Happy Reading
"Om, ini banyak sekali mainannya. Nanti Mami marah kalau Valen menerima pemberian sebanyak ini," ujar Valen saat mereka baru saja kembali dari toko mainan dan makan siang di restoran mewah. Alva tentu saja tidak sendirian, dia di temani Sintia dan Burhan–pengawal yang bertugas menjaga Valen.
Tadi Burhan sudah menghubungi Bima dan mengatakan jika Alva ingin mengajak Valen pergi beli mainan dan jalan-jalan. Alva juga meminta izin langsung pada Bima dan pria paruh baya itu pun mengizinkan. Jadi, Alva memang sudah mendapatkan izin dari kakeknya Valen. Mereka berempat jalan-jalan ke toko mainan dan Alva membelikan banyak sekali mainan untuk sang putra.
Setelah selesai makan siang, mereka pulang dan Alva masih betah bermain dengan putranya itu sampai Aluna kembali dari rumah sakit.
***
Alva berjalan perlahan mendekati Aluna. Wanita itu terlihat semakin dewasa, cantik, dan garang. Itulah kesan Alva saat ini pada Aluna. Jantungnya sejak tadi bergemuruh, perasaannya membuncah bahagia. Wanita yang telah dia rindukan selama bertahun-tahun kini ada di hadapannya. Wanita yang telah dia sia-siakan perasaannya selama ini karena tidak mau persahabatan mereka hancur. Nyatanya hatinya lebih hancur lagi saat Aluna memilih membencinya setelah semua yang dia lakukan pada ibu dari anaknya itu.
Ya, Alva seorang duda yang memiliki anak, tetapi bukan dari mantan istrinya karena selama menikah bahkan Alva tidak menyentuh Mutia sama sekali. Pikiran Alva selalu tertuju kepada Aluna.
"Lun ...."
"Pergi!" Hanya itu yang diucapkan Aluna. Dengan datar dan kalem, tetapi bisa menghunus tajam ke dalam hati Alva. Aluna tidak berteriak karena tidak mau Valen mendengarnya. Anaknya itu pasti akan mendengar dan bertanya-tanya kenapa Maminya teriak. Valen itu anak yang cerdas, bisa membaca situasi yang tengah Maminya hadapi. Maka dari itu, Aluna harus pintar-pintar menyembunyikan emosinya di depan Valen.
"Maafin aku, Lun."
Aluna mengangkat sebelah alisnya mendengar Alva memanggilnya dengan sebutan "Aku" padahal dulu pria itu tidak pernah memanggilnya seperti itu.
"Tidak akan dan jangan mengharap!"
Jawaban Luna benar-benar mengiris hati Alva. Dia tahu jika Aluna tidak akan mudah memaafkannya dan dia tidak terkejut akan hal itu. Tetapi, Alva merasa sikap tenang Aluna membuatnya semakin sakit. Apakah itu artinya Aluna sudah tidak merasakan apa-apa lagi terhadapnya? Jawabannya tentu saja "Iya" Aluna bahkan tidak berdebar sama sekali.
Dia sudah menyiapkan mentalnya dan hatinya saat memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Tentu saja Aluna sudah memikirkan jika di Jakarta dia akan bertemu kembali dengan masa lalunya yang begitu menyakitkan. Namun, bagi Aluna yang terpenting adalah Valen tidak pernah tahu siapa ayahnya karena sejak dalam rahim sudah tidak diakui.
Berdosa kah Aluna memisahkan Ayah kandungnya dengan sang anak? Salahkah jika Aluna tidak ingin memberitahu pada Valen siapa ayah biologisnya? Apakah Aluna harus menyerah begitu saja dan memberitahukan kepada Valen jika Alva adalah Ayahnya sedangkan selama ini Aluna yang merawat dan membesarkan Valen tanpa pernah melibatkan Alva yang sejak awal sudah menolak benih yang ada di rahimnya?
Alva bahkan tidak mau jika Aluna yang mengandung anaknya, Alva hanya mau jika Mutia yang menjadi ibu dari anak-anaknya. Kata-kata itu tertancap di otak Aluna dan dia tidak akan pernah melupakannya. Anggap saja saat ini mereka tidak pernah saling kenal karena ucapan Aluna dulu masih berlaku. Mereka bukan siapa-siapa lagi, tidak ada hubungan apa-apa diantara mereka.
Aluna tidak peduli, yang jelas dia tidak akan pernah memaafkan Alva dengan begitu mudah. Kalau perlu tidak usah ada adegan seperti ini. Alva meminta maaf dan memelas padanya dengan menampilkan raut wajah yang begitu menyedihkan.
"Lun, aku sangat menyesal. Aku-aku benar-benar minta maaf!"
"Ck, lo tuh budek, ya? Bebal!" Aluna malas menanggapi, dia langsung pergi meninggalkan Alva sendirian di ruang keluarga dan naik ke atas.
Aluna tidak mau peduli lagi Alva mau pergi dari rumahnya atau masih mau bertahap di situ. Yang jelas, keadaan Alva tidak mempengaruhinya sama sekali.
Aluna sudah benar-benar dalam fase mati rasa, dia tidak memiliki perasaan apapun pada pria itu. Mungkin hanya benci dan itu pun sudah sangat menjamur di hatinya.
Sedangan Alva sendiri akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Tidak ada gunanya juga dia tetap di sana. Yang penting tadi seharian dia sudah bermain dengan Valen. Itu sudah lebih dari cukup untuk mengobati kerinduan Alva selama ini. Apalagi itu adalah pertemuan pertama mereka, tetapi Alva sangat bersyukur putranya itu sangat welcome terhadapnya.
Selama di perjalanan pulang, Alva senyum-senyum sendiri seperti orang kasmaran. Bisa melihat kembali Luna yang selama 6 tahun ini menghilang benar-benar membuatnya begitu bahagia. Dia tidak peduli bagaimana tanggapan Aluna, yang penting sekarang sudah bertemu. Padahal Alva sudah membayangkan jika Aluna akan memukulnya ataupun menamparnya dengan keras. Kalau Luna melakukan itu tentu saja Alva akan sangat senang sekali. Lebih baik Aluna bersikap seperti itu daripada seperti tadi yang diam saja, datar, dingin, dan tatapannya terlihat begitu benci. Namun, Aluna tidak mau mendekatinya ataupun menamparnya seperti yang dia bayangkan. Seolah-olah hanya dengan menyentuhnya saja Aluna akan terkena bakteri, menganggap dia seperti virus yang menjijikan dan itu memang sangat membuat Alva kecewa.
"Nggak apa-apa, begini saja udah cukup, kok!" gumam Alva.
Pria itu memilih mengemudikan mobilnya ke rumah kedua orang tuanya. Alva ingin cerita jika dia sudah bertemu dengan Aluna dan putranya. Mumpung weekend, Mama dan Papanya pasti di rumah.
***
Alva terkejut saat masuk ke dalam rumah orang tuanya dia melihat seorang wanita yang sangat ia benci berada di sana. Wanita itu duduk di ruang tamu, ada sang mama di sampingnya. Alva tidak melihat mobil Mutia di depan, jadi dia tidak tahu kalau wanita itu ada di rumah orang tuanya. Kalau saja tadi ada mobilnya sang mantan istri, pastinya Alva akan putar balik karena malas sekali berhadapan dengan wanita itu kalau bukan masalah pekerjaan.
"Itu Alva, Mutia. Udah ya, Tante mau pergi. Kamu bisa bicara langsung sama Alva." Alva melihat mamanya berjalan ke arahnya setelah bangun dari duduknya yang tadi di samping Mutia.
"Dia katanya mau bicara sama kamu," bisik sang Mama kemudian menepuk bahu Alva dan berjalan menuju depan rumah. Entah kemana Mamanya itu akan pergi, sepertinya mamanya memang sengaja meninggalkannya bersama dengan Mutia.
Andini sekarang memang tidak lagi seramah dulu pada Mutia. Setelah aibnya dibongkar oleh Alva, Andini terlihat sangat kecewa dan sikapnya berubah menjadi dingin jika bertemu dengan mantan menantu. Berbeda dengan ayahnya Alva yang asli orang Amerika. Jack Ivanno Xanders lebih tidak peduli lagi dan tidak akan pernah menanggapi sapaan dari Mutia dan keluarganya.
Alva malas sekali menanggapi Mutia, pria itu memutuskan untuk pergi juga, untuk apa wanita itu mencarinya di rumah kedua orang tuanya. Ah, Alva lupa kalau Mutia tidak tahu alamat apartemennya yang sekarang. Jadi, mantan istrinya itu mencari di sini. Saat Alva membalikkan tubuh, Mutia memanggilnya bahkan dia sudah berada di belakang Alva.
"Alva, aku mau bicara. Ini bukan tentang pekerjaan, tapi ini masalah pribadi." Alva membalikkan badannya dan menatap Mutia dengan tatapan tajam.
"Tidak ada hal pribadi yang perlu kita bicarakan. Tidak ada hal yang menarik yang butuh saya tahu darimu. Jadi, jangan harap bisa menjadi lebih dekat lagi dengan cara seperti ini. Maaf, saya ada urusan lain."
"Aku tadi liat kamu sama anak laki-laki, wajahnya tidak asing. Siapa anak laki-laki itu?"
Deg! Alva terkejut mendengar ucapan Mutia, jadi wanita itu telah melihatnya bersama Valen. Siapapun bakal tahu kalau Valen itu adalah putranya karena kemiripan wajah mereka yang seperti pinang di belah dua.
Akan tetapi, Alva memilih tidak menjawab dan langsung keluar dari rumah orang tuanya tanpa mempedulikan Mutia yang memanggilnya lagi. Sikap Alva bahkan lebih formal lagi jika di luar pekerjaan terhadap wanita itu. Alva seakan membangun tembok tinggi yang kokoh di antara mereka karena Alva tidak akan membiarkan Mutia memasukkan kehidupannya lagi.
Bersambung.