DELAPAN

1380 Kata
Gue ngerasa sebagai tersangka atas tuduhan pemaksaan pada seseorang. Lampu kembali ijo, mobil jalan lagi, dan gue nggak tahu kapan kami bakalan sampai di tempat tujuan. Ini mau makan di restoran yang baru dibangun di Mars atau gimana? Lama amat udah kayak .... "Dia aseksual." Gue noleh, tapi dia nggak mengulangi atau melanjutkan. Tadi, gue denger kata seks. Apa tadi? Beberapa detik kemudian, Tarangga melirik gue sambil senyum tipis. "Pernah denger aseksual?" "Seks? Ya." Kata seks bisa lo dengar di mana pun, nggak usah merasa aneh, Bebs. "Bukan seks, aseksual." Kayaknya memang Tuhan tuh sengaja nemuin gue sama dia, supaya gue sadar diri, kalau usia gue ini masih 20-an, masih terlalu dini buat mengklaim kalau gue tahu banyak hal. Karena sejak kenal Tarangga, ada aja hal-hal yang dia omongin dan gue sama sekali buta akan itu. Aseksual? Apaan tuh? Gue tahunya seksual. Seks. Enak. Period. "Kondisi di mana seseorang punya ketertarikan yang rendah banget, atau bahkan sama sekali nggak punya ketertarikan sama aktivitas seks." Gue bengong dong. Gimana bisa seseorang nggak tertarik ngelakuin seks? Udah gila ini mah. Lo tahu kan, seks itu candu, manusia di luar sana sibuk ngontrol diri dan ada banyak kampanye untuk itu, ini malah nggak tertarik? Gue lagi dibodohi apa gimana? "Mas .... lagi bercanda?" Gue mengibaskan tangan, membenarkan posisi duduk, menghadapnya. "Maksudnya, kadang selera bercanda orang beda-beda, you know ... kita---" "Nggak, Miya. Aku cerita tentang alasan perceraian kami. Kamu mau tahu itu, kan?" Okay, ngerti, gue mingkem. Aseksual. Apa itu aseksual. Kenapa bisa jadi alasan perceraian? "Pembahasan tentang aseksual memang nggak sebanyak l***q, itu aja masih tabu di Indonesia, apalagi yang ini." Kok gue deg-degan ya. "Waktu akhirnya dia bilang, aku marah karena mikirnya dia lagi cari alasan untuk menjauhiku. Pada saat itu juga jadi momen pertama aku tahu tentang aseksual. Kami nggak ngobrol beberapa hari, aku coba cari di internet, nggak banyak media kita yang membahas hal itu, tapi aku nemu satu artikel yang akan aku inget ini seterusnya, dari Tirto." Gue bahkan nggak tahu nama media Tirto. "Di sana dikasih cerita dulu, mungkin supaya orang awam kayak aku bisa ketarik untuk baca dan bisa mudah memahami." Mukanya serius banget, natap ke depan, sesekali lihat gue. "Ada dua contoh yang dia kasih. Pertama, cerita salah satu Chef cowok di Jepang yang jual alat kelaminnya untuk dia hidangkan sebagai makanan." Refleks, gue terbatuk, kemudian buru-buru bilang maaf. Dia ketawa pelan, "Kaget?" "Banget." Lebih ke mual. Alat kelamin cowok memang enak, tapi bukan buat dimakan woy! "Kamu bilang, suka lihatin orang-orang sekitar dan main tebak-tebakan tentang mereka lewat ekspresi wajah dan tampilan, kan?" Gue mengangguk antusias. "Kadang, lebih baik nggak tahu terlalu jauh, Miya." Dia senyum. "Salah satunya ini. Sesuatu yang besar, aneh bagi beberapa orang dan mungkin ... terlalu tabu. Tapi, kita harus maksa diri untuk terbuka dengan hal-hal lebih luas dari ini. Karena dunia isinya nggak cuma aku, kamu, dia dan mereka. Ada banyak yang nggak kesebut di dalamnya." Semakin berat, Saudara, semakin pusing sekaligus merasa semakin tertantang untuk tahu lebih dalam. "Okay, gue dengerin, Mas. Silakan lanjut." "Sejak itu, aku berhari-hari cari tahu tentang aseksual. Salah satu yang masih aku inget, Anthony Bogaert, aku nggak tahu pelafalan namanya yang bener gimana. Dia bikin sebuah makalah 'Asexuality: What It Is and Why It Matters'. Kesimpulannya, kemungkinan ada satu persen dari seluruh populasi manusia adalah aseksual. Mungkin lebih dan nggak kedata, atau sekarang sudah nambah datanya." Bener ya, manusia memang beragam banget jenisnya. Dikasih seks enak, ternyata tetap ada yang nggak doyan. Gue masih fokus banget nyimak, ini sesuatu yang besar banget buat asupan otak gue yang isinya hiburan melulu. "Jadi, mereka nggak mau melakukan seks?" "Ada yang melakukan. Ada yang masih bisa terangsang, bisa ngelakuinnya, tapi ada juga yang sama sekali nggak pengen dan nggak punya gairah." Ini serius ya, demi apa pun, gue masih nggak tahu ini gue mimpi ngobrol masalah ini karena Tarangga orang yang 'begitu' atau gimana. "Kalau menurut kelompok AVEN, ada kok seorang aseksual yang berpasangan, intim, saling menyentuh. Disebutnya Romantic Asexsual. Ada juga yang sama sekali nggak mau terlibat hubungan, tapi ada juga yang Gray Asexsual, dia masih ngerasa abu-abu." "Apa itu AVEN?" "The Asexual Visibility and Education Network." Gue memijat kening, mulai pening. Literally pening. "Pusing ya?" Gue mengangguk otomatis. "Nggak usah dilanjut ya. Pelan-pelan aja." Gue menggeleng tegas. "Kenapa seseorang bisa jadi aseksual?" "Menurut yang aku baca, aku mungkin bisa salah interpretasi, atau aku melewati sesuatu, tapi yang k****a, penyebab aseksual pada manusia belum diketahui secara pasti. Dugaan sementara karena dipengaruhi dua faktor: internal dan eskternal." Mobil belok ke kanan, masih jalan lurus lagi. Sumpah ya, ini JAUH BANGET. Mending kalau gue diajak nginep abis ini. "Kalau faktor internal, bisa berasal dari genetik atau pengaruh hormonal. Sedangkan faktor eksternal bisa jadi karena lingkungan." Apa ini alasan kenapa Ibu suka bilang 'temenan tuh lihat-lihat, Miya! Sama tukang parfum ya bau parfumlah!' "Biasanya para aseksual sering dihubungin karena pola hidup yang individualis. Ini bisa ditemukan banyak terjadi di kota besar. Tapi, intinya tetap belum ada alasan pasti yang paling besar pengaruhnya." Gue penasaran sama yang ini ."Terus mantannya Mas termasuk yang mana?" Udah terlanjur separuh otak gue hilang, masa informasinya setengah-setengah. "Bagian ini, jujur Mas juga masih bingung. Kita temenan sudah lama. Mungkin ikatan yang terjalin ya sebatas itu. Dia nggak berani jujur, karena tekanan keluarga yang pengen dia nikah dan punya cucu." "Tapi dia mau ...." Gue boleh nggak sih ngomong seks? Kayaknya sih nggak apa, tapi kan dia ini orang beradab. Udah nanggung lah. "Ngelakuin seks?" Dia menoleh, menatap gue sekitar dua detik, terus balik ke jalanan. Gue masih merhatiin dengan saksama sampai akhirnya dia menggeleng. Anj*ng. Jangan sampai dia .... "Pelukan, ciuman, dia masih mau. Mungkin karena merasa nyaman, atau memaksa diri melakukan itu. Intinya, sama sekali nggak ada yang salah saat pacaran." Gue kayaknya mau gila. Dia belum pernah seks dengan si mantan istri. Harusnya, kalau sejak pacaran, mereka punya keinginan buat lakuin itu---maksud gue Tarangganya ya, karena yang cewek kan aseksual, pasti tahu masalah ini sejak awal. Yang itu berarti, Tarangga nggak melakukan seks sebelum menikah. Bisa jadi, kan? Atau .... cuma sama cewek ini doang? Lainnya, sebelumnya, bisa jadi. Kadang kan manusia nggak cukup satu tuh.  Semua bacotan gue ini biar mengarah ke kesimpulan kalau Tarangga bukan perjaka. Karena gue yakin kalau memang iya, gue bisa meninggal di tempat. Tapi, nggak mungkin gue tanya itu, udah gila kali. "Berarti itu salah satu bentuk kelainan seksual ya, Mas?" NAH LO! Apa yang dilakuin sama mulut b*****h gue ini. Padahal, otak gue udah bener banget kasih segala materi dan pembahasan, yang keluar malah pertanyaan biadab begitu. "Bukan, Miya," jawabnya tegas. "Aseksual bukan penyakit atau kelainan. Tapi bagian dari orientasi sama kayak kita. Ada heteroseksual, ada homoseksual, dan begitu pun aseksual." "Sorry. Gue beneran nggak niat buat ... iya, ini memang baru, gue minta maaf." "Nggak apa." Tangannya ngelus kepala gue, udah kedua kali. Mantap banget. "Ini masih tabu, masih baru, jangankan kamu yang heteroseksual, mereka yang aseksual sendiri pun kadang nggak sadar atau mungkin sama kayak Mala, merasa malu dan tertekan." "Siapa Mala?" Dia ketawa. "Mantan istriku." Gue ikut ketawa. "Sekarang, karena udah tahu, toleransinya harus ditambah. Ada banyak yang perlu jadi perhatian kita, Miya." Bener. Lo emang bener, Om-nya Azriel. Gue mingkem deh, lo gila. Malam ini totalitas ngebuka mata gue lebar-lebar. "Sekarang Mala itu di mana? Maksudnya, hidupnya gimana?" "Sudah jauh lebih baik. Perjuangannya memang nggak mudah. Dia harus meyakinkan keluarga dan orang sekitar kalau nggak apa menjadi aseksual. Makanya, aku nggak mau membiarkan dia berjuang sendirian. Aku bantu dia semampuku. Sekarang, aku bangga. Dia berhasil bikin satu komunitas khusus dan sudah ada beberapa yang mau speak up dan terlibat." Gue senyum lebar. "Rencananya, dia mau kontribusi bikin artikel, sebukan sekali buat disetor ke Data Utama. kalau perempuan, bakalan di-blast lewat email #KisahKami, dan yang lelaki, dijadikan artikel di Data Utama." Artinya ... mereka masih berteman baik. "Mas keren, bisa temenan baik sama mantan." Mukanya langsung berubah panik. "Apa itu sesuatu yang nggak bisa kamu terima?" "Nggak. Nggak apa." Gue ketawa pelan. "Cara orang menyikapi masalah kan beda-beda. Ada yang menganggap berteman dengan mantan adalah puncak kedewasaan, ada juga yang punya pandangan, dewasa nggak harus selalu bersikap baik, apalagi pura-pura. Menyudahi, artinya selesai. Kalau dianggap berhubungan dengan mantan bisa ganggu, maka udahan aja." Yang kedua adalah gue, hehe. Makanya gue berusaha banget ngomongin itu. Senyumnya lebar banget. "Kamu pernah dengar kalimat ini, 'kalau fisiknya cantik atau ganteng, biasanya otak dan attitude-nya nol atau sebaliknya'?" Gue mengangguk. Kalimat itu sering banget gue dengar dan baca. Jadi bahan ribut manusia-manusia yang entah kenapa nggak bisa milih hal lain ketimbang ngeributin hal begitu. "Tapi, kamu kok bisa lengkap semuanya, Miya?" SHIT. Ini gue yakin, karena info malam ini terlalu banyak dan besar banget, gue jadi bego. Otak dan badan gue kehilangan beberapa persen kinerjanya, makanya yang gue lakuin cuma meringis, kemudian nggak lama dia bilang restonya di depan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN