ENAM

1566 Kata
Gue emang udah gila. Cuma perkara pengen tahu duda itu rasanya gimana, gue beneran sekarang lagi siap-siap buat datang ke Hotel L yang disebut Tarangga. Dia sih ngajak bareng---lo bisa mencium bau-bau keberhasilan?---buat jalan ke sana, dan tentu aja gue tolak dengan berbagai cara dan upaya. Yakali, gue harus datang bareng dia, terus pasti kan di sana dia ketemu sama orang-orang acara, di-briefing apa lah. Terus dia mau ngenalin gue sebagai apa? Murid dan dia mentor? Makasih banyak, tapi gue nggak tertarik. Selesai nyatok rambut, gue buru-buru ambil totebag hitam dan memasukkan semua barang keperluan (handphone, tisu basah dan kering dalam versi mini, parfum, dan lain-lain lah). Gue pakai sneakers putih, langsung mematut diri sekali lagi sebelum menuruni tangga. Gue sih udah yakin banget nggak salah kostum. Kata om-nya Azriel itu, nggak ada tema baju khusus---ya iya sih, setelah gue pikir kenapa gue bodoh banget nanyain dress code, kayak party aja. Jadinya, gue memilih pakaian amat sangat santai dan berusaha buat nggak tampil tidak senonoh. Gue pake jeans, Bebs, santai. Atasannya kemeja putih yang gue masukin ujung bawah bagian kanan ke dalam celana. Biar agak selo gitulah. Kalau liat Tarangga waktu ke rumah Riana, dia nggak yang kaku-kaku amat kok, walaupun jenis sendalnya yang menurut gue tua banget. Yang gue sayangkan dari semua ini sih cuma satu: jam acara. Malam, woy. Jam 19.00- ... gue lupa. Seminar dan acara-acara bosenin sama sekali bukan untuk gue. Malam hari biasanya otak gue kehilangan beberapa persen kinerjanya buat mikir. Terus dua hal itu digabung, menurut lo ajalah gue gimana. Tapi, seperti yang gue bilang karena gue udah gila beneran, makanya gue iyain aja. Nggak usah banyak bacot deh, yuk buruan berangkat, keburu telat. Gue naik taksi online ngomong-ngomong, kata om-nya Azriel itu sih biar bisa pulang bareng. See, PDKT ini nggak berat sebelah. *** Rame amat ya. Perasaan gue datang pas---g****k banget, Miya. Seminar bukan kelas di kampus yang bisa datang sesuai jam dan masih dapat kursi. Ini nggak lucu banget kalau gue masuk ke dalam, ternyata beneran nggak kebagian kursi terus disuruh ngampar. Pengalaman gue ikut seminar yang kemudian nggak mau lagi. Tapi Tarangga juga nggak bohong, yang datang anak-anak muda banget dan ... rata-rata emang cewek. Ini karena mereka tertarik dengan temanya, atau cuma mau ketemu salah satu pembicara macam gue? Gue ketawa geli dalam hati. Well, mari kita mulai dengan berjalan menuju meja registrasi. "Malam, Kak. Ada tiketnya?" "Gue dapet undangan ini, Mbak." Gue menyodorokan undangan online yang dikirim sama Tarangga. "Bisa kan?" "Oh dari mas Aga ya? Sebentar, Kak." Gue bingung di tempat, dia nyamperin salah satu teman yang lagi berdiri ngarahin orang-orang yang mau masuk. Nggak lama, si dua panitia menghampiri. "Silakan masuk, Kak, biar dianter sama teman saya." O-ow. Gini rasanya punya orang dalam? Privilege emang nyata. Entah muka lo yang cantik atau ganteng, status sosial lo yang keren, atau kenalan lo yang punya pengaruh. Sama-sama enak. "Gue nggak telat kan, Mbak?" "Oh enggak kok, Kak. Kursinya udah disiapin. Di depan ya. Sebelah sini ikutin saya." Kampret kampret. Kenapa di depan? Kalau nanti yue beneran bosen, terus gue kudu gimana? Tapi, nggak mungkin juga gue bilang mau di belakang, namanya nggak menghargai. Ingat rules pertana, Tarangga orang beradab. Gue udah dapet kursinya nih. Beneran secara harfiah di depan. Sebelah gue ada cowok yang ... kayaknya seumuran gue, pakai jeans biru gelap dan flanel. Dia sibuk ngeluarin notes kecil, pulpen, dan handphone untuk ... record? Oh okay, ngerti banget. Mereka yang datang ke sini mungkin sebagian besar memang berniat untuk menggali segala ilmu yang ada. Tapi, apa nggak ada yang ... "Gue