Happy Reading
Alva menatap kedua orang tuanya yang tengah makan dengan tenang. Malam ini dia memang ingin menginap di rumah utama dan ingin menyampaikan sesuatu pada kedua orang tuanya.
Jack–sang ayah sejak tadi melirik Alva, merasa jika ada sesuatu yang ingin dibicarakan anak bungsunya itu. Tetapi, peraturan makan di keluarga mereka memang harus anteng dan diam selama makan. Tidak ada yang berani bicara saat tengah makan.
Di sudut sana, ada adiknya Alva dan istrinya yang sedang berkunjung juga. Namanya Rafka dan istrinya bernama Tania. Mereka tinggal di Bali setelah menikah dan di sana mendirikan bisnisnya sendiri. Keduanya menikah baru satu tahun dan belum dikaruniai anak.
Setelah selesai makan, akhirnya kelima orang itu pun pindah ke ruang keluarga karena memang ada yang ingin dibicarakan oleh Alva pada keluarganya. Mumpung Rafka juga ada di sini, jadi sepertinya dia juga harus tahu dengan kisah hidupnya yang sudah memiliki seorang anak dari perempuan yang dulu dia sia-siakan. Mama dan papanya belum tahu hal tersebut, Alva memang belum cerita masalah kehamilan Aluna dengan kepergiannya. Setahu Jack dan Andini, Alva selama bertahun-tahun tengah mencari keberadaan Aluna karena dia merasa kehilangan dan baru menyadari jika dia sangat mencintai sahabatnya itu.
Alva dengan jelas dan gamblang mengatakan pada kedua orangtuanya dan juga keluarganya jika dia mencintai Aluna, bahkan sebelum dia mengenal Mutia. Saat itu Andini langsung menjewer telinga putra sulungnya itu karena mempermainkan perasaan wanita. Jika memang sejak dulu Alva mencintai Aluna, kenapa di saat Aluna menyatakan cinta, Alva selalu menolak dan menegaskan jika dia hanya menganggap Aluna sebagai sahabat.
Lantas dengan entengnya dia menerima cinta Mutia, gadis yang belum lama dia kenal bahkan mereka diperkenalkan oleh Aluna sendiri. Bukankah hal itu pasti akan menyakiti sang wanitanya. Alva dimarahi habis-habisan oleh Andini, bahkan Andini mengatakan jika sebenarnya yang dia inginkan menjadi menantu adalah Aluna bukan Mutia.
Alva hanya bisa menangis dan menyesali perbuatannya.
Aluna dulu memang begitu dekat dengan keluarganya, wanita itu juga sangat dekat dengan ibunya, bahkan sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Andini dan Jack. Jika Aluna tengah main di kediaman Alva, Andini pasti mengajak Aluna membuat kue di dapur dan mencoba-coba resep masakan baru. Andini tidak memiliki anak perempuan dan dia begitu senang ketika Aluna selalu bisa membuatnya seperti memiliki seorang anak perempuan.
"Kak, ada apa? Apa yang ingin dibicarakan? Apakah masih tentang Aluna?" tanya Rafka. Sejak tadi Alva hanya diam, rasanya keadaan jadi tambah tegang.
"Iya, ini masalah Luna," jawab Alva menatap adiknya.
"Oh, shiit! Tebakan ku benar. Kamu tuh nggak mungkin ngumpulin kita kayak gini kalau bukan karena hal yang penting dan dalam hidup kakak yang paling penting itu adalah Aluna Sebastian."
Alva terkekeh mendengar jawaban adiknya, apakah terlihat begitu jelas jika dia memang menganggap Aluna dan anaknya sepenting itu di hidupnya. Tentu saja jawabannya "Iya" karena kedua orang itu sangat berharga.
"Pa, Ma, sebenarnya ada hal penting yang ingin Alva sampaikan." Alva menarik napas, rasanya deg-degan. "Aluna sudah kembali."
"Hah?!"
"Serius?"
Ucapan Alva membuat semua orang yang ada di ruangan itu shock. Tentu saja hal itu menjadi kabar bahagia, mengingat bagaimana perjuangan Alva selama bertahun-tahun ini mencari keberadaan Aluna, tetapi sangat sulit untuk dicari. Alva hanya mendapatkan clue jika Aluna tinggal di Inggris, tetapi dia tidak tahu di kota mana Aluna tinggal. Alva bahkan setiap tahun pergi ke Inggris hanya untuk menjelajah di setiap kota dengan harapan dia bisa bertemu dengan Aluna, tetapi tetap saja hasilnya nihil, dia tidak pernah menemukan Aluna.
"Kamu nggak sedang ngelindur 'kan? Aluna bener-bener sudah kembali atau itu cuman khayalan kamu saja? Mama hampir nggak percaya kalau Aluna kembali setelah bertahun-tahun dia menghilang," ujar Mama Andini.
Alva kembali terkekeh mendengar ucapan sang Mama. Melihat mamanya yang bahagia dia juga ikut bahagia. Sepertinya memang kebahagiaan keluarga ini dan juga Alva ada pada Aluna.
"Dia sekarang sudah berada di Jakarta, Ma. Ibunya sempat sakit dan dirawat beberapa hari di rumah sakit, tetapi sudah dibawa pulang karena kondisinya semakin membaik setelah putrinya pulang," ujar Alva.
"Oalah, kok kita nggak tahu ya kalau Indira sampai masuk dan dirawat di rumah sakit?"
"Papa tahu," sahut Jack.
"Kalau Papa tahu kenapa Papa nggak bilang sama mama, jadi nggak enak dong mama nggak jenguk Indira," jawab Andini dengan wajah sendu.
Mama Indira dan mama Andini memang bersahabat meskipun mereka bertemu setelah kedua anak mereka menjadi teman baik dan akhirnya kedua Mama pun ikut jadi besti.
"Belum sempat bilang sama Mama," jawab Papa. "Baru mau bilang sekarang tapi ternyata udah pulang."
"Yang jelas, kali ini kalian harus menyiapkan diri karena mendengar berita mengejutkan," ujar Alva menarik napas dalam-dalam.
"Apa sih, kemalaman kak," sahut Rafka.
"Iya, pakai acara menyiapkan diri segala." Kini Mama Andini ikut tidak sabar.
Sedang ayah Jack dan Tania–istrinya Rafka hanya diam menyimak.
"Sebenarnya ... sebenarnya Alva udah punya anak laki-laki, anak yang tumbuh dari rahim seorang wanita yang amat sangat Alva cintai—"
"What!" sela Andini dengan mata yang melotot sempurna. "Maksudnya kamu punya anak dengan Luna?"
Rafka dan Jack sepemikiran dengan yang dilontarkan Mama Andini karena wanita yang dicintai Alva hanya Aluna. Sedangan Alva sendiri langsung menelan ludah gugup. Kenapa respon sang Mama seperti itu?
"I-iya Ma, Luna hamil anakku dan—"
Sebuah bogeman mendarat di pipi Alva, dan yang menjadi tersangka pemukulan adalah sang papa.
"Dasar tidak tahu malu!" Alva memegang pipinya yang memerah bahkan sudut bibirnya sudah berdarah karena kerasnya Bogeman sang papa.
"Kapan, Al?!" Kali ini suara Mama lebih rendah tetapi pandangnya menatap wajah sang putra dengan tajam. "Ku harap kamu mengucapkan sebuah kebohongan!"
"Itu benar, Ma. Luna hamil sebelum Aku menikah dengan Mutia." Alva menatap satu persatu anggota keluarganya.
Pria itu ingin melihat reaksi keluarganya, tetapi sepertinya mereka hanya diam saja karena mungkin penasaran dengan ceritanya. Alva menarik napas dalam-dalam untuk mengisi rongga paru-parunya yang terasa semakin sempit
"Memang aku adalah laki-laki pengecut dan membuat kecewa Luna melalui kata-kataku yang bahkan meminta dia untuk menggugurkan kandungannya. Saat itu aku merasa galau karena dihadapkan dengan dua pilihan. Jika aku bertanggung jawab dengan menikahi Aluna, maka aku harus siap untuk melepaskan Mutia dan membuat nama baik keluarga besar malu dengan pembatalan pernikahan."
"Bodoh! Buktinya kamu juga nggak bahagia kan nikah sama Mutia!" seru Rafka.
"Mama nggak nyangka kamu bisa sejahat itu!" Andini sudah menangis.
Jack berdiri dari duduknya. "Ayo sekarang kita ke keluarga Sebastian, kamu harus tanggung jawab dengan nikahi Aluna!"
"Pa, apa selama ini Alva tidak berusaha melakukan itu?" Ya, semua orang tahu bagaimana Alva mencintai Aluna dengan ugal-ugalan setelah kepergian wanita itu. Mencari kesana kemari seperti orang gila. "Alva bahkan merasa malu saat ini karena Aluna bahkan tidak ingin aku kenal dengan putra kami."
***
Senin pagi selalu menjadi hal yang membosankan bagi Aluna. Jika biasanya dia sudah terbiasa dengan bekerja, bangun pagi dan menyiapkan semuanya. Sekarang dia hanya tinggal diam, duduk anteng dan semuanya sudah siap. Seperti Valen yang ternyata sudah wangi, ganteng, rapi karena sudah mandi. Bahkan sarapan pagi juga sudah disiapkan pelayan dan sudah tertata rapi di meja makan.
"Mami, ini pesawatnya ada pilotnya. Lihat!" Valen datang dan memperlihatkan pesawat mainan yang dibelikan oleh Alva. Di dalamnya memang ada pilotnya ternyata.
Aluna tersenyum dan mengusap kepala putranya. "Iya sayang, memang benar kalau yang menjadi sopir pesawat itu namanya pilot."
"Iya, di mobil-mobilan yang di kamar nggak ada yang nyupir tapi," ujar Valen kemudian.
"Hai boy, udah wangi banget." Papa Bima datang ke ruang keluarga dan langsung menggendong Valen, meletakkan sang cucu di pangkuannya. Menciumi pipi gembul Valen yang memang chubby itu.
"Kakek, geli!"
Aluna hanya mengeringkan kepalanya melihat dua pria beda generasi itu.
Tidak lama kemudian Mama Indira pun datang dan ikut bergabung bersama mereka. Duduk di samping sang suami yang tengah bermain dengan sang cucu.
"Pa, Ma. Hari ini rencananya Luna mau ketemu sama Dila buat bahas masalah pekerjaan," ujar Aluna.
"Loh, kok langsung kerja? Kamu nggak akan kekurangan uang meski gak kerja sekalipun, Nak?" ujar Mama Indira.
"Tapi, Luna udah biasa kerja, Ma. Rasanya badannya capek dan otaknya ngebul kalau nggak kerja tuh," jawab Luna tertawa kecil.
"Maksud Mama nggak usah buru-buru kerja, kami bisa santai dulu sebelum kerja. Mama nggak melarang, sayang," ujar Mama Indira.
Sebagai orang tua yang sudah bertahun-tahun tinggalkan pergi oleh Putri satu-satunya, dia ingin bisa lebih lama berkumpul, bersantai ataupun belanja sama-sama. Indira paham jika Aluna memang seorang workaholic.
Dulu sebenarnya Aluna bekerja hanya sebagai bentuk pelarian atas perasaannya pada Alva yang tidak pernah berbalas. Dia memilih menyibukkan diri dari pada harus menahan cemberut karena melihat Alva dan Mutia yang saat itu masih menjalin hubungan kekasih.
Akan tetapi, setelah bekerja Luna merasa betah dan hal itu benar-benar ampuh membuat pikirannya teralihkan.
"Kakek, turun," ujar Valen tiba-tiba.
Bima akhirnya menurunkan Valen yang sejak tadi merengek minta. Anak laki-laki berusia 5 tahun itu langsung berlari menuju Maminya. "Mami, kapan Valen mulai sekolah?"
Sebelum menjawab pertanyaan putranya, tiba-tiba salah satu art datang dan mengatakan jika ada tamu.
"Siapa pagi-pagi sekali bertamu?" tanya Indira.
"Anu, Bu. Yang ke sini Bu Andini."
Aluna yang mendengar nama itu mematung.
Bersambung.