9 : KDRT dan Rencana Perceraian

1741 Kata
Alasan Arsy keluar dari kamar setelah selesai menunaikan salat subuh, tak lain demi menghindari kebohongan yang bisa saja kembali Livy ciptakan seperti pagi kemarin. Bukan karena Arsy marah kerja kerasnya justru diakui orang lain apalagi itu oleh Livy, melainkan Arsy tak mau adanya dirinya di sana justru membuat Livy maupun Daven makin sibuk melakukan kebohongan sekaligus dosa. Sudah pukul lima pagi lebih, tetapi suasana masih sangat sepi. Livy belum ada di sana dan mungkin memang belum keluar dari kamar karena pintu kamar Daven saja masih tertutup rapat. Malahan, ibu Daryati yang datang di sekitar pukul setengah enam paginya, tepat ketika Arsy baru saja selesai mengepel ruang tengah lantai bawah. “Masih sepi banget, memangnya belum ada yang bangun lagi?” ucap Daryati dengan suara sengau khas suara orang baru bangun tidur. Dari anak tangga paling bawah, ia melongok pintu kamar Daven. Pintu kamar Daven masih tertutup rapat, terlepas dari ibu Daryati yang hanya mendapat senyum hangat dari Arsy sebagai jawaban dari pertanyaannya. Arsy tidak memberikan reaksi lebih selain terus bekerja. Kini, menantunya itu tengah mengepel lantai bagian ruang makan menuju dapur. “Mamah lewat dulu, yah, Sayang. Oh, iya hari ini kita mau masak apa?” ucap Daryati sambil melangkah hati-hati menuju dapur dan sebagian lantainya tengah Arsy pel. Membahas masakan, hati Arsy langsung ngilu. Bagaimana tidak? Kemarin setelah Arsy masak banyak, Daven dan Livy justru memesan banyak makanan hingga terjadi perdebatan keras di antara Daven dan orang tuanya. Orang tua Daven menganggap putranya itu tak menghargai kerja keras Arsy, tetapi Daven dengan tegas mengatakan tidak pernah meminta dimasakan oleh Arsy, selain Daven yang juga berkata tidak menyukai masakan kampung hasil masakan Arsy. Bagi Daven, tanpa memakan bahkan sekadar mencicipi, dirinya yakin masakan Arsy kurang sehat baik dari segi rasa maupun cara memasaknya. “Kita masak buat kita saja. Urusan Daven biar Livy yang urus.” Dari belakang, ibu Daryati tampak membuka kulkas dan sepertinya akan memilih bahan masakan. Sudah begini, memangnya mereka enggak mau memisahkan aku dari mas Daven saja, atau malah menceraikan kami? Pikir Arsy. Arsy bahkan merasa jauh lebih nyaman tinggal dipisahkan dari Daven, semacam tinggal di kontrakan kecil, atau malah Arsy tinggal di rumah orang tuanya, tanpa peduli status hubungan mereka. Livy kesiangan lagi. Tak ubahnya dikejar hantu, wanita itu melakukan segala sesuatunya dengan cepat. Bahkan meski Daven melarangnya pergi ketika ia baru saja memakai piama kimononya, Livy tetap memilih pergi. “Aku beneran enggak enak ke orang tua kamu, Sayang. Sekarang saja aku sudah b****k di mata mereka, apa jadinya kalau aku enggak ikut bantu-bantu?” ucap Livy sembari melangkah tergesa meninggalkan Daven yang masih duduk di tempat tidur. Tubuh bagian bawah Daven masih terlilit selimut sementara tubuh bagian atas, polos tanpa pakaian yang menutupi. Daven menghela napas dalam kemudian menggunakan kedua tangannya untuk menekap wajah. Tak pernah ia terpikirkan sebelumnya, kenapa keadaan justru membuat Livy harus berkorban? Kenapa orang tuanya cenderung berat kepada Arsy? Kalau begini terus, lebih baik aku menceraikan Arsy, tanpa peduli apa yang telah terjadi pada kami! Batin Daven. Tangan kanannya meraih pakaian miliknya yang ada di nakas. Ia memakai semua itu sebelum akhirnya ke kamar mandi, membasuh wajah dan juga menggosok gigi. Ia melakukannya dengan kekesalan yang sepagi ini sudah ia rasakan hanya karena memikirkan Arsy dalam hubungannya dan Livy. “Mbak, ... ya ampun, Mbak. Itu cairan pembersih lantai. Itu buat pel lantai, bukan buat pakaian.” Suara lirih Arsy barusan yang terdengar panik, sukses menghentikan langkah Daven. Tatapan Daven menjadi tajam seiring aroma cairan pembersih lantai yang tercium sangat kuat dari ruang pencucian. Segera ia memasuki ruang yang tak tertutup rapat tersebut. “Cuci tangannya yang bersih, Mbak. Takutnya iritasi semacam panas dan gat-tal ...?” Arsy tak kuasa melanjutkan ucapannya. Kedua tangannya pun tak lagi sibuk membantu Livy mencuci kedua tangan madunya itu karena seseorang mendadak mendorongnya. Arsy sempoyongan setelah sebelumnya menghantam tembok yang hanya terpaut satu meter dari keberadaan mesin cuci tempat ia membantu Livy mencuci kedua tangan Livy. Rasa panas dan juga pening di kepalanya, membuat butiran bening dengan sangat gesit berjatuhan dari kedua matanya, membasahi pipi. Kenyataan tersebut pula yang membuatnya memilih membelakangi keberadaan Livy yang kali ini didampingi Daven. Daven yang tadi mendorong tubuh Arsy sekuat tenaga hingga Arsy khususnya kepala Arsy menghantam tembok, kini memeluk Livy penuh kekhawatiran. Livy sampai tercengang, merasa ngeri dengan apa yang Daven lakukan. Ia tak bisa berkata-kata, dan memang tak mau membuat Arsy lebih baik di mata Daven sekeluarga. Bahkan sekalipun tadi Arsy tengah menolongnya, Livy tak mau menceritakan kronologi yang sebenarnya karena andai itu sampai terjadi, pasti Arsy akan dipandang baik oleh suami mereka. Tadi itu sebenarnya aku yang salah. Di dapur sudah enggak ada kerjaan dan mamah pun sampai sedang sarapan bareng papah. Aku sengaja mencari kesibukan, dan di sini aku melihat Arsy sedang memasukkan pakaian ke mesin. Aku yang gelisah sekaligus panik karena telanjur sadar aku pasti menjadi makin b****k di mata orang tua Daven, langsung mencari kesibukan dan berusaha mengambil alih pekerjaan Arsy. Arsy memang sudah minggir, memberiku kesempatan, tetapi akibat ketidaktahuanku dalam urusan pekerjaan rumah, aku justru melakukan kesalahan, batin Livy. Kini ia sudah ada di kamar Daven. Di wastafel depan kamar mandi Daven, ia membiarkan sang suami membersihkan kedua tangannya yang sudah disertai bentolan merah. Mungkin kulitnya langsung iritasi, seperti kata Arsy. Terlebih selain cairan pel Livy yakini mengandung bahan kimia keras, pada kenyataannya Livy memang tidak terbiasa berurusan dengan cairan tersebut. “Mbak Livy, Mbak enggak usah sekhawatir bahkan sepanik itu. Mbak mau belajar urus pekerjaan rumah saja, ini sudah hebat banget. Mbak memang enggak terbiasa melakukan pekerjaan rumah karena di rumah orang tua Mbak, semuanya sudah dikerjakan sama pembantu Mbak, kan?” “Sudah, enggak apa-apa, Mbak. Sebisanya saja. Cinta Mas Daven pada Mbak, enggak akan berkurang meski Mbak enggak bisa mengurus semua pekerjaan rumah, kok. Orang tua Mas Daven pun sebenarnya hanya berusaha adil kepadaku, mereka enggak membedakan kita.” “Namun andai Mbak mau, ... tolong bantu aku pergi dari sini, Mbak. Andaipun aku dan mas Daven memang enggak boleh bercerai, Mbak bisa tolong bantu aku agar Mas Daven membuatku enggak di rumah ini lagi.” “Hanya mas Daven yang bisa mengubah keadaan. Jadi karena Mbak menjadi orang yang paling dekat dengan mas Daven, dan mas Daven pun pasti jauh lebih mendengar kata-kata Mbak daripada orang lain termasuk itu ucapannya orang tuanya sendiri, aku benar-benar minta tolong, Mbak.” Kata-kata tersebut merupakan kata-kata Arsy. Mereka memang sempat terlibat obrolan, sebelum akhirnya Arsy meninggalkan Livy untuk menyetrika pakaian di sebelahnya. Tadu, Livy tak belum sempat menjawab, dan malah salah tuang cairan pembersih lantai yang Livy kira sebagai sabun pakaian. Kejadian yang langsung membuat Arsy membantunya, tetapi malah menjadi tragedi untuk Arsy. Livy yang sadar dan memang tak menutup mata meyakini, apa yang tadi Daven lakukan pada Arsy merupakan KDRT. Livy yakin, itu bukan gerakan refleks Daven dalam mengkhawatirkannya. Daven secinta itu ke aku. Bahkan karena cintanya yang terlalu besar kepadaku juga, hubungan rumit ini terjadi, pikir Livy yang kemudian mendekap tubuh sang suami setelah pria itu sampai membalurkan salep ke tangannya. Ia memilih bungkam, pura-pura menjadi korban tanpa mau membagikan kebenaran yang sengaja ia sembunyikan. “Aku akan menceraikan Arsy,” lirih Daven dan terdengar membahagiakan di telinga Livy. Sungguh tak ada yang lebih membahagiakan dari ketika keadaan membuat Livy harus berbagi, dan kini Livy sadar, dirinya akan menjadi satu-satunya wanita, dirinya sungguh akan menjadi satu-satunya ratu dalam hidup Daven! Dekapan Daven terhadap tubuh Livy makin erat. Livy memang sengaja tak membalasnya agar sang suami yakin, dirinya bingung dan tak sepenuhnya bahagia karena biar bagaimanapun, keputusan Daven akan melukai Arsy maupun orang tua mereka. Akan tetapi, Livy tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya bersama hatinya yang mendoakan, semoga dalam waktu dekat, perceraian Daven dan Arsy segera selesai. *** KDRT, Arsy menyadari dirinya telah mengalaminya. Terlebih tadi Daven langsung pergi begitu saja membawa Livy tanpa memedulikannya. Kenyataan yang juga membuat Arsy kesulitan meredam rasa nelangsa. Termasuk itu dengan air matanya yang masih kerap berlinang. “Umi ...?” panggilan barusan sukses mengusik Arsy. Melalui ekor lirikannya, Arsy mendapati Yama ada di sana, di balik gerbang yang belum lama ia kunci gemboknya. Tak mau makin bermasalah apalagi terkena fitnah, Arsy memilih pergi, meninggalkan depan gerbang yang sudah dihiasi terik matahari, dan tamannya sudah ia siram semua. Kendati demikian, di tengah langkah cepatnya yang memang meninggalkan Yama dengan berlari, Arsy kerap menoleh ke belakang untuk memastikan. Arsy takut, Yama nekat memanjat gerbang kediaman orang tuanya. Buuuk! Setelah tak sengaja menabrak seseorang dan Arsy yakini harusnya mereka ada di depan teras pintu masuk utama, lagi-lagi Arsy sempoyongan. Meski belum sampai memastikan, Arsy yang menunduk dan menyeringai mencoba meredam sakit efek benturan, yakin yang ia tabrak Daven. Ia hafal aroma parfum Daven, selain pria itu yang bukannya menolongnya bahkan sekadar memastikan keadaannya, justru malah memarahinya. “Kamu pikir rumah ini taman bermain hingga kamu lari-lari enggak jelas?!” “Sayang, aku sudah siap!” Baru saja, suara Livy terdengar ceria. Arsy menghela napas pelan kemudian memberanikan diri untuk menatap Daven. Ia dapati, tak hanya Daven yang sudah rapi dan sampai memakai setelan jas hitam lengkap dengan dasi. Karena hal yang sama juga terjadi pada Livy. Livy sudah sangat cantik memakai blus lengan panjang warna putih beraksen hitam pada bagian kedua lengan dan juga kerahnya, sedangkan bawahannya Livy memakai rok span yang meski panjangnya di bawah lutut, tapi memiliki belahan hingga paha, di bagian belakangnya. Bak ingin menegaskan bahwa mereka pasangan sempurna, Livy yang membiarkan rambut panjangnya tergerai dan tersapu indah akibat embusan angin, berangsur menggandeng sebelah lengan Daven menggunakan kedua tangan sambil menatap Arsy. “Bentar, Hon. Aku mau ganti baju dulu,” ucap Daven menegaskan ketidaknyamanannya. Ia juga sengaja menatap marah Arsy yang ternyata sudah menatapnya dengan tatapan heran. “Ganti baju gimana, baju kamu kan baik-baik saja, Sayang?” ujar Livy menatap bingung penampilan sang suami. Daven mendengkus kesal, ia belum sempat membalas Livy, tetapi dari dalam rumah, ibu Daryati memanggil-manggil Arsy. “Ayo, Sy. Temani Mamah ke salon.” Ibu Daryati menatap bingung kebersamaan di sana yang diselimuti ketegangan khususnya dari Daven dan Arsy. “Bentar, Mah. Aku ganti baju dulu, ini tadi kena najis,” ucap Arsy sambil melirik sengit Daven. “Oalah, ... ada gogok satpol yang lewat, yah, Sy?” Ibu Daryati menatap khawatir Arsy yang baru saja lewat sambil agak membungkuk di hadapannya. “Bukan, Mah. Itu dari tadi ada orang enggak waras, marah-marah terus, bahkan sampai ngamuk ke aku!” jelas Arsy tegas sambil melirik kesal Daven yang menatapnya dengan tatapan tak percaya cenderung murka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN