7 : Antara Cadangan dan Idaman

1969 Kata
Arsy terbangun dengan emosi yang jauh lebih stabil. Tak ada lagi rasa ingin bunuh diri setelah sebelumnya, Arsy mengetahui hidupnya akan ia habiskan untuk menjalani hukuman sekaligus permainan dari Daven. Arsy akan menjadi istri yang haram disentuh oleh suaminya sendiri setelah sumpah yang Daven tegaskan kepada Livy. Alhamdullilah ya Alloh, setidaknya dengan adanya sumpah mas Daven, hamba tidak akan menciptakan neraka nyata bagi anak-anak hamba. Cukup tahu saja dan aku menerima semua ini. Jika menurut Engkau hamba sekuat ini, hamba benar-benar akan menjalani. Hamba sunggluh tidak akan pernah melarikan diri apalagi bunuh diri. Justru, hamba akan membuat Mas Daven menyesal telah menjadikan hamba istri yang haram untuk suaminya sendiri. Hamba akan membangun kebahagiaan hamba, di atas luka-luka yang Mas Daven berikan. Tolong ridai hamba menjadi orang yang sukses sekaligus berguna bagi sesama. Bukankah sebaik-baiknya manusia, adalah mereka yang berguna? Arsy menyelesaikan salat sepertiga malamnya dengan berdoa sekaligus berserah diri. Setelah itu karena masih belum bisa tidur, Arsy memikirkan perihal apa yang bisa ia lakukan karena biar bagaimanapun, Arsy ingin bekerja. Arsy ingin memiliki pekerjaan sekaligus kehidupan mandiri yang juga akan menjadi bagian dari kesuksesannya. Melihat dan mengenal lebih dalam karakter Daven, Arsy yakin pria itu bukan tipikal yang akan langsung mengusir apalagi membunuhnya. Daven akan menghukumnya secara perlahan, hingga Arsy memiliki niat untuk mengakhiri semuanya tanpa harus membuat Daven mengotori tangannya. Karena andai Daven pria baik-baik, tentu dari awal Daven tidak akan membuat pernikahan mereka ada. Termasuk itu jalan keluar yang sempat ia bahas di malam pertama Daven dan Livy yang malah membuatnya dikirimi foto kurang pantas. Malah setelah aku pikir-pikir, balasan pesan dari mas Daven waktu itu sudah masuk ranah pelecehan, pikir Arsy. Atau aku saja yang terlalu kuno dan memang menghindari hal-hal berbau v****r seperti itu? Cinta mas Daven kepada mbak Livy yang begitu besar, membuat mas Daven langsung benci bahkan dendam kepadaku hanya karena orang tuanya begitu berharap kepadaku. Mas Daven membenciku karena baginya, aku batu sandungan hubungannya dan mbak Livy. Dengan kata lain, aku juga harus lebih berhati-hati karena apa pun itu yang berkaitan denganku, pasti akan mas Daven perhitungkan. Jadi, sekadar keperluan sehari-hariku bahkan termasuk keperluan makan, juga harus aku urus sendiri daripada aku makin sakit hati hanya karena dia mengungkitnya, pikir Arsy. Uang yang ibu kasih ..., batin Arsy lagi. Ia teringat sekaligus berniat menjadikan uang tersebut sebagai modalnya membangun usaha. Namun untuk usaha apa? Semacam kue dan makanan seperti yang ibu lakukan di kampung? Enggak mungkin, Mas Daven pasti akan keberatan jika rumahnya kotor bahkan sumpek oleh daganganku. Aku harus bikin usaha yang enggak menyita tempat dan juga enggak ribet. Paling mentok, aku cukup mengerjakannya di dalam kamar karena belum tentu juga, di sini aku dikasih kesempatan keluar rumah dengan bebas. Kira-kira usaha apa, ya? Oh, iya ... si Irma kan jualan online. Kerja cukup lewat hape, terus barang dikirim ke kita buat dikirimkan ke yang beli. Kalau mau begitu kira-kira caranya bagaimana? Telanjur serius merancang lembaran baru dengan membangun usaha, Arsy sampai tidak mengantuk. Sudah pukul setengah empat pagi dan kenyataan tersebut membuat Arsy memutuskan untuk beres-beres rumah. Suasana masih sepi seperti saat Arsy baru terbangun dari pingsannya. Ruang pencucian menjadi tujuan langkah Arsy yang kali ini tak lagi memakai gaun malam pemberian ibu Daryati. Tadi, saat terbangun dari pingsannya, sebelum meninggalkan ruangan tersebut, Arsy mendapati seperangkat alat bersih-bersih di sana. Dari lap, kemoceng, dan juga keperluan pel lengkap dengan cairan pembersih lantainya, ada di sudut ruangan sebelah mesin cuci pakaian. Menggunakan semua alat tersebut, Arsy membereskan sekaligus membersihkan semuanya. Tak hanya lantai bawah yang Arsy bersihkan, tetapi juga lantai atas selaku kamar Daven dan Livy berada. Selama Arsy mengerjakan semuanya, tak ada sedikit pun tanda-tanda orang bangun. Bahkan sekalipun azan subuh sudah berkumandang bertepatan dengan Arsy yang menyelesaikan semua pekerjaannya. Ini enggak ada acara salat subuh berjamaah, apa bagaimana? Padahal, dari semua ruangan, tempat salat di sebelah kamar Arsy, menjadi tempat yang Arsy bersihkan lebih dulu. Andai dirinya memiliki kedekatan lebih atau setidaknya, pernikahan Arsy dan Daven merupakan pernikahan normal, bukan pernikahan poligami yang berat sebelah, tentu Arsy akan memberanikan diri untuk membangunkan Daven sekeluarga. Namun, Arsy sadar diri. Arsy tak mungkin dan memang tidak berani membangunkan Daven sekeluarga. Tak lama kemudian, semua lampu sengaja Arsy matikan lagi. Waktu tunggunya untuk menunaikan salat subuh berjamaah sengaja ia akhiri. Arsy memutuskan untuk mandi dan menunaikan salat subuh sendiri, di dalam kamarnya. Arsy yang tidak tidur, baru kembali keluar kamar ketika suara burung prenjak terdengar cukup nyaring dan menegaskan seseorang telah membuka pintu atau setidaknya jendela di luar sana. Benar, di tengah suasana yang sudah terang serta udara Jakarta yang cukup segar meski tak sesegar udara di perkampungan tempatnya tinggal, kedua mata Arsy mendapati semua jendela rumah telah dibuka sempurna. “Wah ... jam segini, rumah sudah sebersih dan seharum ini.” Suara pak Teguh terdengar lantang sarat pujian sekaligus kebahagiaan. Arsy yang melihat punggung pak Teguh dari ruang keluarga sementara pria itu berdiri di bibir pintu dapur, refleks mesem. Bahagia, tak ada kata lain selain itu atas apa yang kini Arsy rasakan karena dengan kata lain, kerja kerasnya membersihkan rumah orang tua Daven, membuat pak Teguh senang bahkan sampai melayangkan pujian. “Iya, Pah. Biar banyak energi positif yang masuk, sekalian biar sirkulasi udaranya lancar ....” Sebentar, itu suara mbak Livy! Mbak Livy ada di dapur! Kedua kaki Arsy refleks berhenti melangkah seiring sekujur tubuh gadis itu yang mendadak meremang karena Livy mengakui semua pekerjaan Arsy dan membuat pak Teguh makin sibuk memuji Livy. Apakah ini memang sifat asli mbak Livy? Pikir Arsy. “Kamu bangun jam berapa, Liv? Rumah sudah bersih, cucian sudah dijemur. Itu jemuran sebasah itu, memangnya kamu enggak cuci pakai mesin? Nanti kamu kecapaian kalau nyucinya pakai tangan!” ucap pak Teguh. Obrolan pak Teguh dan Livy masih berlangsung. Bahkan karena pekerjaan Arsy yang diakui oleh Livy sebagai hasil kerja kerasnya, kedua sejoli itu mendadak akrab. Aku nyuci pakai tangan karena aku belum bisa pakai mesin cuci, Pah! Batin Arsy. Arsy tidak berniat menjelaskan perihal dirinya yang melakukan semua pekerjaan. Sebab Arsy sadar, membela diri hanya akan membuatnya babak belur. Yang ada, ia akan kehilangan simpati bahkan dibenci. Daven sangat mencintai Livy, dan akan sangat berbahaya andai Arsy langsung menyerang Livy. Akan tetapi sampai detik ini, Arsy masih sangat sulit untuk percaya, wanita berpendidikan sekaligus dari keluarga berada seperti Livy, berani menyabotase hasil yang bukan dari kerja kerasnya sendiri. Aku harus lebih berhati-hati, batin Arsy. “Y-ya ... hitung-hitung buat olahraga, Pah. Daripada buang-buang waktu buat olahraga di luar, ya mending beres-beres rumah. Dapat sehat, rumah bersih, ... syukur-syukur sampai disayang mertua sama suami juga.” Balasan malu-malu dari Livy, langsung ditanggapi tawa lepas oleh pak Teguh. Ya ampun, sudah mirip orang gila perkara takut ada bekas semalam pas aku sama Daven main di sini, eh malah dikira yang bersih-bersih seisi rumah perkara aku kepergok bawa pel-pelan. Enggak apa-apa, sih. Ini namanya rezeki nomplok. Kalaupun Arsy protes bahkan mengamuk, dia enggak punya bukti karena aku yang pegang pel-pelan, batin Livy masih bersikap manis pada pak Teguh. Livy yakin, alasan rumah orang tua Daven sebersih sekarang bahkan sudah sampai ada nasi dan baru saja menjadi bahan pak Teguh kembali memujinya, merupakan pekerjaan Arsy. Iya, gadis yang baru saja datang digandeng oleh ibu Daryati, dan kini ada di hadapannya. Maaf, Sy. Aku enggak mau jadi cadangan karena aku selalu ingin jadi idaman! Batin Livy yang tersenyum santai kepada Arsy, seolah semuanya memang baik-baik saja. Kok ekspresi Arsy biasa saja, ya? Dia sama sekali enggak kelihatan marah dan beneran enggak ada tanda-tanda kalau dia akan membalasku? Batin Livy yang menjadi heran sekaligus waswas. Livy pikir, Arsy merupakan gadis tak tahu aturan yang juga sangat emosional seperti yang setiap gadis itu lakukan kepada Daven. Namun, tanggapan tenang dari seorang Arsy mendadak membuat Livy takut, bahwa gadis itu akan menjadi bom waktu untuknya. Jadi, apa yang membuat Arsy setenang sekarang? Livy mendadak tidak bisa tenang. “Wah, ... kamu rajin banget ya, Liv?” ibu Daryati menatap tak percaya suasana rumahnya. Enggak sangka, ternyata si Livy rajin juga. Padahal aku pikir, Livy tipikal anak manja yang apa-apa terima beres tanpa mau ribet apalagi capek, batin ibu Daryati yang kemudian mengajak Arsy pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan dapur. “Sayuran di pasar kalau sepagi ini, jauh lebih segar daripada di mal,” terang ibu Daryati kepada Arsy. Lho, aku yang dipuji kok Arsy yang diajak? Batin Livy ketar-ketir. Kedua tangannya yang membawa ember beserta pel-pelan, refleks mencengkeram erat di sana. “Kamu enggak capek, kan?” tanya ibu Daryati yang menyikapi Arsy dengan sangat manis. Jauh lebih manis malah, ketimbang pada Livy yang ia ketahu sudah membersihkan rumah dan semuanya. Meski bingung kenapa sang mamah mertua sampai menanyakan kondisinya yang dikhawatirkan lelah, Arsy tetap mengukir senyum tulusnya kemudian menggeleng. “Ya sudah, ayo berangkat mumpung masih pagi. Kami pergi dulu, ya, Liv! Jangan lupa istirahat! Oh, iya ... tolong kabarkan kepergian kami kepada Daven!” ucap ibu Daryati dan turut ditimpali oleh sang suami. Pak Teguh ikut serta pada kepergian ibu Daryati dan Arsy. Sesakit apa pun luka yang kamu torehkan kepadaku, aku enggak akan membalasnya, Mbak. Karena aku percaya, sebaik-baiknya balasan yang aku lakukan, balasan dari Alloh selalu jauh lebih setimpal. Dan semoga, luka-luka ini bisa menjadi jembatan untukku menjemput kesuksesan ya, Rab! Batin Arsy sambil terus melangkah bergandengan dengan ibu Daryati. Lihat apa yang terjadi, ... kenapa mereka justru memperlakukanku seperti pembantu abadi?! Livy membanting ember dan juga pel-pelan yang sempat ia cengkeram. Sepertinya mulai sekarang aku harus berhati-hati kepada Arsy. Atau jangan-jangan, caraku ini sudah keterlaluan, ya? Pikirnya. Yang ibu Daryati tahu, malam ini Daven tidur bersama Arsy. Itu kenapa ia merasa maklum ketika Arsy baru keluar dari kamar, selain Arsy yang ia yakini kelelahan karena malam pertamanya. Ibu Daryati berpikir seperti itu karena wanita itu pernah muda dan merasakan bagaimana malam pertama yang juga pernah membuatnya kesakitan sekaligus kelelahan luar biasa. Namun ketika ibu Daryati mengamati Arsy lebih teliti khususnya dari cara menantunya itu melangkah, Arsy tampak sangat lincah tanpa sedikit pun tanda-tanda Arsy merasa lelah. Kok, Arsy baik-baik saja, ya? Padahal dulu, aku sampai enggak bisa jalan gara-gara malam pertama, pikir ibu Daryati. Sambil terus melangkah di tengah jalanan aspal yang dalam keadaan turun, Arsy merasa diawasi. Dari rumah sebelah Daven, iya, dari sana ada sesosok pria berberewok tipis dan terlihat sangat misterius. Pria bertubuh besar tegap itu menatapnya dengan tatapan tajam cenderung ketakutan sekaligus tak percaya. Seolah-olah, pria itu mengenal Arsy. Pria itu kenapa? Pikir Arsy. Ia menoleh dan menatap ibu Daryati. Ia hendak menanyakannya pada sang mamah mertua. Namun ketika ia kembali memastikan keberadaan si pria di pelataran rumah yang sekelilingnya merupakan taman, pria tadi sudah tidak ada. Sungguh, tak ada tanda-tanda pria itu di sana. Pria itu mendadak hilang tanpa jejak. Malahan, Arsy dikagetkan oleh sosok pria yang sama tepat di gang sebelah rumah keberadaan si pria. Bisa-bisanya dia sudah ada di situ? Dia punya ajian buat menghilang, apa memang punya pintu ajaib? Batin Arsy yang refleks menggunakan kedua tangannya untuk menutup mulut. Anehnya, Teguh langsung menghalang-halangi pandangan si pria terhadap Arsy, sedangkan Daryati juga sampai merangkul Arsy. “Hati-hati ke dia. Namanya Yama, dan semenjak istrinya meninggal, dia jadi kurang waras,” bisik Daryati. “Oh ...,” lirih Arsy refleks sambil mengamati sosok Yama dari ekor pandangannya karena kini ia telah memasuki jalan yang menikung. Sosok pria bernama Yama itu bermata sipit, memiliki hidung yang sangat mancung, serta kulit yang agak gelap. Sedangkan mengenai tubuh, tubuh Yama jauh lebih besar sekaligus berotot melebihi tubuh Daven. Pantas kelihatan misterius begitu, tapi kok dia lihat aku sampai segitunya, ya? Dia seolah mengenaliku, atau malah menganggapku sebagai seseorang yang dia kenal. Namun tunggu, yang waras sekelas mas Daven saja sudah berbahaya, apalagi si Yama yang sudah dicap kurang waras? Batin Arsy yang memilih fokus ke depan. Namun, memikirkan Yama sukses membuatnya merinding. Bulu halus di kedua punggung jemari tangannya ia dapati kompak berdiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN