10 : Daven yang Mulai Tahu Kebohongan Livy

1651 Kata
Ibu Daryati berpikir, yang Arsy maksud Yama. Karena memang di sana tidak ada orang lain yang kurang waras, selain pria itu. Padahal sebenarnya, yang Arsy maksud tentu saja Daven. Karena selama tinggal bersama dan baru hitungan hari, Daven selalu menjadikan Arsy bulan-bulanan tanpa sebab yang jelas. Kini, ibu Daryati menatap miris Yama. Pria yang sampai membiarkan rambut ikalnya gondrong dan kerap menutupi wajah ketika tertiup angin itu masih berdiri di depan gerbang kediaman ibu Daryati. Kedua mata berbola mata hazel milik Yama terus mengamati suasana rumah ibu Daryati. Membuat ibu Daryati makin yakin, Yama memang telah mengganggu Arsy. “Kamu sama sekali enggak ada niat buat kerja? Sengaja apa bagaimana?!” seru Daven emosi. Suara Daven menggelegar berbalut kemarahan. Ia yang sudah sampai masuk rumah, menatap kepergian punggung Arsy yang sudah nyaris masuk kamar. Daven asal menyela karena baginya dengan Arsy yang tak bekerja, wanita itu hanya akan menjadi benalu dalam kehidupan sekaligus keluarganya. Tentu saja Arsy sadar, Daven berbicara kepadanya karena hanya kepadanya, pria itu akan dingin dan benar-benar kasar. Kalau tidak diam dan menatapnya penuh kebencian, mulut Daven pasti akan mengatakan kata-kata pedas level neraka. Seperti yang baru saja Arsy terima. Kini ia sengaja balik badan, melangkah mendekat demi menjaga jarak tanpa mengurangi rasa hormatnya sebagai seorang istri kepada Daven. “Mas memintaku kerja, jadi tulang punggung keluarga? Memangnya Mas kaum duafa hingga aku juga harus membantu ekonomi keluarga ini?” Arsy menggeleng tak habis pikir. “Bukankah alasan Mas menganggap rendah aku dan juga keluargaku karena aku dari kampung dan Mas anggap miskin? Ingat, Mas. Yang berhutang budi itu keluarga Mas, bukan keluargaku!” “Akan aku bayar. Akan aku bayar semua hutang budi keluargaku kepada kalian!” tegas Daven. Arsy menggeleng tak habis pikir. “Mas orang berpendidikan, dan aku yakin, Mas tahu apa yang harusnya Mas lakukan. Termasuk kenapa hubungan ini terjadi, Mas pikir, aku ngebet dinikahi Mas?” Arsy kembali menggeleng. “Enggak, Mas. Asal Mas Tahu, yang mau menikahiku banyak! Sampai antre, kalau Mas enggak percaya, tanya saja ke tetangga di kampungku.” Pertengkaran. Lagi-lagi terjadi pertengkaran di setiap Daven dan Arsy bersama. Livy apalagi ibu Daryati langsung ketar-ketir. Keduanya kompak melangkah cepat masuk ke rumah dan menghampiri, bermaksud untuk melerai sekaligus menyudahi. Namun, baik Livy apalagi ibu Daryati tak kuasa melakukannya bahkan sekadar untuk memulai. “Mas beneran egois. Mas sengaja menarikku ke dalam hubungan Mas dan mbak Livy, agar aku selalu merasa tertekan. Agar Mas bisa menghukumku seumur hidupku hanya karena Mas dendam kepadaku. Mas dendam kepadaku karena aku mau dijodohkan dengan Mas, sedangkan kita sama-sama tahu, sampai kapan pun kita enggak boleh bercerai!” Arsy masih berucap tegas. “Andai aku tahu ternyata Mas sudah punya calon, aku lebih baik enggak pernah menikah daripada aku harus jadi istri yang ditinggal menikah lagi oleh suamiku, tapi suamiku justru berusaha membuat hidupku tertekan bahkan kalau bisa aku sampai bunuh diri, seolah-olah adanya aku dalam hubungan pernikahannya dengan istri barunya karena aku yang mengemis!” “Aku akan menceraikanmu!” lantang Daven dan sukses membungkam Arsy. Jaraknya dari Arsy hanya terpaut dua meter. Sementara dari belakang, baru saja, ibu Daryati berteriak, meminta Daven untuk berhenti. Arsy mengangguk-angguk bersama air matanya yang akhirnya luruh. “Alhamdullilah, Mas. Aku terima dengan senang hati.” Ia masih menatap tajam Daven dan membiarkan air matanya luruh membasahi pipi. Namun baru saja, seruan jatuh dari belakang Daven disertai teriakan Livy yang memanggil ibu Daryati karena memang yang bersangkutan jatuh pingsan. “Mah?” Daven nyaris menghampiri sang mamah penuh kecemasan. Namun sebelum itu, ia mendadak balik badan dan nyaris menampar Arsy andai Livy tidak berseru melarangnya. Kesal, Daven sungguh murka kepada Arsy. *** “Jangan yah, Sy. Kejadian tadi tolong jangan diulangi. Tolong hindari saja, kalau Daven sudah ngajak ribut. Lebih baik ditinggal pergi dulu, biar kalian bisa sama-sama tenang.” Suara ibu Daryati terdengar lirih sekaligus benar-benar memohon. Daven menyimaknya dari balik pintu kamar sang mamah yang sedikit ia buka. Bersama Livy, ia baru pulang mengurus urusan di luar. Ia sengaja menyempatkan waktu untuk memastikan keadaan sang mamah karena saat terakhir ia tinggal pergi, ibu Daryati masih belum sadarkan diri. Namun karena Arsy masih di dalam, Daven enggan melanjutkan niatnya. Ia kembali menggandeng, membimbing Livy untuk pergi ke kamar mereka yang ada di lantai atas. “Aku siapkan makan malam dulu, ya?” ucap Livy sebelum mereka menaiki anak tangga menuju lantai atas. “Enggak usah. Kita pesan saja. Lagian, buat papah mamah pasti juga sudah disiapkan oleh dia,” balas Daven yang malas untuk sekadar menyebut nama Arsy. Suasana rumah sungguh sepi seolah tak ada penghuni. Arsy keluar sambil menenteng nampan berisi mangkuk, piring dan juga gelas kosong dari kamar ibu Daryati. Daven yakin, Arsy sudah mengurus ibu Daryati termasuk membuat mamahnya itu makan dengan aman. Tatapan mereka pun tak sengaja bertemu, tapi baik Arsy maupun Daven yang sudah ada di lantai atas, buru-buru mengakhirinya. Livy yang melihat kenyataan tersebut sampai tak habis pikir. Biasanya benci gampang jadi cinta, kan? Batin Livy. Keinginan Arsy untuk berpisah dengan Daven makin sulit karena kesehatan ibu Daryati menjadi taruhannya. Kini, setelah mencuci gerabah termasuk bekas ibu Daryati makan, Arsy nekat naik ke lantai atas. Wanita bersahaja itu mendekati pintu kamar Daven kemudian mengetuknya. Di dalam kamar, Daven yang baru akan mandi yakin jika yang datang dan mengetuk pintu adalah Arsy. Karenanya, ia yang sudah berdiri di ambang pintu masuk hanya terdiam sejenak kemudian meminta Livy untuk tidak membukakan pintu. “Sayang, mungkin Arsy ingin membahas hal penting?” ujar Livy sambil meletakan perhiasan yang dipakai, ke dalam wadah perhiasan khusus yang menghiasi nakas sebelah kiri tempat tidur di sana. “Biarkan saja. Mood aku beneran sedang buruk. Aku akan menemuinya besok.” Daven mantap dengan keputusannya. Ia masuk ke dalam kamar mandi dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa jengkel kepada Arsy. Ditinggal Daven yang melarangnya membuka pintu, sedangkan keadaan ibu Daryati sedang sakit, Livy menjadi merasa serba salah. “Ya sudahlah.” Livy menghela napas dalam, pasrah dan tak mau melawan Daven karena ia yakin, itu hanya akan membuat Daven makin marah. Sedangkan Arsy yang diabaikan, tetap menunggu dan berdiri nyaris satu jam lamanya hingga kedua penghuni di kamar, keluar. Nuansa tidak nyaman langsung menyelimuti kebersamaan di sana. Namun, Arsy yang tahu diri sengaja mundur sambil membungkuk. “Aku sedang tidak mood berurusan dengan kamu.” Daven membuang tatapan dari Arsy. “Baiklah,” ucap Arsy lirih. Ia melangkah pergi sambil terus menunduk. Berjam-jam menunggu, masih saja ditolak, batin Arsy. Bahkan dia tidak minta maaf, batin Daven. *** Keesokan harinya, masih sangat pagi, sekitar pukul empat pagi, tapi Daven mendapati lampu lantai bawah dalam keadaan menyala sebagian. Aroma serai yang begitu segar menguasai suasana di sana. Daven memergoki pelakunya merupakan Arsy. Arsy baru saja mematikan satu persatu lampu kemudian membawa ember pel-pelannya ke area dapur. Karenanya, Daven tetap bertahan di depan pintu kamarnya sambil menenteng poci cukup besar yang memang kosong dan ia pegang menggunakan kedua tangan. Namun karena ia merasa sangat haus dan tenggorokannya juga terasa sangat sakit hingga ia terbatuk-batuk, Daven tidak memiliki pilihan lain selain pergi dan otomatis akan membuatnya bertemu Arsy. Terlebih, Livy masih lelap meringkuk di bawah selimut. Tentu saja, Daven yang awalnya hanya memakai boxer sengaja masuk ke kamar untuk memakai pakaian lebih lengkap. Daven tak mau tubuhnya dilihat secara berlebihan oleh Arsy sekalipun mereka sudah menikah. Ketika akhirnya Daven sampai di dapur, Arsy tak hanya sedang mengepel di sana karena kedua sumbu kompor juga dihuni semua oleh panci dan wajan. Iya, Arsy sudah memasak lengkap dengan rice cooker di meja dapur yang terdengar tengah mengalami proses menanak. Terdengar deruan khas nasi akan tanak dari sana. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, baik itu dari Daven maupun Arsy. Kedua sejoli itu fokus dengan urusan masing-masing, terlepas dari Arsy yang sengaja masuk ke ruang cuci demi menghindari Daven. Arsy yakin, pria itu masih tak sudi untuk melihat apalagi berurusan dengannya karena hampir lima menit di ruangan yang sama saja, Daven tak kunjung memulai obrolan. Yang membuat Daven terkejut, sekitar pukul enam pagi, ia justru mendengar sederet pujian atas kerapian sekaligus kebersihan rumah dari sang papah, tetapi semua itu ditujukan pada Livy. “Wah, ternyata kamu juga bisa masak masakan khas kampung Papah, yah, Vy?” pak Teguh masih bertutur hangat kepada Livy. Dari anak tangga terakhir di lantai bawah, Daven yang tak sengaja mendapati kedatangan Arsy dari ruangan depan, menjadi celingukan karena biar bagaimanapun, semua pujian dari sang papah harusnya untuk Arsy, bukan Livy. Daven dapati melalui lirikan sungkannya, gamis bagian kedua tangan dan juga ujung kaki gadis itu tampak basah, hingga Daven berpikir, mungkin Arsy baru saja menyiram tanaman di kebun depan. “Sy, sini. Lihat, ternyata Livy bisa masak masakan khas kampung kita!” seru pak Teguh membagikan kabar bahagianya. Pak Teguh telanjur yakin, semua yang Livy akui termasuk masakan yang telah menghiasi meja saji, merupakan kerja keras Livy. “Hebat kamu, Mbak. Jam segini sudah beres semua. Rumah sudah rapi, bersih, pakaian juga sudah dijemur, bahkan masakan sudah siap. Kalau ada waktu, aku mau belajar, ya, Mbak. Biar aku bisa seperti Mbak!” ucap Arsy sengaja memuji Livy. “Ah, jangan begitu, Sy. Kamu terlalu berlebihan!” Livy yang masih memegang seperangkat keperluan pel di depan ruang cuci, langsung kikuk. Tangan kirinya yang bebas refleks menggaruk lehernya yang mendadak terasa gatal hanya karena kebohongan yang ia lakukan. Sementara alasannya berkeringat sekaligus panas dingin, tak lain karena Arsy malah sampai memujinya. Dia hanya diam bahkan memuji Livy? Pikir Daven yang memilih menaiki anak tangga demi menghindari Arsy yang baru saja kembali. Arsy masuk ke kamar tamu selaku kamar gadis itu tinggal. Daven pikir, Arsy wanita keras kepala yang akan melampiaskan segala sesuatunya dengan amarah seperti yang sedari awal gadis itu lakukan kepadanya. Namun baru saja, ia memergoki Arsy berlinang air mata ketika wanita itu menutup pintu kamar tamu. Mungkin Arsy tidak tahu bahwa diam-diam, Daven yang mengetahui kebohongan Livy, tengah mengamatinya. “Kok jadi gini, ya?” lirih Daven menjadi bingung sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN