Pria bernama Yama dan dibilang ibu Daryati menjadi kurang waras semenjak ditinggal meninggal sang istri, sampai detik ini masih mengamati Arsy. Tak hanya ketika Arsy di jalan kemudian masuk ke area depan rumah. Karena kenyataan tersebut juga tetap berlangsung ketika Arsy memasuki area tempat cuci. Terlebih, sebagian atap dan dinding di sana dan menjadi keberadaan jemuran memang dalam keadaan terbuka.
Jujur, perhatian Yama membuat Arsy takut. Wanita bersahaja itu sampai menahan napas di beberapa kesempatan. Jangan-jangan, dia mengira aku sebagai istrinya? Pikir Arsy yang bergegas meninggalkan area jemuran. Ia memindah semua pakaian dari jemuran dan memang belum kering karena hujan telanjur turun.
“Masih basah, Sy?” seru ibu Daryati dari luar bersama langkahnya yang terdengar mendekat.
“I-ya, Mah!” Ketika Arsy memastikan keberadaan Yama di atas sana, di balkon sebelah jemuran kediaman orang tua Daven sedari tadi pria itu mengawasinya, lagi-lagi pria itu menghilang secara misterius. Bahkan Arsy sampai berujar, Yama memiliki ilmu atau malah ajian khusus yang membuat pria itu dengan begitu mudah menghilang atau malah tiba-tiba ada di tempat lain tanpa terduga.
“Ada apa?” lirih ibu Daryati sarat perhatian. Ia mengamati apa yang sempat menyita perhatian Arsy. Ia melongok ke belakang sana, ke area jemuran dan tak sampai ke area balkon rumah Yama, yang mana pria kurang waras itu sempat mengamati Arsy dari sana.
Senyum tulus masih terpampang sempurna dari wajah ibu Daryati ketika Arsy membalasnya dengan senyuman yang tentu saja terasa canggung.
Andai aku cerita, takutnya malah jadi masalah bahkan fitnah. Hati Arsy teriris perih karena wanita muda itu sadar, sekalipun dirinya seorang istri yang masih memiliki suami, ia tak mungkin meminta perlindungan atau malah mengandalkan suaminya. Keadaannya masih sama, tak ubahnya dipaksa menelan buah simalakama. Karena alasan tersebut pula, matanya berembun, mengiringi rasa perih yang tak hentinya mengiris hati bahkan kehidupannya.
“Kamu pasti kangen rumah, ya? Kamu kangen orang tua kamu?” ibu Daryati menebak-nebak bersama senyum di wajahnya yang kian lepas. Kemudian, penuh kasih sayang, ia memeluk Arsy yang ia yakini tengah merasakan kerinduan mendalam kepada orang tua sekaligus suasana di kampung. “Dulu, awal-awal Mamah menikah juga seperti kamu. Rasanya mirip orang asing dengan suasana serba asing.”
Dalam diamnya, Arsy yang tak sampai membalas pelukan ibu Daryati, membiarkan air matanya lolos membasahi pipi. Kendati demikian, Arsy segera menggunakan kedua jemari tangannya untuk mengelapnya.
Setelah mengajari Arsy cara menggunakan mesin cuci, kebersamaan mereka pindah ke dapur. Mereka bersiap-siap untuk masak. Sampai detik ini, mereka masih bertiga. Semenjak pulang dari pasar sekitar dua puluh menit lalu, memang belum ada tanda-tanda Livy maupun Daven, terlepas dari mereka apalagi Arsy yang memang tidak mencari. Barulah di lima menit kemudian, kedua sejoli itu datang dengan buru-buru dalam keadaan kuyup.
“Kalian dari mana?” tanya Daryati yang tengah membersihkan ayam di wastafel.
Arsy yang kebetulan tengah mengiris cabai hijau keriting, tak berniat ikut campur. Ia yang kebetulan memunggungi kedatangan Daven dan Livy, memilih fokus mengiris setengah kilogram cabai hijau keriting di baskomnya. Apalagi, ia sama sekali tidak disapa. Termasuk sekadar dilirik Daven, sepertinya pria itu juga tak sampai melakukannya. Dan meski Livy sempat mendekati sekaligus berniat membantunya, selain mungkin hanya untuk basa-basi, Daven juga langsung melarang dengan dalih, takut jemari tangan Livy panas karena efek cabai.
“Bersyukurlah kamu punya istri Arsy yang tahan banting, Ven.” Ibu Daryati tersenyum hangat kepada Daven kemudian berganti pada Arsy. Selain kompak menatap kepadanya, baik Daven maupun Arsy juga tampak bertanya-tanya perihal ucapannya.
Lain halnya dengan Daven dan Arsy, pak Teguh yang baru saja kembali dan tampak sudah berganti pakaian, malah tertawa. Sementara Livy yang telanjur yakin maksud perkataan ibu Daryati barusan tengah memuji Arsy, langsung menjadi berkecil hati. Rasa iri dan juga cemburu itu langsung membuat perasaan Livy tak karuan.
“Asyik, mulai hari ini bakalan makan enak terus. Papah bisa gendut kalau gini caranya, Sy! Apalagi masakanmu memang enak banget!” Pak Teguh sudah ada di seberang Livy, membuat mereka mengapit keberadaan Arsy.
“Ya makannya jangan langsung banyak, Pah,” ujar ibu Daryati yang baru saja menuntaskan kelima ayam yang ia cuci.
“Susah lah, Mah. Mamah pun terancam jadi makin sibuk menimbang demi memantau berat badan!” Pak Teguh berangsur menghampiri sang istri yang memang ada di belakangnya.
Ibu Daryati kembali tertawa. “Alhamdullilah, punya anak perempuan pintar masak memang berkah.”
Daven yang masih di depan lemari keberadaan dispenser sadar, kesibukan orang tuanya memuji Arsy, menjadi alasan Livy tampak tidak nyaman. Karenanya, ia sengaja memanggil Livy, mengajak wanita itu mandi.
“Ayo cepat, Hon. Nanti masuk angin,” ucap Daven sambil meletakan gelas bekasnya minum di meja dinding yang ada di sebelah keberadaan lemari dispenser.
“Mbak Livy mau aku buatkan teh hangat atau wedang jahe?” tawar Arsy yang yakin, perhatian kedua orang tua Daven padanya, telah melukai hati Livy yang sampai detik ini masih membeku di hadapannya.
Livy langsung mengumbar senyum dan sebisa mungkin berlaku baik, menyembunyikan rasa iri sekaligus kecemburuannya pada Arsy. Ia pamit dari sana sambil menepuk-nepuk sebelah lengan Arsy sebagai wujud dari sikap hangat sekaligus akrabnya. Bersamaan dengan itu, sebelah tangannya yang bebas tak sengaja mendorong pisau di atas talenan dan mengenai jari manis tangan kiri Arsy.
“Ya ampun, Sy ... maaf. Maaf, aku enggak sengaja!” Livy memang panik. Sungguh dirinya tak berniat melukai Arsy dengan pisau, tetapi ia mensyukuri kecelakaan tersebut. Karena melalui insiden tak sengaja tersebut, ia merasa cukup plong. Kecemburuan dan juga rasa irinya seolah sedikit terobati atas luka di jari manis tangan kiri Arsy yang sampai mengeluarkan cukup banyak darah.
Ibu Daryati langsung memboyong Arsy merapat ke wastafel kemudian mencuci luka di jari manis tangan kiri menantunya itu.
“Enggak apa-apa, enggak apa-apa, nanti langsung dikasih obat merah saja. Bentar, Papah ambil obat merahnya.” Pak Teguh yang sempat turut memantau luka di jari manis tangan kiri Arsy tanpa bisa menyembunyikan rasa khawatirnya, segera pergi menunaikan ucapan sekaligus niatnya.
Hanya Daven yang benar-benar tak bersimpati. Alasan pria itu mendekat hanya untuk menggandeng sekaligus memboyong Livy dari sana. Jangankan menanyakan keadaan Arsy bahkan untuk basa-basi karena biar bagaimanapun, wanita muda itu merupakan istri pertama yang dengan kata lain menjadi tanggung jawab pokoknya, melirik saja, Daven tak melakukannya. Malahan, ibu Daryati yang menegur bahkan memarahi Daven.
“Kamu enggak boleh gitu, dong! Jangan berat sebelah! Kan kamu juga yang bikin keadaan ini terjadi!” ibu Daryati benar-benar terbawa emosi. Ia menatap tak habis pikir Daven yang sudah kembali ada di depan dispenser. Putranya itu menatapnya dengan tatapan heran sekaligus bingung.
“Sudah, Mah. Sudah, enggak apa-apa.” Arsy berusaha meyakinkan sekaligus menenangkan ibu Daryati, sedangkan Daven juga baru saja pergi membawa Livy.
Arsy paham, Daven bukannya tak punya hati hingga tak ada sedikit pun rasa peduli bahkan simpati kepadanya. Alasan pria itu begitu karena Daven terlalu membencinya. Bahkan mas Daven bisa lebih bahaya dari Yama yang kata mamah jadi kurang waras semenjak ditinggal meninggal istrinya, batin Arsy. Melalui lirikan, ia melepas kepergian Daven dan Livy yang pagi ini kompak memakai setelan pakaian olahraga warna putih beraksen biru tua termasuk warna sepatu sneakers keduanya.
Kepergian Daven dan Livy, membuat kebersamaan di sana menjadi dihiasi rasa tak nyaman termasuk itu untuk pak Teguh yang baru datang. Bahkan sekalipun Arsy terus mengumbar senyuman, baik pak Teguh apalagi ibu Daryati, masih terlihat tak enak hati kepada Arsy.
“Aku beneran merasa enggak enak apalagi papah mamah kamu sayang banget ke Arsy,” lirih Livy yang langsung mengakhiri gandengan tangan Daven, tepat ketika mereka sampai di lantai atas.
Setelah terdiam karena terkejut dengan apa yang baru saja Livy katakan dan Daven yakini sebagai keluh kesah sang istri, Daven segera menyusul Livy. “Hon, ....”
“Aku merasa sangat buruk, apalagi yang orang tua kamu tahu, aku bukan wanita baik-baik karena aku sudah mau menjadi istri kedua kamu. Mereka pasti menganggapku sebagai orang ketiga hubunganmu dan Arsy, Sayang!”
Meninggalkan Livy dan Daven, Arsy dikejutkan oleh sosok Yama yang rela hujan-hujanan di balkon, hanya untuk melihatnya. Ketika tatapan mereka bertemu bahkan meski dari jarak yang terbilang jauh, Arsy menemukan banyak luka sekaligus kesedihan yang membuat pria bertubuh tegap itu terlihat sangat rapuh. Namun, ada yang berbeda dengan Yama. Pria itu tampak sangat gelisah dan sangat tidak bisa tenang di tengah tatapannya yang tertuju pada jari manis tangan kiri Arsy dan tengah Arsy obati di area jemuran mengingat keadaan dapur masih sempit oleh belanjaan sekaligus bahan masakan. Terpikir oleh Arsy, apakah Yama mengkhawatirkannya? Pria itu sampai berusaha turun dan sudah berdiri di benteng rumah orang tua Daven di tengah fokus tatapannya yang terus tertuju pada Arsy.
“Jangan! Aku mohon, jangan ke sini!” tegas Arsy apalagi hujan yang masih berlangsung juga sampai disertai angin.
“Umi ... aku mohon pulang. Aku benar-benar rindu,” ucap Yama yang masih berdiri di benteng rumah tak ubahnya super hero yang memiliki kekuatan super atau malah nyawa cadangan.
“Umi ...?” lirih Arsy yang sampai bergidik. Iya, kata-kata Yama yang dipenuhi luka, juga sampai disertai segulung kerinduan. Dan kenyataan kini membuat Arsy makin yakin, Yama menganggapnya sebagai sosok yang sangat pria itu rindukan. Pria itu masih menatapnya dengan banyak kerapuhan. Ajaibnya, Yama langsung menurut ketika ia suruh masuk rumah agar pria itu tidak sakit.
“Tapi Umi janji, Umi beneran pulang, ya?” rengek Yama yang tiba-tiba kembali muncul.
Arsy kebingungan. Hubungannya dengan Daven saja, sudah membuat hidupnya dipenuhi gejolak batin. Apa jadinya jika ia juga sampai memiliki hubungan apalagi kedekatan dengan Yama? Arsy takut, adanya Yama dalam hidupnya justru membuatnya dikelilingi fitnah.
***