bilang apa," Suara di samping kiri gue. Ternyata ada cewek lagi ngobrol sama sebelah kirinya lagi. Oh, satu geng mungkin. "Coba kalau tadi kita berangkat telat lima menit aja. Nggak akan dapet yang di depan." Malah seneng di depan? Udah gila. "Emang om Aga tampilnya jam berapa?" Tampil? "Di Twitter sih nggak ada gue liat. Bodo amat ah, gue mau liat Bena Kribo. Eh jangan lupa hape lo. Storiin ya, nanti bagi, jangan lo semua yang ngepost." Gue menutup mulut buat nahan senyuman geli. Ngerti kan sekarang kenapa gue demen liatin orang-orang? Suka aneh-aneh jenis manusia tuh. Kalau nggak keluar rumah, lo nggak akan ketemu sama yang beginian. "Halo semuanya!" Satu cowok dan cewek naik ke atas panggung. "Kok pada lemes? Karena malem ya? Tapi kan katanya anak muda, semangatnya manaaaa?" Suara tepuk tangan dan teriakan 'woooooooooooh' memenuhi aula. "Masih kurang kenceng. Kita di sini nggak denger. Suaranya manaaaaa?" "WOOOOOOOOOOH!" Gue ikutan tepuk tantgan, tapi nggak bagian teriak. Nggak kuat tenggorokan gue. Ngeri pita suara putus. "Manteeeeb. Gue mau ngucapin terima kasih banyak buat yang udah menyisihkan uang dan waktu untuk datang ke sini. Semoga ilmu yang didapat sepadan ya." Tepuk tangan lagi. "Sebelumnya gue mau ngenalin diri. Gue Ahmad dan ini partner gue." "Sasa." Lalu mereka ngomong barengan "Selamat datang di 'Muda itu Aku, Terbuka Adalah Caraku'! Udah tahu belum siapa aja yang bakalan ngisi acaranya?" Suara sahut-sahutan bergantian. Ada yang teriak 'udahlah', tentu aja cewek yang di sebelahku. Tapi dari belajang juga aku mendengar 'belum!'. "Kasih tahu mereka, Sa, siapa aja pembicara kita malam ini biar makin semangaaat. Ada Rachel Amanda! Ada Ti---" Suara mereka udah nggak terlalu terdengar saat cowok di sebelah gue mencodongkan badan buat ngajak ngomong. "Ya?" "Butuh note buat catatan?" Gue senyum. "Makasih tawarannya. Gue pake notes di hape aja." "Nggak pegel ngetik panjang?" Gue juga belum tentu nyatet. "Enggk kok. Udah biasa." "Yakin?" "Ya." Dia ngangguk, kemudian balik natap ke depan lagi. Gue pun mengikutinya. Dan, tepat saat itulah, Tarangga menaiki tangga kecil ke atas panggung. Dia melambaikan tangan ke semua peserta seminar, sedikit membungkukkan badan sambil tersenyum. Kemudian, saat mata kami bertemu, senyumnya makin lebar, dia memberiku ibu jari sambil mengangguk. Gue nggak tahu. Saat ke rumah mbak Zia, dia mempesona gue dengan pakaian rumah dan kacamatanya, sekarang, dia melakukan hal yang lebih dengan celana Chino abu-abu muda, atasan blazer yang semi-formal dan dalaman putih. Nggak jauh beda tampilannya dengan ... salah satu pembicara cowok di sebelahnya. Apakah ciuman lo semanis tampilan luar lo, Tarangga? *** Gue bosan, jelas. Ngantuk, udah pasti. Urutan setelah bosan adalah ngantuk. Laper, iya. Lo bayangin, gue di dalam itu tadi sekitar 2 jam entah kurang atau lebih. Kalau biasanya, mau take foto untuk endorse dan salah-salah mulu yang moto, rasanya gue udah mau terjun bebas. Dan, sekarang gue harus nunggu sedikit lagi. Tarangga chat kalau dia sedang jalan ke sini, nyamperin gue sebelum kami pulang---eh nggak tahu deng mau belok ke mana dulu. Nah, itu dia! Yang ditunggu-tunggu sudah datang. Dia agak sedikit berlari. Senyumnya merekah, ia memgembuskan napas beberapa kali. "Hai." "Hai." "Evaluasi?" tanyanya, kami berjalan keluar area seminar buat ke parkiran. Gue ketawa. "Gimana? Seru kan?" Gue meringis, kemudian menggeleng pelan. Gue udah siap sih kalau dia bakalan kecewa, tetapi yang gue dengar malah suara tawa. Refleks gue natap dia bingung, dan dia balik natap. "Berarti bukan ini zonanya," katanya. Kemudian kami diam karena masuk ke lift bareng beberapa orang. Setelah sampai di parkiran, Tarangga membukakan pintu mobil buat gue masuk. Aroma maskulin langsung menyambut indera penciuman. Senggaknya dia bukan tipe yang bau mobil, gue sudah bersyukur banget. "Aku kayaknya terlalu percaya diri kalau kamu bakalan suka sama seminarnya." Dia ngomong selesai menyalakan mesin, mobil mulai jalan. "Ternyata enggak." Tawa kecilnya keluar. "Bukan yang nggak suka banget kok." Ini gue bukannya peres atau apa. Tapi, tadi ada beberapa topik yang menarik. Salah satunya adalah bagian---yang disebut sama cewek sebelah gue---Bena Kribo. Dia bahas tentang content creation. "Cuma, karena gue jarang banget ikut seminar, jadi harus adaptasi." Dia noleh, senyum. "Ini udah sesuatu yang bagus lho, gue nggak keluar di tengah acara." "Biasanya langsung keluar?" "Iya. Seminar bagi gue bosenin banget. Isinya motivasi yang sebenernya nggak gue perluin banget." "Apa yang kamu perluin, Miya?" Gue kaget. Tapi buru-buru mengendikkan bahu. "Enggak tahu juga. Tapi, dengerin orang ngomong yang gue udah tahu inti omongannya, semacam membuang-buang waktu? Eh sorry, ini bukan berarti---" Gue kehabisan kata-kata dan menyesali mulut biadab ini. "Nggak apa. Nggak perlu say sorry. Ini medianya aja yang beda. Ada orang suka dengerin orang ngomomg ketimbang harus baca sendiri, ada juga yang sebaliknya." "Nah, gue mending yang kedua." "Baca sendiri?" Gue mengangguk. Daripada buang banyak waktu buat datang ke acara, duduk capek, dan kadang harus menunggu lama. "Kalau gitu hadiahnya jadi aku kasih." Hadiah? "Di kursi belakang ada kotak, tolong ambil karena aku agak susah." Gue nurut, ambil kotak warna hitam berpita merah. Apa ini? Dress? Berlian? Tapi masa segede ini kotaknya. Gila, nggak Azriel, nggak om-nya, sama-sama berjiwa g***n. "Itu hadiah karena kamu sudah datang ke seminarnya. Tadinya aku mau nggak jadi ngasih waktu tadi kamu bilang nggak suka acaranya, tapi begitu kamu bilang suka baca, aku kasih aja. Silakan dibuka." Gue bengong untuk beberapa detik karena menemukan sebuah buku bersampul biru muda dengan tulisan warna putih dan ada gambar tuyul botak. Generasi Langgas. Yoris Sebastian, Dilla Amran, dan Youtu Lab. Baru kali ini, PDKT dikasih hadiah buku. Biasanya buket bunga, cokelat, sepatu, atau dress. Dia menoleh, gue buru-buru senyum lebar. "Itu cocok banget dibaca sama seusiamu." "Oh! Makasih banyak. Cover-nya lucu." "Kembali kasih." Lalu, suasa hening. Kami diam menikmati pikiran masing-masing. Gue sih nggak tahu pikiran dia gimana, yang jelas gue lagi mikirin banyak hal. Anehnya Tarangga, sopannya dia, baiknya dia ... lalu kekurangannya apa? Hm, biasanya kekurangannya fatal banget yang begini. Sekalinya keluar, bikin lo bener-bener kudu milih: selesai atau mundur. Sama aja intinya. "Ohya, Miya." Kami saling tatap lagi. "Kamu ... free?" Gue mengangguk tanpa ragu. "Malam ini free, besok baru nggak free karena harus nemenin Devi. Ingat kan Devi yang gue ceritain?" "Devi inget." Dia ketawa pelan. "Tapi, yang kumaksud free adalah ... kamu nggak lagi dekat dengan seseorang? Do you have a boyfriend?" Gue menelan ludah. "Biar nggak jadi salah paham ke depannya, biar clear. Keberatan untuk menjawab?" "Oh enggak." Dia benar. Bisa aja kan gue mau datang ke sini cuma karena perasaan nggak enak menolak dan sebenernya gue punya pacar. Seenggaknya itu tebakan gue soal apa yang dia pikirin. "Gue free. Available. Kayak barang ya?" Kami sama-sama ketawa lagi. Lagian, masa nanya status seseorang pake kata 'free'. Tapi, ya bingung juga sih nanyanya pakai kata apa. Lalu, dia ngomong pelan, sesuatu yang sebenarnya nggak perlu dia omongin karena gue udah tahu. "Aku juga," katanya. Smooth banget, Om. Okay, kode diterima! Jadi, menurut lo, ke mana lagi hubungan ini akan berjalan kalau bukan sesuatu yang menyenangkan? Everyone, please take a seat, dan jadilah saksi dari kisah hidup gue.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN