-buru keluar rumah.
Yuk, kita jalan ke rumah dia. Kenapa bukan dia yang nyamperin gue? Karena gue nggak mau ambil resiko terburuk nanti pas Jamet atau Ibu atau Ayah pulang dan jadi panjang urusannya.
Tarangga jelas tanya: bukannya lebih baik kalau aku dateng ke sana dan izin sama keluargamu?
Untung gue lumayan jago negosiasi (berasalan lebih tepatnya) sampai akhirnya tiba di keputusan bahwa gue yang datang ke rumahnya.
Kayaknya gue perlu jelasin deh ke Tarangga soal hubungan versi gue dengan serius. Tapi, kapan waktu yang tepat? Masa malmingan begini dijadiin waktu pembahasan kontrak.
Lupain dulu deh, udah ada yang enak di depan mata, ngapa malah maksa badai datang coba. Ck, Miya, Miya.
"Masuk ke komplek ini, Pak."
"Siap, Bu. Permisi, mau drop penumpang, Pak." Driver lagi interaksi sama security dan nggak lama kami boleh jalan lagi. "Rumah nomer berapa, Bu?"
"15-A, Pak. Belok ke kanan sini. Nah itu, yang putih, gerbang hitam itu. Eh semua item ya." Gue ketawa. "Yang ini, iya bener. Makasih, Pak. Bayaran udah ya."
"Iya, Bu. Hati-hati ada yang ketinggalan."
Gerbangnya nggak dikunci, dan gue memutuskan langsung ... eh ada Mbak ART-nya. Dia senyum lebar, gue melakukan hal yang sama.
"Bapak minta saya cek ke depan terus, Mbak, dan mastiin gerbang nggak dikunci."
Gue nepuk jidat. "Ohiya, gue lupa belum ngabarin dia." Kami masuk ke dalam rumah. Mbak izin ke atas manggil si 'Bapak' versi dia setelah gue bilang, "Makasih, Mbak."
Nggak lama, seseorang yang akhir-akhir ini nggak berhenti menyenangkan mata dan otak gue dengan kebaikan, kesopanan, dan kegantengannya tentu aja.
Malam ini, padahal kami nggak janjian warna pakaian. Tapi, seolah pengen kelihatan pasangan beneran---gue pakai dress biru muda dengan aksen polkadot putih, dia pakai celana jeans biru muda yang ala-ala warnanya luntur gitu, jaket jeans dengan warna sama dan dalaman baju putih.
Muda dan menawan.
Gue penasaran, dia punya kaos putih berapa lusin? Atau, satu untuk selamanya?
"Hai." Cengirannya lebar. Wanginya say hello ke hidung.
Ibarat makanan, yang terhidang di hadapan gue ini ada giant strawberry, waflle renyah penuh cream, dan semangkuk kecil cream khusus untuk strawberry-nya.
Kebayang nikmatnya?
"Hai." Gue berdiri, berjalan menghampiri dia. Laper banget jadinya. "Gue nggak telat kan? Sampe harus minta bolak-balik Mbak liat ke depan rumah."
Dia tergelak, kemudian menggelengkan kepala. "Ini pengalaman pertama, mau date biarin ceweknya jalan sendirian nyamperin aku ke rumah. Jadi lumayan agak was-was."
Smooth. Sekarang nambah lagi: manis banget, Om.
Gue ketawa. "Azriel kok nggak kelihatan?"
"Papa mamanya baru sampai di Jakarta. Makanya mereka pulang ke rumah orang tuaku."
"Kenapa nggak di rumah Mas?"
"Mereka nggak suka di sini, hawanya terlalu dingin katanya."
Lagi, gue ketawa karena paham dingin apa yang dimaksud. Jadi, dia cuma tinggal sama mbak ART dong? Gue masih belum paham, gimana bisa seorang lelaki dewasa, tinggal bareng ART yang masih muda. Hanya berdua.
Kuat juga imannya.
Gue buru-buru menggelengkan kepala, kemudian merangkul lengannya. Kami berdua jalan keluar rumah, ke garasi mobil.
"Sebentar," katanya setelah gue berhasil duduk nyaman di kursi dengan seatbelt terpasang sempurna. Gue lihat dia ke pintu belakang, mengambil ... buket bunga. Sampai di samping gue lagi, dia mencondongkan wajah, tersenyum lebar sambil menyerahkan ke gue. "Happy Saturdate, Miya."
Gue nge-blank sesaat, tapi buru-buru ambil buketnya dan nyengir lebar. "Makasih ...," ucap gue tulus banget. Gue hirup bunganya. "That's so sweet of you." Melepas seatbelt, gue kasih dia satu kecupan di pipi. "Makasih, Mas."
Dia mengangguk sebelum akhirnya mengitari mobil dan duduk di balik kemudi.
"Jadi, ini adalah restoran pertama temennya Mas setelah dua tahun maksa diri dengan jadi pengacara padahal cita-citanya pengen punya resto?"
"Betul. Aku ikutan senang dan lumayan pusing bantu dia mempersiapkan semuanya. Tapi sebanding, lihat temen bisa mewujudkan cita-cita dan lakuin hal yang dia suka, rasanya bangga banget."
Gue menyerongkan tubuh, menatap dia. "Apa ini artinya, yang Mas lakuin ini adalah memang yang Mas suka?"
Kepalanya ngangguk terlihat tanpa beban.
Gue meringis dalam hati. "Sesuai jurusan kuliah juga?"
"Nah, bagian ini aku nggak tahu. Dulu S1 aku ambil ilmu politik."
"Kalau S2-nya?" Kalau ada sebutan S1 berarti ada S2 dong?
Dia noleh, senyum. "Sama."
Gila, gila, gila. Pantesan, segala hal yang dia jalani smooth kelihatan penuh strategi. Mantap sekali, Om Tarangga.
Gue berhenti ngoceh dalam hati, saat tiba-tiba tangannya ngelus kepala gue, sambil bilang, "Kamu semangat kuliahnya. Nggak berat kok kalau dijalani pelan-pelan."
Mencium bau-bau nggak enak nih. Gue belum cerita juga kalau kuliah gue nggak kelar-kelar saking malesnya anak manusia satu ini (nunjuk diri sendiri).
Kami kejebak di lampu merah yang detiknya lumayan panjang. Kalau kayak gini pas bareng Reza, biasanya kami manfaatin buat ciuman atau apa lah. Maklumin aja woy, jarang ketemu. Jadi, kesempatan kecil pun harus dimaksimalkan.
Kalau sekarang, beda. Nggak mungkin gue langsung nyosor bibirnya. Jadi, gue cuma diam aja, milih buat ngitungin detik.
Tepat diangka 10, bunyi klakson dari depan belakang, samping kiri dan kanan, atas-bawah, semuanya bunyi. Gue bilang apa, kebanyakan orang Jakarta kalau lihat lampu ijo udah kayak lihat sale, grudukan.
Boro-boro lampu ijo, baru angka 10!
"Semuanya nggak bisa kalem. Ngegas aja terus."
Di sebelah gue, Tarangga ketawa pelan. "By the way, Miya, ngegas itu kan kalau dalam definisi kendaraan, artinya maju, tapi kalau dalam contoh kalimat yang kamu pake tadi, makna sebenernya gimana?"
Lo kalau jadi gue, mau respons apa ke pertanyaan dengan intonasi dan muka santainya barusan?
Jujur, gue nggak ngerti harus gimana.
Tapi, gue nggak mungkin diem bego. Makanya, gue sekarang menjilat bibir, pura-pura ketawa. "Apa ya. Semacam marah, intonasi tinggi, dan nggak sabaran yang semuanya dicampur jadi satu?"
"Berarti mereka yang suka reply di Twitter itu lagi pada marahan? Aku pernah nemuin di beberapa tweet-ku 'nah gini dong, ngegas' atau 'ngegas kan enak'."
Anj*ng.
Bukan gitu juga, Om. Tolong dong bantu jelasin dengan bahasa umum. Jangan terlalu anak muda, kasihan dia nggak paham.
Gue baca email-email yang dia kirim aja ya, isinya serius semua. Tapi emang sih, banyak yang relate, karena kan temanya perempuan.
"Jadi, Mas lumayan terkenal di Twitter?"
Dia menggeleng, senyum yang ... lah, dia salah tingkah? Gemes amat! "Enggak terkenal. Sebenarnya yang terkenal itu Data Utama, tapi karena admin-nya sering mention aku, jadi orang-orang tahu dan follow. Aku nggak ngerti menariknya akunku apa. Kadang malah was-awas mau nge-tweet sesuatu dan berujung nggak jadi."
"Menariknya Twitter bagi Mas apa?"
"Banyak. Informasinya aktual banget. Kalau mau dulu-duluan tahu apa yang terjadi sama dunia, Twitter punya itu. Akun-akun media update banget kan di sana."
"Boleh tahu akun-akun favorit Mas apa?"
"Yang aku follow di Twitter itu ada Jakarta Post, The Conversation Indonesia, Magdalene, TED Talks. Sisanya aku lupa."
Gue cuma tahu Jakarta Post dan TED Talks.
Sementara lo mau tahu akun-akun yang gue follow di Twitter?
Fiersa Besari dengan tweet mengayominya (gini-gini, gue suka sama tweet dan lirik manis dia), Deva Mahendra, dan Chef Arnold yang bukannya jadi produktif masak atau punya mindset masak yang bagus, malah mulut gue makin berbisa kalau ngomong, ketularan dia.
Well, gue nggak akan bilang kalau akun-akun yang dia follow itu lebih keren. Semuanya punya bidang masing-masing.
Seenggaknya, itu kalimat bekal lo biar nggak insecure.
"Miya."
"Ya?"
"Ada yang mau aku bilang sebelum terlalu jauh, buat pertimbangan kamu." Apaan nih? "Aku sebelumnya udah pernah menikah."
Gue diam. Bingung mau menjawab apa. Bukan karena pernyatannyanya, toh gue udah tahu, tapi lebih ke ... gue nggak nyangka dia ambil momen ini buat ngomong itu.
"Menurutmu gimana?"
Menolehkan kepala, gue menatapnya sebelum akhirnya ngangguk sambil tersenyum. "Asal Mas tahu, gue tipe orang yang akan riset dulu sebelum kerjasama. Bukannya itu juga aturan dalam menulis artikel?"
Dia ketawa, mengangguk berkali-kali.
"Jadi, kalau memang gue keberatan, gue nggak akan di sini, sekarang."
"Makasih," katanya.
"Tapi, gue mau tanya, dan Mas boleh buat nggak jawab kok." Gue menambahkan. "Kan definisi privasi tiap orang beda. Ada yang ngerasa sebuah hubungan itu nggak boleh diumbar, ada yang biasa aja."
Dia menggelengkan kepala. "Silakan, tanya aja."
"Alasan perceraiannya, boleh gue tahu?"
Dan dia langsung diam.