Kabar Buruk

1627 Kata
"Aku tidak mengerti kenapa Pak Juan sepertinya sangat membenciku sampai dia mempermalukan aku di depan anggota divisi lain saat meeting kemarin," ucap Falisa yang sedang mengutarakan keluh kesahnya di depan Maria. Kedua wanita itu kini sedang menikmati makan siang mereka di kantin kantor. Maria meringis, terlihat iba mendengar cerita Falisa tersebut. "Pasti kejadian kemarin di ruang meeting sudah tersebar di seluruh kantor ini. Semua karyawan sudah mengetahuinya. Aku yakin sekali." "Maaf ya, Fal. Ini gara-gara aku yang tidak bisa mengikuti meeting kemarin makanya kau jadi terkena masalah seperti ini." Dengan cepat Falisa menggelengkan kepala karena sungguh dia tak bermaksud demikian. Dia sama sekali tidak menyalahkan Maria atas kejadian yang menimpanya kemarin. "Tidak, Maria, aku tidak menyalahkanmu. Kemarin itu kan kondisimu memang tidak memungkinkan untuk mengikuti meeting. Oh, iya. Ngomong-ngomong bagaimana kondisi ayahmu sekarang?" Wajah Maria seketika berubah sendu. "Belum ada perubahan. Masih sama saja dengan kemarin." "Berarti ayahmu masih dirawat di rumah sakit?" Maria mengangguk. "Ya. Semalam saja aku menginap di rumah sakit. Sepertinya malam ini juga aku akan menginap di rumah sakit lagi." "Kau harus istirahat dengan cukup, jangan sampai kau juga ikut sakit, Maria." Maria mengulas senyum merasa terharu oleh kepedulian Falisa padanya. "Nanti aku akan menyempatkan diri untuk menjenguk ayahmu." Maria menggeleng kali ini. "Tidak perlu, Fal. Aku tahu kau pasti sibuk. Lagi pula apartemenmu jauh dengan rumah sakit tempat ayahku dirawat." "Tenang, jarak bukan masalah karena ada Yuuya. Dia bisa mengantarku." Maria memicingkan mata. "Ah, aku jadi iri padamu yang memiliki pacar seorang manager. Andai aku senasib denganmu. Malah lebih hebat lagi kalau punya pacar seorang CEO seperti Pak Juan, ya?" Mendengar celotehan Maria, Falisa mendengus, terlihat tak sependapat. "Kalau aku sebaliknya. Sepertinya punya pacar seperti Pak Juan akan sangat tersiksa. Coba saja bayangkan dia itu mudah emosi, pemarah, sombong dan arogan. Suka seenaknya menyuruh orang lain, aku pernah cerita kan dia pernah menyuruhku membersihkan apartemennya yang kotor?" Maria meringis seraya menganggukkan kepala karena memang Falisa pernah menceritakan hal itu padanya. "Mungkin pada pasangannya dia akan lebih parah. Benar-benar banyak permintaannya." Falisa lantas bergidik seolah merasa takut membayangkan seandainya dia menjadi kekasih Juan. "Kekasihnya dia anggap sebagai asisten rumah tangga." "Aku jadi penasaran bagaimana sikapnya pada Bu Qiana." Maria berkomentar. "Aku yakin sikap Pak Juan kasar sekali pada tunangannya jika dilihat dari dia yang sama sekali tidak menghargai kebaikan Bu Qiana. Padahal Bu Qiana sengaja mengambilkan makanan untuknya saat kami makan bersama di restoran bulan lalu, tapi Pak Juan malah memindahkan makanan pemberian Bu Qiana itu ke piringku." Falisa memutar bola mata." Bisa kau bayangkan bagaimana perasaanmu saat itu? Aku benar-benar tak enak hati pada Bu Qiana. Apalagi Bu Qiana pasti hatinya sakit sekali. Aku salut pada Bu Qiana yang begitu setia bertahan menjadi pasangan Pak Juan. Kalau aku menjadi Bu Qiana, aku pasti minta berpisah sejak lama." Falisa begitu menggebu-gebu membahas tentang semua kejelekan Juan yang sudah dia ketahui hingga melupakan makanannya yang masih tersisa banyak di piring. Sedangkan Maria mendengarkan dengan seksama tanpa banyak berkomentar. "Dan lagi Pak Juan itu selalu memperbesar masalah kecil buktinya hanya karena aku menumpahkan teh ke jasnya, dia membenciku sampai sekarang. Walau aku sudah minta maaf dan bertanggungjawab dengan mengembalikan jasnya dalam kondisi bersih dan rapi seperti sebelum terkena tumpahan teh, tetap saja dia marah padaku. Aku selalu jadi target amarahnya di kantor." Falisa mengembuskan napas lelah di akhir ucapan, meratapi nasibnya yang selalu mendapatkan sikap permusuhan dari Juan. "Selain itu, yang lebih lucu di meeting kemarin Pak Juan mengatakan tidak boleh membawa masalah pribadi ke tempat kerja, tapi dirinya sendiri seperti itu." Falisa tiba-tiba merasa Maria bersikap aneh karena wanita itu terus menatap ke belakangnya seraya mengedip-ngedipkan mata padanya seolah sedang memberikan kode atau isyarat pada Falisa. Namun, karena Falisa merasa belum menyelesaikan ucapannya, dia mengabaikan isyarat itu. Dia terus berceloteh dengan penuh semangat. "Buktinya gara-gara masalah pribadi aku yang pernah menumpahkan teh pada jasnya, dia terus memusuhiku di kantor. Lalu setiap kali dia bertengkar dengan tunangannya, dia melampiaskan amarahnya di kantor pada karyawannya. Huh, dia seperti sedang menjilat ludahnya sendiri ya, di ruang meeting kemarin saat dia bicara begitu, rasanya aku ingin tertawa keras. " Falisa berjengit kaget ketika merasakan kakinya di bawah meja ditendang oleh Maria. "Maria, kau ini kenapa? Kenapa menendang kakiku?" "Sssttt …" Maria meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya sendiri. "... sudah jangan bicara lagi, lihat ke belakangmu." Falisa meneguk ludah karena merasakan sebuah firasat buruk. Ketika dia memutar lehernya dan menoleh ke belakang, detik itu juga kedua matanya melebar sempurna dan tubuhnya seolah membeku di tempat pasalnya hanya terhalang satu meja dengan meja yang mereka tempati, sosok Juan sedang duduk di sana. Menatap Falisa tajam seraya melipat kedua tangannya di depan d**a. Cepat-cepat Falisa menghadap Maria lagi yang duduk di depannya. "Kenapa dia ada di sana?" bisiknya pelan karena takut Juan akan mendengarnya. "Aku sudah memberimu isyarat sejak tadi, tapi kau tidak paham." "Hah, mati aku. Jangan-jangan dia mendengar semua yang kukatakan." "Hm, entahlah. Tapi dari tatapannya yang tajam itu, kurasa dia memang mendengarnya." Detik itu juga Falisa duduk lemas di kursinya, dia yakin kebencian Juan padanya akan semakin bertambah setelah kejadian ini dan dia harus bersiap menghadapi masalah yang mungkin akan menimpanya sebentar lagi karena ulah pria itu. *** Falisa tidak hentinya bersyukur dalam hati karena setelah kejadian di kantin tadi, belum terjadi masalah apa pun. Juan juga tak menunjukan tanda-tanda akan memanggil dan memarahi Falisa karena tertangkap basah sedang membicarakan kejelekan pria itu. Kini baik Falisa maupun Maria sedang sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Hingga tiba-tiba Maria berdiri di samping meja kerja Falisa, Falisa pun menghentikan gerakan tangannya yang sedang menari-nari di atas keyboard dan menatap rekannya tersebut. "Kenapa Maria?" tanya Falisa heran. "Hm, boleh aku minta bantuanmu, Fal?" "Tentu. Katakan apa yang kau butuhkan?" Maria lantas mengulurkan sebuah dokumen, yang langsung diterima Falisa tanpa ragu. "Apa ini?" tanya Falisa heran. "Itu laporan yang diperintahkan Bu Erika untuk aku serahkan hari ini. Aku sudah menyelesaikannya barusan. Bisa tolong kau serahkan pada Bu Erika di ruangannya? Pekerjaanku masih banyak ini, kalau aku pergi ke ruangan Bu Erika pasti membuang banyak waktu padahal hari ini aku berencana pulang cepat setelah menyelesaikan semua tugasku. Ayahku masih sakit keras, dia membutuhkanku." Falisa memahami sepenuhnya masalah yang menimpa Maria, karena itu tanpa ragu dia bangkit berdiri dari kursinya. "OK, biar aku yang antarkan laporan ini ke ruangan Bu Erika." "Maaf jadi merepotkanmu ya, Fal." Falisa mengibaskan tangan. "Sama sekali tidak repot, sebagai teman kita harus saling menolong, bukan? Ya sudah, aku ke ruangan Bu Erika dulu." "OK, terima kasih ya, Fal." Setelah memberikan anggukannya, Falisa pun berjalan meninggalkan ruangannya menuju ruangan sang ketua divisi keuangan. Setibanya di sana, langkah Falisa seketika terhenti pasalnya baru saja dia melihat seseorang keluar dari ruangan Bu Erika. Seseorang yang tidak ingin Falisa temui. "Ck, kenapa Pak Juan ke ruangan Bu Erika, ya? Yang lebih menyebalkan kenapa harus bersamaan denganku yang mau ke ruangan Bu Erika juga?" gerutu Falisa jengkel. Karena memang Juan yang baru saja dia lihat keluar dari ruangan Bu Erika. Setelah memastikan sosok Juan sudah pergi, Falisa pun melanjutkan niatnya untuk menemui Bu Erika, menyerahkan titipan Maria padanya. "Masuk!" Teriakan itu terdengar dari dalam ruangan begitu Falisa mengetuk pintu. Falisa lantas masuk ke dalam dan menemukan sang ketua divisi sedang duduk di kursinya sembari mengulas senyum ceria yang membuat Falisa terheran-heran. "Ah, Falisa, kebetulan kau datang. Saya baru akan memanggilmu." Falisa meneguk ludah, mengingat baru saja Juan keluar dari ruangan Bu Erika dan wanita itu tiba-tiba berkata demikian, kini kepala Falisa penuh dengan pikiran buruk. "Memangnya ada apa, Bu?" "Sini, duduk dulu, Fal." Falisa menurut, dia melangkah maju dan mendudukkan diri di seberang Bu Erika sehingga hanya meja yang memisahkan mereka. "Baru saja Pak Juan kemari." Spontan Falisa meneguk ludah dan sebuah firasat buruk menghantam hatinya. "Dia mengatakan besok lusa ada perjalanan dinas yang harus dia lakukan. Perjalanan penting karena nanti akan bertemu dengan banyak rekan bisnis, membahas tentang kerja sama, proyek, dan hal-hal penting lainnya." Falisa mengernyitkan kening karena bingung mendengar Bu Erika yang tiba-tiba membahas hal seperti ini dengannya. "Pak Juan meminta saya menemaninya dalam perjalanan dinas itu, tapi kau juga tahu kan, Fal, minggu depan saya akan melangsungkan pernikahan jadi mana mungkin saya bisa pergi. Maria juga tidak mungkin bisa menggantikan saya karena ayahnya sedang sakit keras. Joshua dan Danish sedang dinas keluar kantor, jadi satu-satunya orang yang bisa menggantikan saya menemani perjalanan dinas Pak Juan hanya kau, Falisa." Detik itu juga Falisa melebarkan mata, terkejut bukan main. "K-kenapa harus saya yang menemaninya, Bu?" "Tadi kan saya sudah menjelaskan kondisinya. Tidak ada yang bisa menggantikan saya selain kau." "I-iya, maksud saya kenapa dari divisi keuangan yang harus menemaninya? Kenapa bukan sekretarisnya?" "Karena perjalanan dinas ini berhubungan dengan proyek dan kerja sama dengan perusahaan lain, akan banyak dana yang harus dihitung dan dipertimbangkan karena itu harus dari divisi keuangan yang menemaninya." Falisa tertegun, mulai paham alasan Juan mendatangi ruangan Bu Erika beberapa menit yang lalu. "M-memangnya berapa lama perjalanan dinas itu?" tanya Falisa dengan terbata-bata karena dia masih syok bukan main mendengar kabar ini yang bagi Falisa merupakan sebuah kabar buruk. "Hm, sekitar satu bulan. 30 hari tepatnya." Bola mata Falisa pun terbelalak seolah nyaris menggelinding keluar dari kelopaknya. "30 hari? Lama sekali, Bu?" "Itu karena perjalanannya tidak hanya di satu kota, tapi ke tiga kota sekaligus. Bali, Tokyo dan Paris. Katiga kota itu yang akan kalian datangi." Bu Erika tiba-tiba menangkupkan kedua tangan di depan d**a sebagai bentuk permohonan. "Saya mohon kau bersedia menggantikan saya, ya, Fal. Karena perjalanan ini benar-benar penting untuk perusahaan. Tidak ada orang lain lagi yang bisa pergi menemani Pak Juan selain dirimu." Rasanya Falisa ingin berteriak sekeras yang dia bisa. Kenapa pula dia harus menemani orang yang membencinya setengah mati? Aaah … rasanya Falisa ingin menolaknya, tapi dia tahu itu mustahil. Falisa hanya bisa diam membeku di kursinya, ternyata firasat buruknya terbukti benar. Masalah apa lagi ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN