Satu bulan berlalu sejak Falisa bekerja di Luther Holdings Group, harapan Falisa untuk tidak berurusan dengan Juan lagi kandas sudah karena selama satu bulan ini ada saja masalahnya dengan pria yang menjabat sebagai CEO perusahaan itu.
Selain itu, Juan juga selalu melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan setiap kali bertemu dengan Falisa, tak peduli seberapa ramah Falisa jika menyapanya. Jika bukan karena ingat orang tuanya membutuhkan uang di desa, Falisa pasti sudah mengundurkan diri dari perusahaan itu. Selain itu, keberadaan Yuuya beserta rekan-rekan Falisa di divisi keuangan yang baik dan menyenangkan membuat Falisa mampu bertahan bekerja di sana.
Pagi ini Falisa tengah sibuk di meja kerjanya, sedang mempersiapkan bahan presentasi untuk meeting yang rutin diadakan setiap minggu.
“Fal, sudah selesai belum?” tanya Maria.
Falisa mengangguk. “Sudah. Aku barusan memeriksanya lagi dan aku pikir ini sudah sempurna,” sahutnya seraya membentuk jari tangannya menjadi kata ‘OK’.
“Oh, bagus, bagus. Tapi Fal, sepertinya ada sedikit masalah.”
Falisa mengerutkan kening. “Masalah apa, Mar?”
“Seharusnya aku yang menemani Bu Erika meeting hari ini, tapi sepertinya aku tidak bisa.”
“Memangnya kenapa?” Falisa mulai khawatir.
“Aku harus izin pulang, barusan aku mendapatkan pesan dari orang rumah …” Kedua mata Maria berkaca-kaca, membuat Falisa semakin mengkhawatirkan rekannya tersebut.
“Ada apa, Maria? Semua baik-baik saja, kan?”
Maria menggelengkan kepala. “Tidak, Fal, ada masalah di rumah. Ayahku sakit dan barusan dibawa ke rumah sakit. Aku harus merawatnya karena di rumah tidak ada siapa-siapa selain aku dan keponakanku.”
Falisa menatap heran sekaligus iba mendengar kabar buruk itu. Dia heran karena Maria tak menyebut-nyebut tentang ibunya. Jika diingat-ingat mereka memang tidak pernah membahas tentang keluarga masing-masing dan Falisa penasaran bukan main.
“Aku turut bersedih untuk ayahmu, memangnya dia sakit apa? Dan ibumu … di mana dia?”
Maria tertegun terlihat enggan membahas ini, tapi akhirnya dia membuka mulut dan berkata, “Ayahku punya penyakit stroke. Mungkin penyakitnya kumat lagi sekarang. Kalau ibuku …” Maria menjeda ucapannya seraya menghela napas panjang. “… dia sudah bercerai dengan ayah. Kami tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang karena dia pergi meninggalkan kami setelah resmi bercerai dengan ayah delapan tahun lalu. Entah dia masih hidup atau sudah mati, kami tidak tahu kondisinya karena dia tidak pernah lagi menghubungi kami. Benar-benar hilang kontak dengan kami.”
Raut wajah Falisa semakin menandakan perasaan iba, dia baru tahu ternyata Maria memiliki masalah yang rumit di rumahnya.
“Aku sekarang hanya tinggal bertiga di rumah. Aku, ayahku dan keponakanku yang masih berusia sebelas tahun.”
“Oh, dia masih anak-anak.”
“Begitulah. Karena itu aku tidak bisa mengandalkan dia untuk mengurus ayahku di rumah sakit. Aku harus pergi dulu sekarang. Bisa aku minta tolong padamu, Fal?”
Falisa mengangguk. “Minta tolong apa? Katakan saja.”
“Aku akan menemui Bu Erika lalu menemui Pak Alex untuk izin pulang hari ini. Karena aku sudah pasti tidak akan bisa menemani Bu Erika mengikuti meeting, tolong kau gantikan aku, ya. Danish dan Joshua juga tidak mungkin bisa menggantikan aku karena mereka ada tugas keluar selama beberapa hari ini. Kau tidak keberatan, kan?”
Falisa diam seribu bahasa, ditanya seperti itu … jika boleh jujur sebenarnya dia enggan melakukannya. Karena sebelumnya dia tidak pernah mengikuti meeting, dia tak tahu apa yang harus dilakukannya saat meeting berlangsung nanti. Dan lagi ada Juan di sana, sungguh Falisa tak ingin bertemu dengan pria itu.
“Fal, kau bersedia menggantikan aku, kan?” Maria kembali bertanya karena Falisa yang tak kunjung memberikan jawaban.
“Hm, tapi nanti bukan aku yang harus presentasi, kan? Aku belum pernah melakukannya jadi aku …”
Maria terkekeh, memahami masalah Falisa walau wanita itu belum menyelesaikan ucapannya. “Jangan khawatir, yang presentasi Bu Erika, kau hanya perlu menemaninya saja karena mungkin dia akan membutuhkan bantuanmu.”
Senyum lega pun seketika terukir di wajah Falisa. “Kalau begitu baiklah, aku bersedia menggantikanmu.”
“Ok, terima kasih ya. Sekarang aku akan menemui Bu Erika dan menyampaikan hal ini. Kau persiapkan diri saja di sini. Jika meeting akan segera dimulai, Bu Erika pasti akan mengajakmu.”
“Baik. Aku akan menunggu.”
Maria pun melenggang pergi sambil meraih tasnya, dia melambaikan tangan pada Falisa sambil menangkupkan kedua tangan di depan d**a sebagai bentuk permintaan maaf.
Kini Falisa hanya sendirian di ruangan itu karena rekan-rekannya tengah sibuk dengan urusan masing-masing di luar sana. Falisa mengembuskan napas pelan, tiba-tiba saja hatinya gugup bukan main dan dia hanya bisa berharap semoga meeting nanti akan berjalan dengan lancar tanpa ada masalah apa pun.
***
Saat yang ditakutkan Falisa akhirnya datang. Semua ketua divisi berserta satu bawahan mereka satu demi satu berdatangan ke ruangan meeting, begitu pun dengan Falisa dan Erika.
Kini mereka berdua sudah menempati kursi yang memang sudah disiapkan untuk mereka duduki. Jantung Falisa berdetak cepat padahal meeting itu belum dimulai.
“Fal.”
Sebuah suara tiba-tiba terdengar, baru saja memanggil Falisa yang membuat wanita itu refleks menoleh ke arah sumber suara. Rupanya itu Yuuya, yang tentunya hadir juga di ruang meeting tersebut mengingat dia merupakan ketua divisi purchasing. Pria itu baru saja tiba di ruang meeting, tidak sendirian melainkan bersama salah satu bawahannya. Yuuya terlihat terkejut melihat Falisa ada di ruangan itu, mengingat biasanya Maria yang menemani Erika jika mengikuti meeting.
“Maria izin pulang karena ayahnya sakit, jadi aku yang menggantikan,” ucap Falisa yang menjelaskan alasan dirinya berada di ruangan itu, dia tahu Yuuya terheran-heran melihatnya.
“Oh, begitu.” Yuuya mengangguk-anggukan kepalanya, mengerti.
Falisa merasa lega sekarang karena setidaknya ada Yuuya di ruangan itu walau jarak kursi mereka berjauhan.
Suasana ruangan yang awalnya bergemuruh karena banyak orang yang sedang berbincang seketika berubah menjadi hening begitu sosok sang pimpinan masuk ke dalam ruangan, Juan ditemani sekretarisnya, Viona.
Juan kini mendudukan diri di kursi kebesarannya, begitu pun dengan Viona yang duduk tepat di samping pria itu. Tatapan Juan mengedar, menatap satu per satu orang yang berada di ruangan itu, tatapannya lantas berhenti tepat saat dia menatap Falisa.
Sedangkan Falisa refleks menundukan kepala karena Juan di depan sana sedang menatapnya tajam bak bisa mengeluarkan sinar laser. “Kenapa dia selalu menatapku begitu setiap kali bertemu denganku?” batin Falisa bertanya-tanya, heran dengan sikap Juan yang selalu tak ramah, sinis dan menguarkan aura permusuhan padanya.
Meeting dimulai setelah itu. Satu demi satu perwakilan setiap divisi maju ke depan untuk melakukan presentasi. Anggota yang lain diam mendengarkan dan saat tiba sesi tanya jawab, maka mereka akan mulai berdiskusi.
Hingga akhirnya tibalah giliran divisi keuangan yang maju ke depan melakukan presentasi. Erika dan Falisa bangkit berdiri dari duduk sambil membawa komputer di mana sudah disiapkan bahan presentasi di sana.
Semua sudah disiapkan, Erika sudah berdiri di depan, siap menjelaskan presentasi divisi mereka di depan sang CEO maupun divisi yang lain.
“Tunggu sebentar.”
Mulut Erika yang sudah terbuka seketika terkatup rapat begitu mendengar suara seseorang yang menginterupsi. Siapa lagi pemilik suara itu jika bukan Juan.
“Iya, Pak. Ada apa?” tanya Erika.
“Kenapa Bu Erika yang melakukan presentasi? Biasanya bawahanmu yang melakukan presentasi setiap meeting?”
Mendengar pertanyaan Juan, Falisa yang bertugas duduk di depan komputer untuk mempersiapkan bahan presentasi pun meneguk ludah tanpa sadar.
“Biasanya Maria yang melakukan presentasi, Pak. Tapi karena ayahnya sedang sakit keras sampai dibawa ke rumah sakit, jadi dia izin pulang hari ini. Karena itu saya yang akan melakukan presentasi, Pak.” Erika mencoba menjelaskan.
“Tapi saya lihat tadi Bu Erika tidak sendirian mengikuti meeting ini, kenapa bukan bawahan Anda saja yang melakukan presentasi?” Juan menunjuk Falisa yang sedang duduk di balik komputer itu dengan dagunya.
Spontan semua pasang mata kini tertuju pada Falisa, membuat wanita malang itu panik bukan main dan gelisah di tempat duduknya.
“Coba suruh dia yang melakukan presentasi, Bu,” pinta Juan yang tentu saja tak mungkin diabaikan oleh Erika selaku bawahan.
“Falisa, ke sini,” pinta Erika. Sedangkan Falisa kini tak tahu harus berbuat apa. Dia gugup, panik dan juga ketakutan. Peluh sebiji jagung mulai bercucuran dari pelipisnya. Dan dia bangkit berdiri dengan kedua lutut yang bergetar.
Falisa berjalan menghampiri Erika yang berdiri di depan. “I-iya, Bu,” sahutnya terdengar terbata-bata.
“Kau dengar sendiri kan, tadi? Pak Juan memintamu yang melakukan presentasi ini.”
Falisa menggigit bibir bawah, benar-benar tak berkutik. “Tapi Bu, saya belum pernah presentasi sebelumnya. Saya belum tahu apa yang harus saya sampaikan.”
“Bagaimana ceritanya bisa tidak tahu?”
Suara Juan yang terdengar ketus dan sinis itu kembali mengalun, menanggapi penolakan yang dilakukan Falisa barusan.
“Bukankah kalian sudah menyiapkan bahan presentasinya? Kau kan hanya perlu menyampaikannya saja pada kami. Apa susahnya? Tidak ada alasan untuk menolak.”
Falisa rasanya ingin menangis, kedua matanya sudah berkaca-kaca. Dia lalu menatap pada Yuuya, satu-satunya orang yang dia harapkan bisa membantunya dalam kondisi seperti ini.
“Pak Juan, mohon maaf saya menyela, bukan bermaksud untuk ikut campur tapi Nona Falisa ini merupakan karyawan baru di perusahaan kita. Baru bekerja selama satu bulan jadi dia belum terbiasa melakukan presentasi. Dia belum pernah melakukannya satu kali pun karena itu dia masih kebingungan.”
Falisa mengembuskan napas lega karena Yuuya yang memahami makna di balik tatapannya tadi akhirnya mengutarakan pembelaan untuknya.
Juan mendengus. “Justru karena belum pernah melakukan presentasi makanya dia harus belajar melakukannya. Jika tidak belajar, kapan dia bisa melakukan presentasi? Lagi pula satu bulan itu terbilang sudah lama loh. Kecuali jika ini hari pertamanya bekerja, baru dimaklumi jika dia belum bisa melakukan presentasi.”
Falisa kembali tegang karena ucapan Juan benar-benar memukulnya telak.
“Memang benar yang Anda katakan, Pak. Tapi Nona Falisa itu sebelumnya tidak pernah bekerja di perusahaan mana pun. Bekerja di perusahaan ini merupakan pengalaman pertamanya, jadi mohon dimaklumi jika dia belum siap melakukan presentasi.”
Sekali lagi ucapan Yuuya yang membela Falisa mengundang dengusan meluncur dari mulut sang CEO. “Saya tidak peduli dia baru pertama kali bekerja atau sudah berpengalaman. Karena yang saya tahu sekarang Nona Falisa sudah menjadi karyawan di perusahaan saya karena itu jika saya memintanya untuk melakukan tugas atau presentasi, tidak boleh ada alasan penolakan. Harus selalu siap kapan pun saya minta. Dan lagi dia ikut meeting ini seharusnya sudah mempersiapkan diri sebelum datang ke ruangan ini.”
“Maaf, Pak, tapi saya dengar Nona Maria yang seharusnya melakukan presentasi pada meeting hari ini mendadak harus izin pulang karena ayahnya sakit keras karena itu Nona Falisa mendadak sekali diminta menggantikannya. Mohon pengertian Pak Juan agar memaklumi jika Nona Falisa belum siap melakukan presentasi.”
“Pak Yuuya, saya heran kenapa Anda terus membela Nona Falisa di depan saya. Wajar jika dia bawahan di divisi Anda, tapi kenyataannya kalian berasal dari divisi yang berbeda. Seharusnya yang membela Nona Falisa itu Bu Erika yang merupakan kepala divisnya, bukan Anda. Seharusnya Anda tidak ikut campur.”
Falisa merasa iba pada Yuuya yang kini diam seribu bahasa, tak bisa berkata-kata lagi karena diserang dengan telak oleh ucapan Juan.
“Dan lagi tolong ya urusan pribadi jangan dibawa ke kantor. Saya tahu Nona Falisa itu kekasih Anda, tapi tidak seharusnya Anda terus membelanya di saat Anda sendiri tahu dia salah karena tidak kompeten. Tidak siap saat diminta melakukan presentasi oleh atasan, sebenarnya ini kesalahan yang sangat fatal. Tapi baiklah, saya tidak akan memperpanjang masalah ini, tapi lain kali tolong ajarkan Nona Falisa agar siap melakukan presentasi pada meeting selanjutnya. Karena lain kali tidak ada kesempatan kedua yang akan saya berikan jika sampai Nona Falisa menolak lagi dengan alasan dia belum siap.” Juan memalingkan tatapannya dari Yuuya pada Erika yang berdiri di samping Falisa. “Anda mengerti kan Bu Erika? Nona Falisa itu tanggungjawab Anda karena dia bawahan di divisi Anda, bukan tanggungjawab divisi lain.”
“Baik, Pak. Saya mengerti,” sahut Erika patuh.
“Lain kali saya tidak akan tinggal diam jika ada anggota divisi yang ikut campur urusan divisi lain, sekalipun mereka sepasang kekasih. Paham?”
“Paham, Pak,” sahut semua orang yang berada di ruangan meeting tersebut.
Falisa dan Yuuya tahu persis Juan mengatakan itu karena menyindir mereka.
Setelah itu, meeting dilanjutkan dengan Erika yang akhirnya melakukan presentasi untuk divisi keuangan.
Meeting berlangsung hampir dua jam hingga akhirnya selesai. Semua peserta meeting satu demi satu keluar dari ruangan, tentu saja begitu pun dengan Falisa dan Yuuya.
“Yuuya!” teriak Falisa begitu melihat Yuuya berjalan di depannya.
“Ya, Fal.”
“Maaf, gara-gara aku, kau jadi kena marah Pak Juan. Aku juga tidak enak hati pada Bu Erika yang kena marah Pak Juan juga karena ulahku,” ucap Falisa tulus dengan kedua mata yang berkaca-kaca nyaris menumpahkan air mata karena merasa bersalah pada dua orang itu.
Yuuya tersenyum kecil, dia menyentil pelan ujung hidung Falisa, sesuatu yang sering dia lakukan jika sedang menggoda kekasihnya tersebut. “Sudah tidak apa-apa. Aku senang bisa membantumu tadi.”
“Tapi kau jadi kena marah Pak Juan gara-gara membelaku.”
Yuuya mengibaskan tangan seraya berdecak. “Itu sudah biasa. Aku kan pernah memberitahumu Pak Juan memang begitu. Mungkin dia sedang ada masalah dengan Bu Qiana di rumah makanya melampiaskan amarahnya pada kita.”
“Huh, terus kenapa selalu aku yang jadi bahan pelampiasannya? Selama satu bulan bekerja di sini, aku merasa dia selalu memusuhiku.”
“Sudah biarkan saja. Kita fokus saja pada tujuan kita. Ok? Lagi pula ada aku di sampingmu. Apa pun yang terjadi aku akan selalu melindungimu. Karena itu kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun.”
Falisa mengulas senyum, dia lalu menyandarkan kepalanya di d**a bidang sang kekasih. “Terima kasih Yuuya, aku beruntung memiliki kau di sampingku.”
“Aku juga beruntung memiliki kekasih sepertimu. Ayo makan siang, perutku sudah keroncongan.”
Mereka pun berjalan sambil bergandengan tangan, tanpa mereka sadari sejak tadi ada yang memperhatikan mereka di belakang, Juan yang mendengarkan semua yang Falisa dan Yuuya katakan. Tangan pria itu pun terkepal erat dengan gigi yang saling bergemeretak, sepertinya Falisa akan terkena masalah sebentar lagi.