Happy Reading
Mutia merasa begitu kecewa melihat sikap Alva yang semakin dingin dan tidak peduli padanya. Sakit, perih, marah, dan kesal sebenarnya sudah menjadi makanan sehari-harinya saat menghadapi sikap Alva yang seperti itu, tetapi dia tetap bertahan selama bertahun-tahun berada di samping Alva–sebagai sekretarisnya. Bukan sekretaris utama sebenarnya, melainkan hanya sekretaris kedua atau second secretary karena Alva memiliki sekretaris utama atau kepala sekretaris yang bernama Dewi.
Mutia bertahan hanya agar dia bisa dekat dengan Alva. Bisa bersamanya setiap hari, memandangnya setiap saat ketika Alva masuk dan keluar dari ruang kerjanya. Sebenarnya Alva sudah memberikan tembok tebal di antara mereka setelah perceraian. Hanya saja, Mutia ini bebal dan masih memiliki harapan yang tinggi untuk bisa mendapatkan Alva kembali. Akan tetapi, dia lupa jika sebenarnya Alva tidak pernah mencintainya, hanya sebatas–suka karena Mutia dulu sangat manipulatif.
Memainkan perasaan dengan licik, menyingkirkan Aluna dengan fitnah keji dan hal itu yang benar-benar membuat Alva semakin jijik pada sang mantan istri.
Jadi, jika Mutia masih merasa percaya diri bisa mendapatkan Alva kembali, semua itu hanya ada di angannya saja.
Mutia menatap nanar jalanan yang sangat padat itu, dia saat ini sedang duduk di sebuah cafe di pinggir jalan–sendirian setelah pulang dari rumah orang tua Alva. Di mana dia sama sekali tidak dianggap. Tadi saat baru datang, Mutia melihat mantan mertuanya duduk bersama. Akan tetapi, sang mantan papa mertua langsung berdiri dan pergi ketika dia datang. Meskipun begitu mantan mama mertuanya masih sedikit memiliki perasaan dengan menyambutnya seperti tamu asing.
Kedatangan wanita itu juga memiliki alasan yang sangat kuat. Dia melihat Alva sedang bersama seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar lima tahunan dan wajah anak itu benar-benar sangat tidak asing baginya.
"Aku harap dia bukan anakmu, Al. Tapi, kenapa dia begitu mirip denganmu," gumamnya. Sesaat kemudian dia menggeleng. "Kamu nggak punya keponakan cowok seusia itu."
Mutia tentu tahu seluk-beluk keluarga Xanders dan Alva memang tidak memiliki keponakan kecil, seluruh keponakannya sudah di atas usia 10 tahun. Jadi, jelas sekali anak laki-laki kecil itu bukanlah keponakan Alva.
"Lalu dia siapa? Jelas sekali aku mendengarnya sendiri kalau anak laki-laki itu memanggil Alva dengan sebutan Om."
Mutia kembali menggelengkan kepalanya, tidak mungkin 'kan itu anaknya Alva? Lalu ibunya siapa?
Memikirkan hal itu benar-benar membuat Mutia pusing. Belum lagi tentang Aluna dan kepergiannya yang membuat Alva menjadi gila–maksudnya gila karena Alva benar-benar kehilangan Aluna.
Mutia tidak pernah mengira jika kepergian Aluna berhasil merubah sosok Alva yang dulu sangat hangat menjadi begitu beku–dingin. Seperti kulkas dua pintu dan gila kerja. Semenjak sahabatnya itu pergi, Alva menjadi pria yang sangat ambisius dan tidak kenal lelah. Dia hanya melakukan kerja dan kerja. Kehidupannya sungguh sangat monoton dan membosankan. Itulah kira-kira yang Mutia lihat. Bahkan Mutia tahu kok kalau Alva masih sering pergi ke rumah Aluna dan berharap jika sahabatnya itu pulang.
Mutia tahu jika Alva begitu mencintai Aluna. Pria itu mengakuinya sendiri dengan terang-terangan. Sakit sekali rasanya, tetapi Mutia bisa apa? Sejatinya Alva memang mencintai sahabatnya itu.
"Aluna, di mana kamu sekarang? Apakah kamu pergi karena pernikahan ku dengan Alva? Apakah kamu merasa tidak kuat melihat kami bersama," gumamnya.
Mutia senang bisa melihat Aluna kalah telak darinya, dengan mendapatkan Alva, tentu pasti Aluna akan sangat sakit hati. Dia tentu saja bangga memamerkan kemesraan di depan Aluna–dulu. Itu dulu sekali saat dia dan Alva masih menjadi sepasang kekasih. Mutia senang bisa melihat wajah kecewa Aluna.
"Kamu memang nggak pantas buat Alva, bagus kamu pergi jauh dan nggak usah kembali lagi."
Akan tetapi, bayang-bayang anak laki-laki kecil itu benar-benar mengusik Mutia. Tiba-tiba matanya membulat sempurna ketika memikirkan Aluna dan Alva di masa lalu.
"Jangan bilang kalau anak kecil itu anaknya Aluna dan Alva?!"
***
Bima menatap putrinya yang tengah menyuapi Valen. Mereka sedang makan malam, Papa Bima baru pulang dari rumah sakit dan sekarang yang menjaga Mama Indira adalah Tante Ajeng–adik dari Bima.
"Besok Mama sudah boleh pulang, kesehatannya sudah membaik, terima kasih ya, Nak. Sudah mau menuruti permintaan Mamamu untuk kembali," ujar Bima.
Aluna yang mendengarkan hal itu langsung menatap sang papa. "Jangan seperti itu Pa, Luna jadi nggak enak sendiri karena mama seperti ini juga pasti gara-gara Luna. Seandainya Luna bisa lebih memikirkan mama dan papa, pasti semuanya tidak akan seperti ini. Maafin Luna yang selama ini egois, hanya mementingkan perasaan Luna sendiri, tapi sekarang Luna udah bisa menata hati dan perasaan, jadi Papa dan Mama nggak perlu khawatir lagi."
Papa Bima tersenyum, dia senang akhirnya putrinya bisa bersama dengan keadaan.
"Oh, ya Pa. Luna kemarin ditawari pekerjaan sama temen Luna, dia katanya mau resign karena hamil. Sebenarnya pekerjaannya sih nggak begitu cocok buat Luna, tapi bisa sih dicoba dulu, menurut papa gimana?" tanya Aluna.
"Kalau itu sih terserah kamu, nak. Kalau kamu nyaman sih Papa nggak masalah. Kamu kan nggak mau kerja di perusahaan sendiri. Ya, senyaman kamu aja, Papa pasti akan selalu dukung."
Aluna tersenyum. "Makasih, Pa."
***
Akhirnya Indira sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik. Wanita paruh baya itu sangat senang bisa berkumpul dengan anak dan cucunya. Dia terlihat sehat sekali dan hal itu membuat Aluna merasa lega dan bahagia.
"Akhirnya, kamu dan Valen bisa berkumpul dengan Mama dan Papa di sini," ujar Indira yang sejak tadi tidak melunturkan senyumannya.
"Luna udah di sini, Ma. Nanti Valen juga akan Luna daftarkan TK."
"Janji nggak pergi lagi, ya sayang. Mama lebih suka kalau kita bersama seperti ini. Mama janji bakal melindunginya kamu dan Valen agar tidak ada yang menyakiti kamu lagi, nak." Aluna tersenyum haru mendengar ucapan sang mama
Luna paham jika kedua orang tuanya itu pasti akan melindunginya seperti selama enam tahun ini ketika dia di luar negeri.
"Iya, Ma. Makasih, ya?"
"Mami, boleh nggak Valen main sama Om Alva lagi?" Tiba-tiba Valen datang berlari ke arah Luna dan mengatakan hal tersebut.
Aluna dan Indira saling menatap kemudian melihat seorang wanita yang datang tergopoh-gopoh.
Sintia yang baru datang dari luar mengejar Valen pun hanya nyengir membuat Aluna curiga. "Anu ... di luar ada pak Alva, Bu," ucapnya dengan gestur wajah yang tidak enak karena Sintia tahu jika pasti Aluna tidak akan suka jika Alva datang. Kemarin malam saja Aluna sudah mewanti-wanti Sintia agar tidak memperbolehkan Valen bertemu dengan Alva. Apapun alasannya, supaya Alva tidak bisa bertemu dengan Valen.
Akan tetapi, sepertinya Sintia tetap kecolongan.
"Kenapa dia bisa ada di sini?" Indira yang bertanya, wanita itu menatap Sintia dengan kening yang mengkerut.
"Tadi 'kan saya dan Valen main di halaman depan, tidak tahunya pak Alva datang, bawa banyak makanan dan mainan untuk Valen. Sudah terlanjur Valen tahu, akhirnya mereka bermain dan saya tidak bisa mencegahnya, Bu." Aluna menghela napas mendengar ucapan Sintia.
Dia melihat sekeliling dah Valen sudah tidak ada. Pasti anak laki-laki nya itu sudah pergi keluar lagi. "Ck, menyebalkan," gumam Aluna. Valen pasti sudah bersama ayahnya lagi dan rasanya Aluna tidak ikhlas sama sekali.
"Biar Mama saja yang hadapi pria itu, kamu nggak perlu menemuinya," ujar Indira yang akan beranjak dari duduknya dan pergi, akan tetapi tangannya langsung di tahan oleh Aluna.
"Biar Luna aja, Ma."
"Tapi, nak—"
Luna tersenyum, "nggak apa-apa, Luna udah baik-baik saja, Ma. Luna udah menata hati, jadi lebih baik memang tidak udah menghindar terus."
Indira merasa terharu, matanya berkaca-kaca. Sepertinya memang putrinya itu sudah bisa berdamai dengan masa lalu yang membuatnya terluka.
"Baiklah, Mama akan selalu dukung kamu."
Akhirnya Aluna memutuskan untuk keluar rumah, ingin mencari anaknya yang saat ini sepertinya asik bermain dengan ayahnya dan Luna sangat tidak suka itu.
Dulu saja Alva tidak mau menerima Valen saat masih ada di dalam kandungan bahkan dengan tega memintanya untuk menggugurkan, lalu sekarang Alva dengan tidak tahu malunya datang seenaknya sendiri dan berusaha untuk menarik perhatian Valen. Sungguh Aluna tidak sudi.
Alva menangkap bola yang ditendang oleh Valen dan putranya itu protes karena tendangannya tidak gol.
"Yah, Valen nggak suka ah, mainnya kalah terus," ujar Valen dengan bibir mengerucut.
"Loh, kok gitu? Apa Valen sekarang gantian yang jadi kiper aja, ya? Papa eh maksudnya Om yang jadi stiker?"
"Malas Ah, nanti sama aja, Valen nggak bisa nendang dengan baik."
Alva tersenyum kemudian mengelus rambut sang putra. Valen ini mengingatkan dirinya ketika masih kecil. Suka marah dan keras kepala.
"Valen! Ayo mandi, udah sore ini!" Valen langsung menoleh ketika mendengar suara Maminya.
Alva juga langsung menatap Aluna yang tidak menatapnya sama sekali. Aluna berusaha mendekat ke arah mereka tetapi wanita itu hanya ingin mengambil Valen dan membawanya masuk.
"Tapi, Mi. Valen belum selesai bermain bolanya. Tadi Valen kalah dari Om Alva," rengek Valen.
"Tapi Valen udah bau kecut, mandi dulu, ya sama Mbak Sintia." Sintia yang merasa namanya terpanggil langsung mendekat dan menggendong Valen.
Setelah itu Aluna pun ikut masuk tanpa menyala Alva sama sekali dan hal itu membuat jantung Alva nyeri sekali.
"Lun, tunggu!"
Bersambung