Falisa masih mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah, itu karena rasa lelah luar biasa yang dia rasakan. Dengan susah payah akhirnya Falisa berhasil merapikan dapur apartemen Juan yang bagai kapal pecah itu, kini dia sudah berada di apartemennya sendiri, sedang duduk di lantai sambil bersandar pada dinding.
“Baru kali ini aku bertemu dengan pria menyebalkan dan seenaknya seperti Juan. Huh, apa aku sanggup ya bertahan bekerja di perusahaan pria itu?”
Falisa terus bergumam sendirian, baru dua hari bekerja di perusahaan Juan, dia sudah merasa tak nyaman seperti ini, apalagi nanti. Falisa jadi tak yakin dirinya sanggup meneruskan pekerjaannya di perusahaan Juan.
“Apa aku pindah kerja saja, ya? Melamar ke perusahaan lain yang pimpinannya bukan pria egois dan arogan seperti Juan?”
Falisa sempat berpikir demikian, tapi dengan cepat dia menggelengkan kepala untuk menepis pemikiran itu. “Tidak, tidak. Kalau aku tidak bekerja di sana artinya aku tidak bisa satu kantor dengan Yuuya. Ah, tidaaaak! Aku tidak mau. Aku ingin satu kantor dengan Yuuya, tapi tidak mau satu kantor dengan Juan.”
Falisa memeluk lututnya sendiri sambil membenamkan wajahnya di atas lipatan tangannya, dia benar-benar frustrasi karena tak menyangka akan begini nasibnya di saat ini merupakan pengalaman pertamanya bekerja di sebuah perusahaan. Yang lebih penting ini pengalaman pertamanya berjauhan dengan orang tuanya karena selama ini Falisa nyaris tak pernah meninggalkan kampung halamannya. Mungkin jika tidak ada Yuuya bersamanya, Falisa akan memilih segera kembali pulang ke desa Castleton.
Dalam situasi yang melelahkan itu, Falisa dikejutkan oleh suara bel pada pintu.
“Ah, itu pasti Yuuya,” tebak Falisa yang begitu yakin Yuuya yang baru saja menekan bel.
Falisa bangkit berdiri dari posisi duduk, sambil memasang wajah ceria, dia membuka pintu tanpa melihat dulu siapa orang yang berdiri di depan pintu.
Begitu pintu terbuka … seketika senyuman lebar Falisa memudar karena ternyata tebakannya salah besar. Bukan Yuuya yang berdiri di depan pintu apartemennya, melainkan Juan.
“P-Pak Juan, ada apa Anda kemari?” tanya Falisa, benar-benar heran melihat pria itu berdiri di depan pintu apartemennya.
“Kenapa memangnya? Tidak boleh? Toh apartemen ini milik perusahaan saya, bukan milikmu.”
Falisa menipiskan bibir, lagi-lagi dibuat kesal oleh mulut pedas seorang Juan Mario Luther.
“Bukan begitu, Pak. Saya hanya heran melihat Anda berdiri di sini.”
“Saya berdiri di sini karena ingin berkunjung ke apartemenmu. Boleh saya masuk?”
“Hm, silakan, Pak.”
Sebenarnya Falisa enggan mempersilakan Juan masuk ke apartemennya, hanya saja dia cukup sadar diri, apartemen itu memang milik perusahaan Juan sehingga dia pun dengan terpaksa mempersilakan Juan untuk masuk. Pintu dia buka selebar mungkin agar Juan bisa masuk ke dalam dengan mudah.
“Apartemenmu lumayan nyaman dan bersih,” ucap Juan begitu masuk ke dalam apartemen, bola matanya bergulir menatap sekeliling.
Dalam benaknya, Falisa begitu ingin mengatakan tentu saja apartemennya bersih dan nyaman karena berbeda dengan Juan yang pemalas, Falisa tahu Yuuya sangat rajin membersihkan apartemen itu karena saat Falisa datang dua hari yang lalu, apartemen itu sudah dalam kondisi bersih dan nyaman seperti sekarang.
“Maaf, Pak, apa ada yang bisa saya bantu makanya Anda datang ke sini?”
Alih-alih menanggapi pujian Juan tadi, Falisa justru bertanya demikian, membuat Juan kini mendelik tajam padanya.
“Dari tadi kau terus bertanya begitu? Benar kau melarang saya mendatangi apartemen perusahaan saya sendiri?”
Dengan tegas kepala Falisa menggeleng. “Bukan begitu, Pak. Wajar kan saya bertanya karena Anda tiba-tiba datang padahal tadi katanya Anda ingin beristirahat di apartemen Anda. Mungkin Anda membutuhkan sesuatu makanya datang ke sini, saya bermaksud baik, menawarkan diri untuk membantu Anda.”
Falisa kesal bukan main karena Juan yang terus berprasangka buruk padanya, tapi tentu saja wanita itu mencoba menahan diri. Tetap berbicara dengan nada ramah walau hatinya panas bak terbakar api saking kesalnya.
“Saya tidak membutuhkan apa pun, alasan saya datang ke sini karena ingin memberikan ini.” Juan mengangkat kotak dalam plastik yang sejak tadi dia pegang di tangannya.
“Apa itu, Pak?” tanya Falisa penasaran.
“Pizza. Setelah membersihkan apartemen saya tadi, kau pasti lapar, kan?”
Falisa tersenyum lebar karena memang benar dia lapar bukan main, tubuhnya juga terasa lemas karena kelelahan.
“Benar, Pak. Terima kasih ya. Saya memang lapar sekali.”
Falisa berniat mengambil plastik yang diulurkan Juan padanya, tapi sebelum tangannya berhasil meraih plastik itu, Juan justru menariknya kembali.
“Siapa bilang aku memberikan semuanya padamu?”
“Hah? Maksud Anda?” Falisa melongo tak mengerti.
“Kita makan pizza ini sama-sama karena saya juga lapar.”
Tanpa meminta izin pada Falisa, Juan berjalan menuju ruang makan. Lalu pria itu mendudukan diri di sana, membuka kotak pizza yang dia bawa, tanpa menawari Falisa, pria itu mulai melahap pizza sendirian.
Di depan sana berulang kali Falisa meneguk ludah karena melihat Juan yang begitu lahap menyantap pizza-nya, sukses membuat perut Falisa semakin keroncongan dan air liur nyaris menetes dari mulutnya.
“Kenapa kau berdiri di sana? Kemari, kita makan sama-sama.”
Sebenarnya Falisa merasa enggan dan canggung, dia juga tak enak hati harus makan bersama pimpinan perusahaannya. Walau Juan menyebalkan, tapi statusnya sebagai bos, membuat Falisa memiliki rasa enggan dan canggung dalam hatinya pada pria itu.
“Ck, kau ini tidak punya telinga ya? Cepat ke sini, saya tahu kau lapar. Kalau terus berdiri di sana, nanti pizza-nya tidak kebagian karena saya juga lapar sekali.”
Falisa mengembuskan napas pelan sebelum akhirnya dengan terpaksa dia melangkah mendekati Juan. Lalu dia pun mendudukan diri di seberang pria itu.
“Ini, makanlah.”
Juan mendorong kotak pizza mendekati Falisa agar wanita itu dengan mudah bisa mengambilnya.
Dengan perasaan ragu, Falisa mengambil satu potong pizza dan karena perutnya sudah lapar tak tertahankan, dia pun mulai menyantapnya.
Pizza merupakan salah satu makanan favorit Falisa sehingga tanpa dia sadari sudah empat potong yang dia makan, hanya menyisakan satu potong lagi untuk Juan di saat pria itu baru memakan satu potong.
“Kau ini rakus sekali, ya,” ucap Juan, lagi-lagi melontarkan kata-kata pedas pada Falisa.
Gerakan mulut Falisa yang sedang mengunyah pun seketika terhenti. Dia meneguk ludah, baru sadar sudah memakan empat potong pizza.
“M-maafkan saya, Pak. Pizza salah satu makanan kesukaan saya, sampai tidak sadar saya sudah memakan empat potong.”
“Huh, alasan. Bilang saja kau memang rakus. Saya heran Yuuya mau dengan wanita rakus sepertimu.”
Falisa sejak tadi selalu menahan diri setiap kali mendengar Juan berkata kasar nan pedas padanya, tapi kali ini kesabarannya habis sudah. Ucapan pria itu sudah keterlaluan karena membawa-bawa Yuuya.
“Kenapa Anda bicara begitu? Itu bukan urusan Anda dan Anda tidak berhak ikut campur urusan hubungan saya dengan Yuuya.”
Juan mendengus sambil terkekeh geli, tak merasa bersalah sedikit pun walau ucapannya sudah menyulut emosi Falisa, terlebih membuat hati wanita itu tersinggung.
“Hanya heran saja, Yuuya itu setahu saya cukup populer di kantor, banyak karyawan wanita yang menyukainya, tapi pacarnya malah seperti ini. Wanita desa yang rakus dan ceroboh.”
Kedua tangan Falisa sudah terkepal erat di bawah meja, ingin rasanya dia gunakan kepalan tangan itu untuk menghajar wajah Juan yang melihatnya saja membuat Falisa emosi bukan main.
“Pak, jaga bicara Anda. Tolong jangan hina saya seperti ini. Saya juga …”
Falisa tak melanjutkan ucapannya karena Juan yang tiba-tiba berdiri dari duduknya.
“Yang saya katakan tadi itu kenyataan, saya melihatnya dengan mata kepala sendiri. Kau ini memang ceroboh karena itu sampai bisa melakukan kesalahan fatal dengan menumpahkan teh di jas saya padahal saat itu saya harus mengikuti meeting penting, semuanya kacau karena ulahmu.”
Falisa sudah membuka mulut, ingin mengatakan bahwa dia sudah bertanggungjawab untuk insiden di pantry kala itu, tapi dia tak memiliki kesempatan untuk membela diri, Juan lebih dulu kembali bersuara.
“Kau juga memang rakus, buktinya pizza saya, kau habiskan. Ck, ck, ck.” Juan menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah itu, Juan melangkah pergi, mengabaikan sepenuhnya kondisi hati Falisa yang mungkin terluka karena ucapannya. Pria itu meninggalkan apartemen Falisa tanpa berpamitan, meninggalkan Falisa yang masih menahan amarah di kursinya.
Tak kuasa lagi menahan amarah yang sejak tadi dia pendam, Falisa berjalan cepat menuju kamarnya. Lalu jas Juan yang tergeletak di atas meja, dia ambil. Dia banting jas tersebut ke lantai dan dia injak-injak sehingga jas yang sudah bersih dan rapi itu kini kusut tak berbentuk.
“Aaaahhh, pria itu menyebalkan sekali. Rasanya aku ingin menendang wajahnya!” teriak Falisa sambil terus menginjak-injak jas tak berdosa tersebut.
***
Falisa senang bukan main karena begitu membuka pintu setelah bel terdengar, sosok Yuuya yang kali ini dia lihat. Seseorang yang dia tunggu sejak tadi.
“Kau kenapa, Fal? Oh, iya. Ini tasmu,” tanya Yuuya yang heran melihat penampilan Falisa yang berantakan. Dia juga menyerahkan tas Falisa yang tertinggal di kantor. Alasan Yuuya datang ke apartemen karena Falisa yang memintanya untuk mengambilkan tas itu.
Wanita itu masih mengenakan pakaian yang dia pakai saat bekerja tadi, rambutnya acak-acakan, begitu pun wajahnya terlihat kusut dan masam. Ini karena Falisa belum membersihkan diri setelah kejadian yang menimpanya bersama Juan beberapa jam yang lalu.
“Aku kesal sekali hari ini, Yuuya,” adu Falisa disertai kedua matanya yang berkaca-kaca.
“Memangnya ada apa? Coba ceritakan semuanya padaku.”
Falisa tak menyembunyikan apa pun, dia menceritakan semua pada Yuuya. Dimulai dari dia yang mengembalikan jas Juan yang sudah dia cuci dan setrika, lalu Juan yang tiba-tiba memanggilnya ke ruangannya.
Kejadian saat Juan mendadak mengajaknya makan siang bersama Qiana pun ikut Falisa ceritakan. Dengan menggebu-gebu Falisa juga menceritakan saat Juan menyuruhnya untuk membersihkan apartemennya seolah dia seorang asisten rumah tangga. Puncaknya, Falisa menceritakan kejadian menyebalkan di apartemennya barusan, di mana Juan membawakan pizza, tapi setelah itu dia menghina Falisa habis-habisan.
“Begitu, Yuuya. Pria itu menyebalkan sekali. Hanya karena aku melakukan kesalahan kecil dengan menumpahkan teh pada jasnya, dia jadi sebenci ini padaku. Terus saja menyusahkan aku.”
Kedua mata Falisa yang sudah berkaca-kaca, kini air mata itu tumpah, mengalir di wajahnya.
Dengan cepat Yuuya menyeka air mata itu dengan jari-jari tangannya yang besar, lalu dia peluk Falisa dengan maksud untuk menenangkannya.
“Mungkin Pak Juan sedang kesal, jadi dia melampiaskannya padamu.”
“Tapi kenapa harus aku yang jadi pelampiasan amarahnya?”
Yuuya meringis karena dia juga memahami perasaan Falisa sekarang. “Setahuku, Pak Juan memang selalu emosi setiap kali Bu Qiana datang ke kantor.”
Kening Falisa mengernyit bingung. “Kenapa begitu? Padahal mereka bertunangan, kan?”
Yuuya mengangkat kedua bahu, pertanda dia pun bingung dengan hubungan Juan dan tunangannya. “Entahlah, yang pasti semua karyawan di Luthor Holdings Group sudah hafal kalau ada Bu Qiana datang berkunjung ke kantor, pasti Pak Juan langsung mudah emosi dan suasana hatinya jadi buruk. Karena itu kau maklumi saja, ya. Nanti juga sikapnya akan biasa lagi.”
“Masa?” tanya Falisa, tak yakin dengan ucapan Yuuya tersebut. “Dari yang aku lihat sepertinya Pak Juan sangat membenciku. Aku yakin dia juga sengaja mengajakku makan siang bersama Bu Qiana agar Bu Qiana ikut membenciku.”
“Kenapa kau berpikir begitu?”
“Karena Pak Juan dengan sengaja memindahkan makanan pemberian Bu Qiana ke piringku. Walau Bu Qiana terlihat tidak mempermasalahkan tindakan Pak Juan itu, tapi aku yakin dalam hatinya dia tersinggung dan terluka. Mungkin Bu Qiana marah dan membenciku sekarang.”
Yuuya tertawa, merasa ucapan Falisa lucu, tapi rupanya hal itu membuat Falisa semakin kesal karena wanita itu kini mendelik tajam pada sang kekasih.
“Kenapa kau tertawa? Melihat aku menderita begini, sepertinya kau puas dan senang?”
“Fal, jangan berpikir begitu. Tentu saja aku tidak seperti itu, kau ini ada-ada saja. Hahaha …”
“Issshh, aku bilang jangan tertawa.”
Falisa yang jengkel bukan main karena Yuuya terus menertawakan dirinya, kini mencubit pinggang pria itu, membuat Yuuya meringis kesakitan. Namun, pria itu tak marah karena dia tahu Falisa sedang merajuk. Dia pun memeluk wanita yang paling dia cintai dengan sepenuh hatinya tersebut, sekali lagi mencoba menenangkan Falisa.
“Maaf, maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu. Hanya saja pemikiranmu berlebihan. Kejadian hari ini lebih baik kau lupakan saja, Pak Juan memang seperti itu jika sudah emosi pada Bu Qiana. Lambat laun kau juga akan terbiasa.”
“Huh, sial sekali kita memiliki bos seperti itu,” gerutu Falisa.
Yuuya tersenyum kecil. “Jangan pikirkan Pak Juan, yang penting tujuanmu bekerja di sana demi membantu orang tuamu. Kau harus bersabar, ya. Lagi pula jangan lupa di kantor itu kita bisa bekerja bersama. Benar, kan?”
Falisa yang sejak tadi memasang wajah cemberut, akhirnya kembali mengulas senyum lembut. “Ya, kau benar.” Wanita itu lalu menghela napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. “Baiklah, aku akan mencoba melupakan kejadian menyebalkan tadi. Aku juga akan mencoba tidak mempedulikan Pak Juan. Semoga saja benar, setelah ini dia tidak akan mencari gara-gara lagi denganku.”
Falisa dengan lantang mengutarakan harapannya. Ya, sebuah harapan yang entah akan menjadi kenyataan atau tidak. Kita lihat saja nanti.