KANGEN GERHANA

1035 Kata
“Aku mah bodo amat. Aku nggak pernah mau kok sama laki-laki enggak ada guna seperti Hasto. Memang dia bisa apa? Kalau nggak karena perusahaan papanya dia nggak bisa apa-apa. Aku rasa nilai kuliahnya juga karena uang. Memang di perusahaannya dia bisa melakukan apa?” “Hasto punya jabatan karena bapaknya yang punya perusahaan, tapi otaknya kosong kok. Buktinya disuruh perkos4 aku dia mau. Kalau dia punya otak kan dia enggak mau karena mikir resikonya.” “Iya ya, gimana nasib Dwi sekarang ya?” Siwa jadi ingat sosok perempuan yang tidak cantik juga berbadan kurang proporsional yang sering dibawa Hasto untuk memanasi Pelangi dulu. “Aku juga nggak pernah tahu. Sejak dia SMA itu aku sudah males sama Dwi kok Bu. Dia dengan bangga bilang cerita diperawanin sama Hasto. Lalu dia cerita setiap hampir dua hari atau tiga hari sekali mereka melakukan hal itu dengan bangga Dwi cerita ke aku Bik.” “Waktu aku tanya ke Dwi memang kamu nggak takut hamil? Dia bilang nggak akan pernah hamil karena habis melakukannya Hasto pasti akan langsung kasih pil untuk dia minum.” “Aku jawab saja ya nggak usah diminum pilnya. Aku bilang gitu kan Bik. Kan kalau hamil dia pasti dinikahi Hasto, eh katanya Hasto pasti nyuruh minum di situ langsung. Habis minum mulutnya suruh dibuka dilihat kosong apa enggak Bik, karena Hasto enggak mau dibohongin Dwi cuma pura-pura minum obat itu. Gila ya Bik. Segitu takutnya dia punya anak sama orang lain, eh anak dari aku dia bunuh.” “Itu sama-sama gilanya sih Non. Yang perempuan gila mau saja di g****k-goblokin sama Hasto. Cuma buat ditunggangin doang. Hastonya juga gila, kalau nggak mau punya anak dari orang yang nggak dia cintai ngapain dia main perempuan. Atau paling nggak ya pakai pengaman lah.” “Hasto pasti nggak kepengen punya anak dari Dwi atau perempuan lain karena bibitnya kan jelek,” ucap bik Siwa. “Bisa jadi seperti itu Bik.” “Gerhana sebenarnya pintar kok, dia autis kan karena waktu pas aku jatuh empat bulan lebih, ingat kan Bik waktu aku kepleset, terus perdarahan. Mungkin itu. Tapi Hasto minta anak itu dipertahankan, padahal dokter bilang sepertinya lebih baik digugurkan saja. Tapi Hasto kan takut kalau digugurkan aku pasti kabur dari dia. Jadi aku disuntik penguat kandungan walaupun sudah perdarahan terus.” “mungkin itu sebabnya Gerhana seperti itu. Tapi tetap saja dia anak aku yang hebat kok. Dia ngerti apa yang kita ajak bicara kok.” “Iya den Gerhana ngerti kok. Kalau Bibik ajak ngomong juga mengerti. Tapi kalau sama orang lain dia memang tak mau respon. Mungkin dia tahu siapa yang menyapanya dengan cinta, atau hanya sekadar manis di mulut saja.” Mereka berdua akhirnya kangen sama Gerhana sosok yang menyatukan mereka. “Apa Pak Biru tahu kalau Bibik dulu pengasuhnya Gerhana?” “Nggak Non. Saya juga nggak takut kok kalau pun pak Biru tahu. Memang kenapa? Saya kan ketemu Non lagi sudah hampir dua tahun sudah dua tahun lebih sejak kita berpisah. Saya baru ketemu Non tiga bulan lalu. Selama ini kita juga nggak ada komunikasi sama sekali.” “Jadi nggak takut lah, memang lagian kalau dulu saya pengasuh Gerhana memang haram gitu? Kalau enggak boleh ya silakan saja cari yang bisa cocok sama den Senja.” “Kata orang-orang den Senja dari umur sebulan sudah rewel sama semua pengasuh. Jadi pengasuhnya nggak ada yang betah. Bahkan ada yang nekat ngasih minum obat tidur, tetap saja den Senja enggak mempan sehingga hasilnya tetap pergi. Dia baru kenal sama bibik Ketika dia berumur dua tahun.” “Oh begitu. Kita selama ini walau sudah bertemu tiga bulan lalu nggak pernah cerita sih ya. Kenapa Bibik bisa kenal sama keluarga ini? “Adiknya eyangnya Senja yang memperkenalkan saya. Sehabis den Gerhana meninggal kan saya pulang. Saya juga berhenti dari sana. Ngapain saya di sana nggak ada Non. Akhirnya adiknya eyang bilang mau coba nggak kerja di rumah keluarga Syahab. Tapi anaknya rewel. Super rewel.” “Sampai sekarang nggak ada yang bisa ngeladenin dia. Katanya paling lama seminggu atau 14 hari lah gitu. Ya Bibik coba saja kenapa, kok ada anak yang seperti itu.” “Kasihan banget den Senja waktu umur dua tahun. Badannya kecil kurus karena nggak ada yang bisa nyuruh dia diem atau makan atau minum.” “Pertama Bibik datang dia langsung Bibik peluk, dia Bibik sayang seperti ke den Gerhana. Senja terus diem. Akhirnya ya sudah sampai sekarang sudah dua tahun Non.” “Kasihan Senja ya Bik. Kok mamanya cerai ya sehabis lahiran. Tadi papanya bilang seperti itu.” “Itu ceritanya panjang Non. Saya juga dengar dari para pembantu di sini.” “Kenapa Bik?” tanya Pelangi. “Jadi mamanya itu sebenarnya bukan cinta sama den Biru, dia itu pacaran sama papanya Senja atau den Banyu.” “Senja bukan anaknya Pak Biru?” kata Pelangi kaget. “Non belum tahu kalau Senja itu bukan anaknya Pak Biru?” “Saya kan baru kenal Senja dua minggu ini Bik. Mana saya tahu? Itu pun karena Miss Anin minta tolong, jadi saya tahu dia, kalau nggak saya nggak kenal Senja lah.” “Oalah saya kira memang sudah tahu Non,” kata bik Siwa. “Jadi neng Wangi itu itu pacarnya den Banyu.” “Sekarang Banyu-nya ke mana?” tanya Pelangi penasaran. “Sudah meninggal sejak Senja di perut Non.” “Kalau yang Bibik dengar, ceritanya Neng Wangi dan den Banyu memang backstreet dari keluarga neng Wangi, karena keluarga neng Wangi nggak bolehin neng Wangi pacaran sama orang yang tidak bisa diharapkan kekayaannya.” “Kalau den Banyu kan bukan pewaris perusahaan. Semua itu kan nanti pewarisnya den Biru. Akhirnya neng Wangi bilang sama den Banyu dia pura-pura pacaran sampai menikah sama den Biru dulu biar orang tuanya senang. Nanti habis itu dia bercerai baru nikah sama den Banyu.” “Neng Wangi bilang kan kalau dia menikah sama den Biru mereka malah bisa sering ketemu secara terbuka karena mereka ipar, enggak sembunyi-sembunyi.” “Begitu katanya sih pura-puranya. Tapi saya nggak tahu kenapa den Banyu ngasih izin. Kan biar bagaimana pun Namanya den Biru sudah menikah sama neng Wangi enggak mungkin enggak nyentuh. Masa den Banyu kasih?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN