SESUAI DUGAAN BIK SIWA

1126 Kata
“Miss Lala, hari ini kamu berangkat bersama dengan Senja. Bik Siwa tidak perlu mengantar. Lalu nanti pulang baru Bik Siwa menjemput Senja.” “Baik Pak,” jawab Pelangi di ruang kerja Biru pagi ini. Dia dipanggil ke ruangan itu sebelum sarapan. “Lalu kalau mau kuliah nanti kamu diantar mobil saja ada satu mobil lain yang akan antar jemput kamu kuliah. Bukan mobil yang dipakai Senja,” jelas Biru. “Apa tak bisa saya pakai motor saya kemarin saja Pak?” tanya Pelangi pelan. Dia bingun mengapa harus antar jemput dengan mobil. “Apa kamu nggak punya malu? Kita sudah pakai alasan motor itu kamu jual, lalu sekarang kamu mau pakai motor itu lagi. Bagaimana logikanya? Apa tak menghargai skenario agar orang yang bawa motor kemarin tidak dibilang mencuri motormu?” “Tapi saya lebih nyaman naik motor Pak,” bantah Pelangi. “Kalau mau naik motor nanti motornya kita siapkan berikut helm dan jaketnya. Tinggal kamu pilih saja mau pakai motor itu atau kamu nanti pakai mobil yang sudah siap. Jadi nanti saat kamu mau pulang dua-duanya sudah siap. Tinggal kamu pilih mau pakai yang mana.” “Tapi kalau untuk keamanan lebih baik kamu selalu dikawal sama sopir saja. Sopirnya bukan sekedar sopir biasa, tapi dia juga bisa ilmu bela diri.” “Saya tahu kamu bisa sedikit bela diri. Tapi kan tidak mumpuni kalau melawan orang itu. Jadi sebaiknya memang kamu ditemani oleh sopir yang untuk menjaga kamu. Tapi tak apa nanti semuanya sudah disiapkan. Tinggal pilihan kamu saja.” “Baik Pak,” jawab Pelangi. Dia jadi serba salah. Betul seperti dugaan bik Siwa tadi malam tentu pak Biru sudah menyiapkan semuanya. Tidak mungkin bilang motor sudah dijual tiba-tiba sekarang Pelangi pakai motor itu lagi. ‘Tapi motor apa ya gantinya?’ itu yang jadi pikiran Pelangi sekarang. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ “Senja pagi ini kamu berangkat sama Miss Pelangi saja ya. Nggak perlu diantar sama Bu Siwa kan?” kata Biru pada putranya saat bik Siwa mengantar majikan kecilnya yang sudah rapi dan siap sarapan ke ruang makan. “Iya aku sama Mommy saja,” balas Senja yang sedang diangkat Pelangi untuk di dudukkan di kursi khusus bagi Senja agar bisa sejajar sama dengan orang dewasa. “Ingat begitu masuk mobil, kamu sudah nggak boleh panggil Mommy. Harus biasakan panggil Miss Lala,” tegur Pelangi. “Iya Mom, aku ingat,” kata Senja. “Ya sudah, ayo kita sarapan,” ajak Pelangi, dia mulai menyiapkan celemek di d**a Senja dan memberi sarapan Senja. “Maaf, Non Pelangi makan siangnya mau bawa apa?” tanya bibik pelan. “Nggak usah Bik. Nanti saya jajan di kantin saja,” tolak Pelangi. “Kemarin tuan Biru sudah bilang, tiap hari Non bawa makan siang. Jadi kami harus menyiapkan jelas bibik bagian dapur. Pelangi mengangkat wajahnya memandang Biru. Biru tak peduli, dia tetap menyeruput kopi miliknya. “Kalau seperti itu nggak perlu tanya sama saya Bik. Siapkan saja apa yang ada. Jangan merepotkan. Saya akan makan apa yang disediakan,” kata Pelangi jadi tak enak. Julanar tentu saja sangat senang ternyata Pelangi memang tidak aji mumpung sama sekali. “Ya sudah Non, nanti setiap hari Senin sampai hari Kamis saya akan siapkan makan siang karena perintah tuan Biru seperti itu. Hari Senin sampai hari Kamis Non membawa makan siang dari rumah.” “Iya Bik. Nggak usah tanya lah. Saya akan makan apa yang dibawakan.” “Baik Non, saya permisi,” kata bibik. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ “Kalau tidak salah dia tak punya alergi, tapi dia tak terlalu suka pedas, itu yang saya tahu dari teman-teman guru, kalau saya dengar-dengar,” kata Siwa padahal dia hafal karena Pelangi dulu adalah majikannya. “Dia nggak bisa makan tanpa rasa cabe, tapi nggak bisa terlalu pedas. Aku waktu itu ketawa saja dalam hati mendengar dia cerita seperti itu pada temannya,” ungkap bik Siwa lagi. “Oh begitu. Ya alhamdulillah kalau dia nggak punya alergi. Jadi kan aku nggak salah-salah nyiapin makanan untuk Non Pelangi. Karena kemarin tuan Biru sudah bilang harus dibawakan makan siang, sebab dia setiap hari dari rumah bawa makanan sendiri.” “Iya dia sendirian, jadi dia bawa makan siang. Habis itu kan dia ke kampusnya,” jawab Siwa. “Tuan Biru memang sangat perhatian ya.” ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ “Mengapa dia turun dari mobil dan siapa anak itu? Apa itu hasil pembicaraan kemarin di café?” tanya Hasto yang pagi ini sudah menunggu Pelangi di depan kantor Yayasan. Kemarin Hasto lihat semua, dia tigak cemburu karena dia lihat Pelangi hanya bicara dan dapat nomor telepon majikannya sebelum ke kampus dan mereka bicara berjauhan juga terlihat gestur tubuh Pelangi kaku berdiri di depan lelaki itu. “Siapa laki-laki kaya yang bisa membuat Pelangi menjemput anaknya?” “Tapi buat apa dia kerja di lelaki tersebut kalau dia sudah kerja sebagai guru. Mengapa harus double? Kan dia kuliah sampai sore tiap hari sampai hampir magrib. Lalu buat apa?” “Apa dia sangat kekurangan uang sehungga kerja double? Aku tak bisa menafkahinya karena rekening lamanya sudah dia tutup. Aku sudah satu minggu ngeliatin dia pulang maghrib dari kampus. Lalu anak itu kapan dia ajar?” “Tapi apa benar orang tua si anak yang jadi majikannya Pelangi sekarang? bukan orang lain? jangan-jangan orang lain,” Hasto berdebat dengan dirinya sendiri. Dia sangat ingin memberi uang pada Pelangi. Bahkan sejak menikah saja uang dari Hasto tak pernah Pelangi gunakan. Kartu kredit tak pernah dia gunakan. Perempuan lain tentu akan selalu menuntut jatah rutin. Tapi Pelangi tidak. Bahkan untuk dapat nomor rekening tabungan Pelangi saja dulu Hasto mengancam bapak mertuanya dulu baru Hasto bisa dapat nomor rekening dari Pelangi. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ Hari ini Pelangi membawa anak-anaknya asuhannya olahraga di teras sekolah. Hasto memperhatikan anak yang diantar Pelangi tidak mendapat perhatian istimewa dari Pelangi. Perilaku Pelangi pada anak itu sama saja terhadap siswa lainnya. Jadi buat apa orang tuanya memperkerjakan Pelangi kalau Pelangi tidak memberi perhatian lebih atau perhatian istimewa sesuai dengan uang yang dia bayarkan? Benar-benar Hasto jadi tambah bingung apa motivasi orang tersebut. “Maaf Pak. Sudah dua minggu ini kami perhatikan Bapak selalu memperhatikan sekolah kami. Entah Bapak pakai mobil atau pakai motor. Sebenarnya motivasi Bapak itu apa ya?” Tanya satpam dia bersama tiga orang satpam menghampiri Hasto. “Saya mengamati istri saya,” kata Hasto dengan tenang. “Kalau istri kok bisa diamati? Memangnya nggak tinggal satu rumah? Kan aneh Pak. Dan kalau saya lihat di data Bapak, Bapak tidak beristri. Data Bapak sudah kami lacak di internet. Bapak itu baru keluar dari penjara karena membunuh anak kandung Bapaak lalu bapak pergi menyepi di Australia dan Bapak tidak punya istri, karena Bapak sudah memberi talak 3 pada istri Bapak.” “Datanya ada di kami ini Pak. Jadi sekarang kami bertanya maksud Bapak apa ya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN